tirto.id - Presiden Prabowo Subianto mengeklaim bahwa stok dan harga pangan menjelang Idulfitri 2025 masih terkendali. Kendati demikian, dia mengakui bahwa harga cabai rawit sempat mengalami kenaikan beberapa waktu lalu dan telah kembali turun beberapa hari terakhir.
“Saya monitor, harga-harga sampai hari ini terkendali. Mungkin harga cabai rawit yang agak naik beberapa saat yang lalu. Mungkin, sekarang sudah mulai turun,” ujar Prabowo dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).
Sembari berkelakar, Ketua Umum Partai Gerindra itu menyarankan agar masyarakat mengurangi mengonsumsi makanan pedas. Menurutnya, selain untuk menghindari harga cabai yang mahal, hal itu penting dilakukan untuk menjaga kesehatan.
Sementara itu, meski harga-harga bahan pangan sudah mulai turun dan terkendali, Prabowo meminta para menteri Kabinet Merah Putih untuk tidak menyepelekan masalah pasokan pangan menjelang Lebaran 2025. Sebab, jika pasokan pangan tak mencukupi, dia khawatir impor lantas menjadi solusi terakhir.
“Kita selalu khawatir, kita harus impor. [Tapi] saya monitor harga-harga sampai hari ini masih terkendali,” imbuhnya.
Harga Cabai Sepedas Rasanya
Sayangnya, sepekan menjelang lebaran, harga cabai rawit merah di berbagai daerah di Indonesia masih saja “pedas”. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan harga cabai rawit merah terjadi di 228 kabupaten/kota pada minggu ketiga Maret 2025. Di sisi lain, harga cabai rawit merah mulai melandai di 63 kabupaten/kota lainnya.
Secara nasional, harga cabai rawit merah berada di kisaran Rp81.657/kilogram (kg), lebih tinggi dari harga acuan penjualan (HAP) yang ditetapkan pemerintah senilai Rp40.000-Rp57.000/kg. Bahkan, berdasar Panel Harga Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga cabai rawit merah di Kalimantan Utara pada perdagangan Senin (24/3/2025) mencapai Rp127.500/kg, sementara rata-rata harga di Jakarta mencapai Rp111.765/kg.
“Kenaikan harga cabai rawit [merah] ini disebabkan oleh curah hujan yang sangat tinggi dan juga ada serangan harga patek [penyakit tanaman cabai yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici] di beberapa daerah,” kata Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (24/3/2025).
Tingginya harga cabai rawit merah juga disebabkan oleh lonjakan permintaan kala Ramadhan dan menjelang lebaran. Kementerian Pertanian (Kementan) memperkirakan bahwa total konsumsi cabai rawit periode Maret dan April 2025 masing-masing sebesar 110.445 ton dan 100.058 ton—naik dari perkiraan kebutuhan untuk Januari dan Februari 2025 yang masing-masing sebesar 97.432 ton dan 94.678 ton.
Pada tahun lalu, perkiraan kebutuhan cabai rawit nasional periode Ramadhan dan lebaran yang bertepatan dengan Maret dan April 2024 juga tercatat mencapai 86.608 ton dan 83.664 ton—melonjak dari perkiraan konsumsi Januari dan Februari 2024 yang masing-masing sebanyak 82.975 ton dan 77.621 ton.
Perlu diketahui, konsumsi cabai rawit nasional meliputi konsumsi langsung atau rumah tangga; sektor hotel, restoran dan kafe (horeka), warung atau pedagang kaki lima (PKL); serta industri.
“Kondisi pasokan produksi 133.280 [ton] di Maret 2025, kemudian kebutuhan 110.445 ton. Jadi, produksi aman. Cuma sebagian ada kendala dari aspek distribusi,” ujar Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Investasi Pertanian, Suwandi, dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (24/3/2025).
