tirto.id - Lepas dari pandemi Covid-19, terjerat gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGPA).
Kalimat di atas setidaknya bisa merangkum kondisi kesehatan Indonesia selama enam bulan terakhir. Di saat sebagian besar masyarakat mulai merasa bebas—aturan pembatasan dicabut, konser di mana-mana, liburan tanpa hambatan—setelah terkekang pandemi Covid-19, anak-anak justru menjadi korban kasus gangguan ginjal.
Gangguan ginjal kembali memakan korban. Dinas Kesehatan DKI Jakarta menemukan dua kasus baru, yang salah satunya meninggal dunia di wilayah Pasar Rebo, Jakarta Timur. Berawal dari sakit demam, anak berumur satu tahun itu dibawa berobat ke pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) terdekat dan diberi obat puyer pada 28 Januari 2023.
Namun, dua hari setelahnya, muncul gejala lain seperti sulit buang air kecil. Akhirnya, si anak dibawa ke Rumah Sakit Umum (RSU) Adhyaksa. Dari sana, si anak justru direkomendasikan agar dibawa ke RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat supaya dilakukan cuci darah.
Akan tetapi, keluarga menolak dan akhirnya dibawa pulang. Singkat cerita, akhirnya pada 1 Februari malam, nyawa si anak tak tertolong.
Empat hari setelah meninggal, Dinas Kesehatan DKI masih memeriksa secara epidemiologi adanya kemungkinan riwayat obat serta proresivitas penyakit si anak. Belakangan diketahui bahwa si anak sempat diberi minum obat bermerk Praxion pada 25 Januari—tiga hari sebelum dibawa ke puskesmas. Obat itu didapat dari apotek terdekat.
Obat tersebut menjadi makin bermasalah ketika hasil uji lab dari pihak produsen dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan bahwa Praxion aman dikonsumsi, namun hasil uji lab dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyebut bahwa obat tersebut tidak aman.
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengakui itu. “Labkesda positif, BPOM negatif,” kata dia saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (8/2/2023).
Tak Bisa KLB, Jauh dari Kesepakatan
Dua kasus terbaru tersebut muncul tak sampai tiga bulan setelah Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengumumkan bahwa gelombang kasus gangguan ginjal akut misterius telah selesai.
Pada 18 November 2022, ia mengaku kasusnya selesai karena lembaganya mengklaim telah menurunkan angka kasus karena berhentinya peredaran obat-obatan dengan cemaran senyawa etilen glikol dietilen glikol (EGDEG) dalam sirop—kendati pihak keluarga korban bilang bahwa kasus belum selesai karena masih banyak yang dirawat.
Dalam gelombang kasus gangguan ginjal sebelumnya, negara mencatat setidaknya angka korban mencapai 324 anak se-Indonesia. Hingga 15 November 2022—tiga sebelum dinyatakan selesai oleh Menteri Budi, ada 199 anak meninggal, 111 anak sembuh, dan 14 anak masih dalam perawatan.
Dalam wawancara khusus bersama Tirto pada akhir Desember 2022, Menteri Budi mengaku bahwa kasus gangguan ginjal di Indonesia sebenarnya rutin terjadi tiap bulan. Angka bisa hanya sekitar lima sampai sembilan orang, yang kemudian turun lagi. Penyebabnya beragam: pendarahan, dehidrasi, faktor genetik, hingga keracunan.
Namun, Agustus tahun lalu menjadi berbeda karena angkanya melonjak hingga 57 orang—kebanyakan adalah anak kecil.
Dalam wawancara tersebut ia juga mengaku tak bisa menetapkan kasus gangguan ginjal sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) karena bukan penyakit menular sesuai dengan aturan. “Sehingga tidak mungkin kami sebagai kementerian mengeluarkan keputusan yang basis hukumnya tidak ada,” katanya.
“Kalau ini membuat KLB, apakah ini bisa lebih cepat? Jangan-jangan mengurusi KLB-nya saja bisa satu sampai tiga bulan. Lebih baik kita langsung mengerjakan sesuatu yang berdampak ke masyarakat, melihat masalahnya apa, kasih obatnya, tanpa KLB pun bisa dan selesai dengan cepat.”
Dengan munculnya kasus baru ini, anggota Komisi Kesehatan DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Kurniasih Mufidayanti, kembali mempertanyakan daftar sirup obat yang diklaim aman oleh BPOM. Apalagi BPOM sendiri telah keluarkan hasil uji lab bahwa obat tersebut aman.
“Berarti penyebabnya semakin gelap,” kata dia dalam keterangan tertulisnya kepada Tirto, Kamis (9/2/2023). “BPOM harus bisa menjawab ini.”
Dalam rapat kerja antara Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan, Kementerian Kesehatan dan BPOM pada 2 November 2022, tiga lembaga tersebut membuat sejumlah kesepakatan untuk merespons kasus gangguan ginjal yang korbannya semakin banyak. Kata Mufida, salah satu kesepakatannya adalah secara serius menuntaskan kasus ini berbasis epidemiologis secara transparan.
“Khusus BPOM, kesepakatan saat itu adalah meningkatkan pengawasan terhadap bahan baku obat atau bahan tambahan agar sesuai mutu baku standar,” kata Mufida.
“Jadi poin-poin kesepakatan Komisi IX dengan Kemenkes dan BPOM berarti ada yang belum maksimal dilaksanakan dengan munculnya kasus baru ini,” tambahnya.
Perlu Bikin TGIPF?
Senada dengan Mufida, anggota Komisi Kesehatan DPR RI lainnya dari Fraksi PDIP, Rahmad Handoyo, juga mempertanyakan hal serupa soal daftar obat yang aman menurut BPOM. Ia mengaku ragu jika BPOM melakukan pengecekan obat satu per satu dan melakukan uji sampling dari semua obat yang diklaim aman.
“Artinya, saya mau mengatakan kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya kepada produsen untuk melakukan pengujian di laboratorium sendiri. Fungsi pengawasan harus lebih ditingkatkan. Jangan sampai bocor,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto.
Anggota Komisi Kesehatan DPR RI dari fraksi yang sama dengan Mufida, Netty Prasetiyani Aher, mendesak agar Kementerian Kesehatan membentuk tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF) untuk mengusut tuntas kasus ini. Pasalnya, hasil dan bentuk komunikasi dari tiap lembaga cenderung berbeda-beda.
“Ditemukannya kasus baru ini menandakan pemerintah kecolongan. Bahwa selama ini penanganan serta pengusutan kasus tersebut belum sampai ke akar-akarnya. Jika memang penyebab kasus baru ini adalah cemaran obat lagi, maka kita tidak bisa membayangkan berapa banyak obat tercemar yang beredar," kata Netty.
“Evaluasi menyeluruh ini mendesak dilakukan agar tidak ada lagi kasus serupa yang menelan korban. Bisa jadi ada kesalahan sistemik yang harus segera dibenahi terkait peredaran obat tersebut," kata dia.
Tirto telah berusaha menghubungi Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito. Namun, hingga artikel ini dirilis, Penny belum merespons.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menganggap usulan Komisi IX DPR RI untuk membentuk TGIPF belum terlalu mendesak. Pasalnya, ia mengklaim lembaganya masih membangun koordinasi yang baik dengan BPOM.
“Kami melakukan koordinasi dengan BPOM, dan BPOM telah melakukan investigasi dengan melakukan pemeriksaan sampel obat dan darah sesuai prosedur dan standar," katanya kepada Tirto, Jumat (10/2/2023).
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, menyebut munculnya kasus terbaru menjadi bukti bahwa penyelidikan dan evaluasi sepanjang Agustus-November tahun lalu belum tuntas. Kata dia, ada masalah transparansi dan komunikasi yang buruk, terutama dari BPOM.
“Ini akan menurunkan kepercayaan masyarakat itu sendiri, bagaimana bisa suatu obat-obatan yang terdaftar aman, diberi kesempatan untuk beredar, itu kembali terjadi paparan atau indikasi senyawa berbahaya yang menyebabkan keracunan,” kata dia kepada Tirto, Kamis siang.
“Apakah betul karena senyawa beracun atau senyawa berbahaya, atau ada faktor lain? Ini yang harus dibuka. Memang ada problem penyelidikan dan kesimpulan yang belum tuntas, tetapi juga ada problem akuntabilitas terkait komunikasi publik yang lemah,” tambahnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz