tirto.id - Telur unggas menjadi perbincangan hangat di tengah harga telur ayam yang konsisten tinggi belakangan ini. Hal ini tidak lepas dari pernyataan Anggota Komisi IV DPR RI, Dwita Ria Gunadi yang menyebut pemerintah melakukan impor telur secara diam-diam.
Pernyataan Dwita diungkapkan saat rapat kerja Komisi IV DPR dengan Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Bulog. Dalam rapat tersebut, Dwita menyebut pemerintah melakukan impor sebesar 165.234 kilogram pada Februari 2023. Ia bilang, jumlah itu merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS).
“Mengenai impor telur unggas, BPS mencatat Indonesia masih impor telur unggas sebanyak 165.234 kilogram pada Februari 2023,” kata Dwita dalam rapat yang disiarkan secara daring, Selasa (13/6/2023).
Dwita juga meminta data impor lengkap dari pemerintah soal impor telur tersebut. Selain data impor telur, ia juga meminta pemerintah menunjukkan data kebutuhan telur di Tanah Air.
“Oleh sebab itu, kami meminta data impor telur selama 2022 dan semester 2023 dan meminta penjelasan berapa ketersediaan telur dalam negeri agar tidak terjadi impor telur unggas,” kata dia.
Sayangnya, pertanyaan dari anggota Komisi IV DPR itu tidak dijawab secara langsung oleh Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo atau SYL yang hadir dalam rapat tersebut. Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo yang hadir dalam rapat juga tak memberikan jawaban tegas.
Akan tetapi, saat dikonfirmasi ulang reporter Tirto pada 15 Juni 2023, Arief Prasetyo menegaskan, Indonesia tidak pernah melakukan impor telur. Ia meminta DPR untuk mengecek kembali data mengenai impor tersebut.
“Setahu saya kita tidak impor telur, tolong dicek apakah telur atau tepung telur untuk industri,” kata Arief menegaskan.
Hal senada diungkapkan Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan atau Zulhas. “Tidak ada itu impor telur,” kata Zulhas saat ditemui di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023).
Zulhas mengakui harga telur memang melonjak. Saat ini, pemerintah tengah berupaya menambah indukan ayam petelur agar produksi telur segera naik. Namun ia tidak menjelaskan apakah ada upaya impor untuk menekan harga telur.
Kementerian Pertanian turut memberikan penjelasan terkait polemik ini. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan, Nasrullah menyebut, Indonesia memang melakukan impor telur, tetapi untuk telur tetas atau grand parent stock (GPS).
Telur impor itu, kata Nasrullah, fungsinya untuk ditetaskan lagi menjadi Parent Stock (PS), sehingga langkah akhirnya untuk jadi telur ayam yang biasa dikonsumsi masyarakat.
“Telur apa yang diimpor? Kalau telur tetas GPS, iya memang, karena itu untuk ditetaskan lagi menjadi PS dan final stock untuk jadi ayam yang kita makan sehari-hari,” ucap Nasrullah saat dikonfirmasi reporter Tirto terkait data impor telur yang dimaksud anggota DPR.
Data BPS soal Impor Telur Unggas
Terkait saling klaim di atas, jawabannya adalah data BPS. Sebab, baik anggota DPR maupun Kementerian Perdagangan, Bapanas hingga Kementan menyandarkan argumennya pada data yang dikeluarkan BPS. Karena itu, kami melakukan konfirmasi ulang ke BPS.
Menurut data importasi BPS yang diterima Tirto, kode komoditas telur unggas adalah HS 0407 dan HS 0408 dengan total impor pada Februari 2023 sebesar 165.234 kilogram dan total nilai 1.130.412 dolar AS.
Kode HS 0407 memiliki spesifikasi telur unggas berkulit, segar, diawetkan atau dimasak. Rincian HS 0407 menunjukkan jenis telur untuk pembibitan namun bukan untuk dikembangbiakkan.
Impor HS 0407 masuk ke Indonesia pada bulan kedua tahun ini sebanyak 459 kilogram, dengan kode turunan HS 04071190 untuk telur yang dibuahi untuk inkubasi unggas dari spesies gallus domesticus senilai 25.444 dolar AS.
Lalu, jenis impor telur unggas HS 0408 dengan spesifikasi telur unggas tanpa cangkang, dan kuning telur, segar, dikeringkan, dikukus, atau direbus, dibentuk, beku atau diawetkan secara lain, mengandung tambahan gula atau pemanis.
Pada Februari 2023, impor HS 0408 sebanyak 164.730 kilogram dengan nilai impor 1.104.968 dolar AS. Jumlah itu masing-masing untuk impor kuning telur dikeringkan (HS 04081100) sebanyak 64.705 kilogram senilai 448.463 dolar AS dan telur burung tidak bercangkang, selain kuning telur, dalam bentuk kering (HS 04089100) sebesar 100.025 kilogram dengan nilai 656.505 dolar AS.
Dari penjelasan data tersebut, Direktur Statistik Distribusi BPS Elfiza mengatakan, Indonesia sejauh ini tidak melakukan impor telur segar untuk konsumsi. Menurutnya, sumber data yang dirujuk DPR kemungkinan benar namun cara membaca data keliru.
"Yang bercangkang, ada impor, tapi bukan untuk konsumsi," kata dia kepada Tirto, Minggu (18/6/2023).
Pernyataan dan data BPS tersebut mendukung tanggapan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian dan Bapanas. Keduanya sama-sama menyebut tidak ada impor telur konsumsi, namun yang ada adalah impor bibit dalam skala kecil dan tepung telur untuk industri.
Perlu Cermat Baca Data
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan, membaca data impor harus cermat dan detail. Dia juga meminta, data impor tidak hanya dibaca dari judul saja.
"Telur jenisnya beragam dan pemanfaatannya juga berbeda. Harapannya jika melihat HS Code sampai detail kalau hanya umum, ya judulnya memang impor telur," katanya kepada Tirto, Minggu (18/6/2023).
Lebih lanjut, Bhima meminta DPR berkoordinasi dengan BPS jika menemukan data impor yang membutuhkan penjelasan. Hal ini untuk menghindari penyampaian kekeliruan data yang berpotensi menyebabkan polemik.
"Harusnya ada koordinasi dengan BPS untuk konfirmasi data sehingga tidak salah dalam penyampaian informasi ke publik. Kan, DPR gampang lah panggil BPS untuk diskusi dulu. Staf ahli DPR juga bisa diminta tanya ke BPS sehingga anggota dewan tidak salah mendapat informasi," tandasnya.
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari & Anggun P Situmorang
Editor: Abdul Aziz