Suwandimengatakan bahwa penggunaan cabai merah besar maupun cabai keriting sebenarnya bisa jadi solusi untuk menggantikan konsumsi cabai rawit. Namun, hal itusulit dilakukan karena penduduk Indonesia punsusah lepas dari cita rasa pedas yang dihasilkan cabai rawit.
Oleh karena itu, Kementan pun mesti cari solusi lain untuk mengatasi masalah percabaian tersebut.
“Kalau di India, itu banyak pakai cabai olahan, cabai kering. Nah, kita pinginnya cabai segar. Apalagi, di Sulawesi Utara tadi, sambel dabu-dabu itu memang pedes dan supaya berkurang pedesnya, selera itu. Ini masalah selera konsumen. Itu yang menjadi kendala utama,” kata Suwandi.
Dengan kondisi ini, peneliti pertanian dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia, Eliza Mardian, menilai bahwa Prabowo tak bisa dengan mudahnya bergurau dan menyarankan agar masyarakat mengurangi konsumsi makanan pedasnya ketika harga cabai rawit tinggi.
Sebab, selain selera, cabai rawit bagi masyarakat Indonesia bukanlah sekadar bumbu, tetapi juga bagian integral dari budaya kuliner Tanah Air.
Oleh karena itu, kenaikan harga cabai rawit tidak dapat dianggap enteng. Terlebih, bagi banyak keluarga, utamanya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), kenaikan harga cabai rawit akan langsung memengaruhi biaya hidup mereka sehari-hari.
“Masyarakat yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mungkin merasa bahwa pernyataan ini mengabaikan realitas mereka. Mereka mungkin mengharapkannya ya solusi yang lebih substansial, seperti stabilisasi harga atau bantuan ekonomi,” ujar Eliza kepada Tirto, Senin (24/3/2025).
Maka ketimbang membuat gurauan atas pedasnya harga cabai rawit, akan lebih baik bila pemerintah segera mencari akar dari masalah menahun itu. Salah satu faktoryang perlu ditilik adalah manajemen stok pangan Indonesia yang kurang baik.
“Salah satu penyebabnya karena kurangnya infrastruktur penyimpanan seperti cold storage dan juga kurangnya industrialisasi pengolahannya,” tutur Eliza.
Solusi Hilirisasi dan Inovasi Budidaya
Faktor pembentuk harga cabai rawit lain yang juga perlu dievaluasi adalah ekspektasi inflasi. Ada harapan dan persepsi yang ditambah dengan lonjakan permintaan.
Juga jangan lupakan struktur pasar beberapa komoditas pangan nasional yang bersifat oligopoli (didominasi oleh perusahaan tertentu) serta adanya asimetrisme informasi.
Dalam struktur pasar oligopoli, pergerakan harga-harga komoditas pangan, termasuk cabai rawit, sering kali ditentukan oleh sosok middle man atau broker.Pasalnya, merekalah yang menguasai stok dan memegang data terbaru dari komoditas-komoditas pangan yang ada.
“Pemerintah hanya punya data produksi, tapi data yang ada proses distribusi ini tidak ada yang komprehensif dan up to date,” kata Eliza dari Core Indonesia.
Padahal, menurut Eliza, pemerintahlah yang seharusnya menguasai stok dan data-data terbaru terkait berbagai komoditas pangan. Tanpa data-data yang memadai, pemerintah jelas akan kesulitan mengontrol pergerakan harga.
Selain itu, pemerintah sudah saatnya mengembangkan infrastruktur sistem pendingin atau cold storage demi mencapai hilirisasi produk cabai. Dengan adanya sistem pendingin, produk cabai yang mudah busuk dapat diolah menjadi pasta atau bubuk sehingga harganya bisa distabilkan, terutama kala panen raya atau musim hujan.
“Nah, ketika penghujan ini kan biasanya produksi turun dan distribusi terhambat. Ini jika kita memiliki cadangan pangan di cold storage, setidaknya bisa dikeluarkan ketika harga naik,” sambung Eliza.
Hilirisasi komoditas cabai dengan sistem pendingin pun sudah sejak lama dilakukan di banyak negara di dunia, termasuk India, Jepang, Korea Selatan, maupun Cina. Melalui hilirisasi, Indonesia tidak hanya akan bisa menstabilkan harga cabai, tapi juga menurunkan realisasi impor komoditas cabai.
Mengutip laporan “Analisis Kinerja Perdagangan Cabai Merah 2024” yang diterbitkan Kementan, ekspor cabai selama periode 2019-2023 selalu lebih kecil dibandingkan impornya. Ekspor cabai terendah tercatat pada 2019, takni sebesar 7,04 ribu ton atau senilai 14,82 juta dolar Amerika Serikat (AS).
Pada2020, terjadi peningkatan ekspor hingga mencapai 10,21 ribu ton atau senilai 25,1 juta dolar AS. Pada 2021, realisasi ekspor cabai tercatat sebanyak 9,94 ribu ton dan senilai 22,40 juta dolar AS. Sedangkan pada 2023, volume dan nilai ekspor cabai masing-masing mencapai 9,77 ribu ton dan senilai 19 juta dolar AS.
Di sisi lain, volume dan nilai impor komoditas cabai mulai mengalami peningkatan pada periode 2020-2023. Pada 2020, volume impor cabai mencapai 35,91 ribu ton dengan nilai 69,20 juta dolar AS. Tiga tahun berselang, volume impor cabai melonjak menjadi 60,13 ribu ton dengan nilai mencapai 142,05 juta dolar AS.
“Kalau bicara tentang hilirisasi, ini sebetulnya memang budaya makan cabai itu memang kita harus bisa eksplor lagi, ya. Misalnya, kalau kita ke Cina, India, Pakistan, hampir semua kuliner mereka itu tidak ada yang menggunakan cabai segar. Kebanyakan menggunakan cabai kering atau chili oil. Nah, strategi yang kedua ini yang harusnya digencarkan,” ujar pakar ekonomi pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), M. Firdaus, saat dihubungi Tirto, Senin (25/3/2025).
Selain itu, pemerintah bisa mengadaptasi resep kesuksesan Gorontalo atau Manado dalam produksi cabai. Dua daerah itu berhasil mencapai surplus produksi cabai dari sebelumnya defisit.
Menurut Firdaus, Gorontalo dan Manado telah mampu mengembangkan inovasi penanaman cabai menggunakan teknologi green house. Penerapan teknologi itu terbukti efektif untuk menjaga agar tanaman semusim itu tak terdampak cuaca secara langsung.
“Ke depan, bukan meminta masyarakat untuk tidak mengkonsumsi atau tidak makan pedas, tapi lebih kepada bagaimana kita bisa menyediakan cabai sepanjang tahun dengan dua hal itu. Pertama, inovasi budidaya cabai sehingga tidak terganggu musim. Kedua, dengan melakukan hilirisasi atau pengolahan sehingga cabai tersedia sepanjang tahun dan permintaan menjadi lebih elastis,” tambah Firdaus.
Sementara itu, Kementan rupanya sudah menerapkan teknologi pengaturan pola tanam untuk mengatasi lonjakan harga cabai. Melalui upaya ini, produksi cabai diharapkan tidak akan berlebih (oversupply) yang membuat harga jatuh. Sebaliknya, produksi diharapkan pula jangan sampai kurang karena itu bisa bikin harga di konsumen naik.
Kemudian, pemerintah juga telah meminta agar masyarakat menanam sendiri cabai di halaman rumah mereka.
“Kemudian, di saat musim hujan betul, [tanaman cabai] layu, pada lonyot. Kemudian, hama patek itu. Sehingga, itu gangguan produksi, panen berkurang. Apalagi, hujan gini petani juga jarang petik di sawah. Itu solusinya, biasanya ditutup pakai plastik sungkup, kayak payung gitu di atas cabai, sehingga tidak kena hujan terlalu tinggi dan seterusnya,” jelas Firdaus.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi