tirto.id - Di Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, dan Kota Solo hanya ada lima siswa penghayat. Itu pun hanya berada di Karanganyar dengan dua siswa dan Sukoharjo dengan tiga siswa. Minimnya partisipasi anak penghayat untuk mengakses pendidikan penghayat kepercayaan, menurut Ketua Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Karanganyar Sugito, lantaran rentan mendapat diskriminasi.
“Resistensi pertama umumnya datang dari orang tua, mereka takut anaknya dapat masalah kalau menyatakan diri sebagai penghayat,” imbuhnya.
Ketakutan para orang tua siswa, lanjut Sugito, lumrah dirasakan para penghayat karena sudah sejak lama menghadapi diskriminasi atas kepercayaan yang dianutnya. Sugito mencontohkan diskriminasi tersebut seperti sulit mendapat pekerjaan, sulit menikah, hingga dikucilkan lingkungannya. “Wajar saja mereka tak mau anaknya mengalami hal serupa seperti yang dialaminya,” maklumnya.
Selain itu, Ketua MLKI Karanganyar Agung Hermanto menyebut syarat administratif jadi faktor minimnya partisipasi akses pendidikan penghayat. Syarat administratif yang menghambat tersebut adalah KTP yang menunjukan bahwa orang tua siswa memang penghayat kepercayaan. “Padahal masih banyak penghayat di Sukoharjo yang belum beralih kolom kepercayaan,” jelasnya.
Pengalaman Agung mendampingi anak dan orang tua yang sudah mantap mengakses layanan pendidikan penghayat, seringkali tak melanjutkan setelah mengetahui syarat administrasinya. Kartu identitas seperti KTP, menurut Agung, memang masih jadi momok bagi penghayat kepercayaan. “Syarat KTP bisa diganti dengan surat pengantar MLKI, tapi tetap saja mundur,” katanya.
Baik Sugito dan Agung akan mendampingi hingga memberikan layanan berupa tenaga penyuluh, hanya jika anak dan orang tua menghendaki. Keduanya sepakat bahwa kunci meningkatkan partisipasi layanan pendidikan penghayat melalui peran aktif pemerintah menghilangkan diskriminasi terhadap penghayat yang sudah berjalan puluhan tahun. Pasalnya, partisipasi pendidikan penghayat berdampak langsung ke proses regenerasinya. Data jumlah paguyuban dan warga penghayat di Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, dan Kota Solo menunjukan penurunan drastis.
Sementara itu, menurut Ketua MLKI Boyolali Yoso Diharjo, langkah pertama untuk menghilangkan diskriminasi adalah pemerintah mengakui keberadaan penghayat kepercayaan. Ia menyebut pengakuan keberadaan penghayat minim.
Minimnya pengakuan tersebut, dicontohkan Yoso, berupa jarangnya partisipasi pemerintah ketika diundang mengikuti kegiatan penghayat. “Kemarin mengundang beberapa dinas untuk ikut tirakatan doa bersama untuk pandemi Covid-19 berakhir tapi tak ada yang datang,” jelasnya.
Begitu juga, lanjut Yoso, ketika pemerintah mengadakan kegiatan. Tak mengajak penghayat kepercayaan berpartisipasi. “Diskriminasi yang menyebabkan kami tak diakui, berartikan cara menghilangkanya dengan mengakui keberadaanya dulu,” terangnya.
Ancaman Kehilangan Praktik Pengetahuan Lokal
Adanya trauma intergenerasi pada penghayat kepercayaan karena diskriminasi berpuluh tahun diamini Koordinator Advokasi Yayasan Satunama Makrus Ali. Dalam pendampingan dan penelitian selama lima tahun oleh Yayasan Satunama, Ali menyebutkan internalisasi trauma diskriminasi sebabkan ketidakpercayaan diri pada penghayat. “Contohnya kami pernah bikin kegiatan anak muda lintas iman dan jadi ruang aman tapi dari penghayat kurang nyaman dan partisipatif, itu karena mengakarnya internalisasi diskriminasi,” jelasnya.
Kondisi tersebut, menurut Makrus, tak bisa diteruskan karena dapat mengancam eksistensi penghayat kepercayaan. Dimana dalam praktik kesehariannya, penghayat memiliki sistem spiritualitas yang selaras dengan lingkungannya. Praktik yang berjalan puluhan hingga ratusan tahun ini mengandung pengetahuan-pengetahuan lokal.
Tidak mungkin hilangnya penghayat kepercayaan, jelas Makrus, tidak berdampak pada lingkungan sekitar tinggalnya para penghayat. Sehingga peran pemerintah penting untuk terus melindungi dan menjamin hak-hak dasar penghayat kepercayaan. “Kalau pemerintah pusat selama lima tahun ini sudah cukup akomodatif dan mengakui penghayat lewat kebijakannya,” katanya.
Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang perubahan administrasi kependudukan dan Permendikbud No.27/2016 adalah contoh akomodatifnya pemerintah pusat yang dimaksud Makrus. Dalam implementasinya, Makrus menyebut perlu ada perbaikan terutama sinergitas yang masih minim dengan pemerintah daerah. “Kebijakan yang ada memang perlu dikawal bersama, jangan sampai ada lagi pemerintah daerah yang tak tahu Permendikbud No.27/2016,” saran Makrus.
Sayangnya Peneliti CRCS UGM Asep Saefullah menyebut kebijakan yang ada belum cukup melindungi hak penghayat kepercayaan, khususnya layanan pendidikan. Asep merujuk data partisipasi siswa penghayat yang masih minim padahal Permendikbud No.27/2016 sudah berjalan lima tahun. “Perlu ada affirmative action, karena kebijakan saja tak cukup untuk membersihkan stigma dan menghilangkan diskriminasi,” katanya.
Asep mencontohkan affirmative action yang dapat dilakukan pemerintah. Misalnya sosialisasi Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 ke perangkat pemerintahan. “Soalnya dari penelitian banyak pegawai dinas sampai kelurahan tak tahu dan bingung ketika menghadapi penghayat,” ujarnya.
Ketidaktahuan tersebut, menurut Asep, penting untuk dikelola dengan baik agar pengetahuannya berperspektif dengan tepat. Pasalnya, banyak yang tahu bahwa penghayat punya hak yang sama tapi dipersulit karena pengetahuannya terstigma. “Sosialisasi dengan perspektif yang tepat oleh pemerintah sangat membantu rekognisi penghayat, soalnya banyak ditemui penghayat sendiri yang mensosialisasikan dirinya dan hasilnya sering ditolak,” jelas Asep.
Penguatan komunitas penghayat kepercayaan dan MLKI juga bisa jadi langkah affirmative action yang bisa dilakukan pemerintah. Asep mencontohkan penguatan yang dilakukan dapat berupa penyediaan anggaran kegiatan, pelatihan, hingga pengebangan-pengembangan lainnya. “Yang terpenting selain regulasi kebijakan, jangan biarkan penghayat berjuang sendiri tanpa pemerintah,” tegasnya.
Sementara itu, siswa seperti Tegar Jayadi dan Susilo Ari Nugroho terus giat belajar. Mereka tak akan mundur bersekolah. Sekalipun sekolah penuh stigma dan perlakuan diskriminatif yang bisa datang kapan saja sekalipun mereka hanya diam. Mereka punya cita-cita yang tengah dikejar.
“Cita-cita pengin seperti bapak jadi guru yang baik,” kata Tegar.
“Kalau cita-cita belum menentukan pasti, tapi dari dulu bayanginnya jadi polisi,” imbuh Susilo.
Diabaikan Pemerintah Daerah
Sekretaris MLKI Jawa Tengah Sentiko menyebut peran pemerintah masih minim memenuhi hak pendidikan penghayat kepercayaan. “Terutama pada tingkat daerah,” katanya. Pasalnya, kurikulum pendidikan penghayat kepercayaan dibuat MLKI dan implementasinya di daerah dilakukan MLKI tingkat daerah masing-masing.
Padahal pembuatan kurikulum harusnya dilakukan Kemendikbud dan implementasinya dilakukan Dinas Pendidikan masing-masing daerah. “Harusnya kami sebagai organisasi masyarakat membantu saja, tapi malah sebaliknya kami yang di depan pemerintah yang di belakang” keluh Sentiko. Namun, jika menunggu pemerintah, menurutnya, hak pendidikan penghayat kepercayaan tak akan terlaksana.
Dari mendampingi siswa untuk melengkapi syarat, menembuskannya ke pihak sekolah hingga dinas, hingga menyediakan guru dilakukan oleh MLKI. “Bahkan ada yayasan salah satu paguyuban penghayat yang membantu kesejahteraan tenaga penyuluh dengan memberikan honorarium tambahan karena honor dari pemerintah terlalu kecil,” imbuh Sentiko.
Pengabaian pemerintah, terutama Pemda, yang disebutkan Sentiko terbukti dengan tak tahunya Dinas Pendidikan Karanganyar akan adanya siwa penghayat di daerah tugasnya. Bahkan, Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Karanganyar Joko Riyanto tak mengetahui adanya Permendikbud No.27/2016. “Belum pernah dengar dan ikut sosialisasinya,” kata Joko.
Tak mengetahuinya ada siswa penghayat di lingkungan kerjanya, kilah Joko karena tak ada laporan dari sekolah. Padahal di bawah kuasanya, ia bisa mengakses data sekolah melalui Dapodik. “Iya, bisa akses Dapodik tapi tak sedetail itu kalau mengaksesnya” jelasnya.
Menanggapi keluhan Susilo soal mata pelajaran pendidikan penghayat yang tak muncul di rapor maupun ijazah, Joko akan mempelajarinya terlebih dahulu. Sementara itu, menurut Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Sukoharjo Ratri Ningsih hal tersebut lantaran dalam Dapodik tak ada pilihan mata pelajaran tersebut. “Yang bisa menambah pilihan mata pelajaran di Dapodik hanya Kemendikbud,” jelasnya.
Ratri menyebut bahwa layanan pendidikan penghayat di Sukoharjo sudah berjalan baik. Sayangnya, selain tak tahu ada siswa penghayat di lingkup kerjanya, Ratri juga tak bisa menjabarkan apa yang dilakukannya sehingga pendidikan penghayat sudah berjalan baik.
“Selama ini kami memantau pelaksanaanya layanannya saja,” kata Ratri. Padahal dalam pasal 3 Permendikbud No.27/2016, Pemda tak hanya bertugas untuk memantau tapi menyediakan layanan. Tak menyediakan bahan ajar, sarana pembelajaran lainnya, dan tenaga pendidik, tak mengadakan bimtek, tak melakukan evaluasi. Bahkan tak ada koordinasi dengan tenaga penyuluh, Ratri juga tak menjelaskan lebih jauh maksud dari memantau layanan pendidikan penghayat.
Sementara itu, Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Sjamsul Hadi menjelaskan peran pemerintah daerah lebih dari itu. Seperti yang tercantum dalam Pedoman Teknis Permendikbud No.27/2016. "Bahkan Kepala Sekolah diatur dalam peraturan tersebut, dijelaskan sebagai penanggung jawab pelaksanaan pelayanan pendidikan penghayat," tuturnya.
Dinas Pendidikan, jelas Sjamsul, wajib memastikan dan menyediakan layanan terselenggaranya layanan pendidikan penghayat. Tidak hanya memantau. "Contohnya kalau tidak ada gurunya atau kekurangan buku pelajaran wajib memenuhi, tidak membiarkan begitu saja" katanya.
Soal ketidaktahuan terkait Permendikbud No.27/2016, Sjamsul menyebut sejak diberlakukannya peraturan tersebut ia telah mengedarkan surat tembusan ke semua Dinas Pendidikan se-Indonesia. Bahkan untuk daerah di Jawa, Sjamsul menerangkan setiap tahun dilakukan sosialisasi terkait Permendikbud No.27/2016. "Jika ada daerah yang belum mengetahui hal tersebut, khususnya di Jawa faktor utamanya pasti ada perubahan pejabat terkait yang tidak ditransfer kebijakan ini," jelasnya.
Kehendak politik yang inklusif di pemerintahan daerah, menurut Sjamsul, jadi kunci implementasi Permendikbud No.27/2016. Sjamsul mencontohkan terkait kesejahteraan tenaga penyuluh penghayat. Dalam peraturan yang berlaku, Sjamsul menjelaskan, tenaga penyuluh berhak untuk mendapat Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Melalui NUPTK tersebut, tenaga penyuluh berhak mendapat honor tambahan dari pemerintah daerah. Termasuk bisa mendapat tunjangan sertifikasi.
Sayangnya tak semua pemerintah daerah punya kehendak politik yang inklusif, termasuk untuk melakukan penganggaran layanan pendidikan penghayat. "Jika tidak mau inklusif ya sulit juga mengajak daerah, apalagi mereka juga punya otonomi sendiri maka perlu kerja sama" kata Sjamsul.
Liputan ini merupakan hasil fellowship menulis tema kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diselenggarakan Yayasan Pantau bersama dan dimentori oleh Wan Ulfa Nur Zuhra.
Penulis: Triyo Handoko
Editor: Adi Renaldi