tirto.id - Baru seminggu lebih berjalan, program mandatori B35 menjadi sorotan. Kebijakan yang diimplementasikan pemerintah pada 1 Februari 2023 itu, dinilai sebagai 'biang kerok' langkanya pasokan minyak goreng curah MinyakKita di pasaran. Akibatnya harga komoditas itu menjadi mahal.
Program B35 merupakan campuran biodiesel dari fatty acid methyl ester atau FAME minyak kelapa sawit sebesar 35 persen ke dalam komposisi BBM jenis diesel. Selain solar, implementasi B35 juga dilakukan pada BBM non-subsidi Dexlite.
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan sempat menilai program B35 menjadi salah satu faktor naiknya harga dan kelangkaan minyak goreng di lapangan. Ini karena program tersebut meningkatkan penggunaan minyak kelapa sawit atau (Crude Palm Oil/CPO), sebagai bahan baku minyak goreng.
“B20 nyedot CPO 9 juta, begitu berubah jadi B35, tambah 4 juta jadi 13 juta kilo liter disedot,” kata pria yang akrab disapa Zulhas di Hotel Shangri-La Jakarta, beberapa waktu lalu.
Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional mencatat, harga rata-rata minyak goreng curah pada Rabu (8/2/2023) untuk daerah DKI Jakarta dan sekitarnya berada di kisaran Rp17.100 per liter. Sementara MinyakKita yang jadi program pemerintah untuk mengatasi kenaikan harga minyak tahun lalu sudah berada di atas harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp14.000 per liter
Dalam survei yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ditemukan bahwa harga minyak goreng curah dan MinyakKita di hampir seluruh wilayah Indonesia berada di atas HET dan sulit didapatkan. Tidak jarang, harga tersebut dapat berkisar 5 persen hingga 14 persen di atas HET.
Kondisi tersebut di berbagai wilayah dan diduga dimanfaatkan penjual atau distributor dengan melakukan penjualan bersyarat atau tying-in antara MinyakKita dengan produk lain yang dipasarkan penjual atau distributor.
“Dugaan tersebut ditemukan KPPU di wilayah kerja Surabaya, Balikpapan, dan Yogyakarta," kata Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Ranamanggala dalam pernyataanya.
Buntut dari kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng tersebut, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengambil langkah inisiatif ‘membekukan’ sebagian hak ekspor yang dimiliki eksportir minyak sawit mentah dan minyak goreng. Ini dilakukan semata-mata untuk menjaga pasokan dalam negeri dan menjamin harga tetap stabil.
Eksportir akan memperoleh hak ekspor CPO dan tiga produk turunannya setelah memenuhi kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik atau DMO hingga 50 persen. Adapun saat ini, rasio DMO CPO dan tiga produk turunan yang diterapkan pemerintah sebesar 1:6. Artinya, eksportir berhak mengekspor sebanyak enam kali lipat dari jumlah realisasi pemenuhan DMO.
Luhut juga meminta agar Kemendag, Kemenperin, dan Indonesia National Single Window (INSW) untuk mendepositokan 66 persen hak ekspor yang dimiliki eksportir saat ini dan tidak dapat langsung digunakan. Pencairan deposito akan dilakukan secara bertahap sejak 1 Mei dan diberikan melihat kepatuhan perusahaan dalam memenuhi kewajiban DMO.
Namun perusahaan akan diberikan ruang pencairan deposito lebih cepat dengan catatan mereka harus memenuhi kontrak yang sudah ada. Tetapi hak ekspor yang dimiliki tidak mencukupi meski telah memenuhi tambahan DMO.
Penyebab Kenaikan Harga & Kelangkaan Migor
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kemendag, Kasan mencermati, kenaikan harga minyak goreng terjadi karena adanya pergeseran konsumsi masyarakat. Di mana dari sebelumnya mereka yang biasa menggunakan minyak premium beralih ke MinyakKita yang kualitas dan harganya lebih murah.
“MinyakKita jadi merk favorit masyarakat, karena harga murah dan kualitas baik, sehingga pembelinya tambah termasuk yang selama ini beli minyak premium pindah," ujarnya kepada reporter Tirto.
Selain itu, hal tidak dihindarkan juga adalah akibat pasokan DMO yang turun sejak Desember 2022 hingga Januari 2023. Ini karena pasar ekspor lesu, sehingga pasokan MinyakKita ke pasar domestik turun.
Dari sisi pengusaha, Plt Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga mengakui, penyebab kelangkaan minyak goreng kemasan murah karena produksi yang menurun. DMSI mencatat sejak periode November 2022 hingga Januari 2023 ada 6,17 juta ton hak ekspor minyak sawit yang belum terealisasi. Itu lantaran adanya resesi ekonomi yang menurunkan permintaan terhadap minyak sawit dunia.
Sementara untuk memproduksi MinyakKita dan minyak goreng curah dengan harga di tingkat konsumen sebesar Rp14.000 per liter, pengusaha harus mengeluarkan dana talangan karena produsen jual rugi.
“Pengusaha itu nombok untuk MinyakKita, dari mana dana nombok ini? Yaitu dari keuntungan ekspor. Jadi, mereka tidak produksi itu karena tidak ada cuan (dari ekspor) untuk tutupi kerugian," kata Sahat dalam konferensi pers di Jakarta.
Sedangkan di luar dari itu, kata Luhut, kelangkaan yang terjadi juga karena adanya masalah pada proses distribusi. Baik dari indikasi masih adanya stok yang menumpuk maupun pelanggaran terhadap penetapan harga HET di lapangan.
Kemendag sendiri sempat menemukan lebih dari 500 ton stok MinyakKita yang belum disalurkan sejak Desember 2022. Satgas Pangan tengah mencari tahu apakah stok MinyakKita yang ditemukan ini sengaja ditimbun atau tidak. Karena stok yang ditemukan sudah diproduksi sejak Desember 2022 atau satu bulan lebih.
“Menurut yang punya, mereka bikin dulu, tapi DMO-nya gak datang-datang. Nanti Satgas Pangan yang mengecek ada pelanggaran atau tidak," tutur Zulhas.
Namun yang terpenting saat ini, kata Zulhas, adalah penambahan stok MinyakKita yang nantinya akan disalurkan ke beberapa pasar tradisional di sekitaran Jawa. Stok tersebut hanya khusus untuk pendistribusian ke pasar tradisional bukan untuk dijual di online atau e-commerce.
“Jadi solusinya kita tambah dari 300 ribu ton ke 500 ribu ton per bulan dan saya sudah teken kemarin. Tetap utamanya pasar rakyat kalau lebih baru bisa masuk ke ritel modern. Kalau di ritel modern kurang maklum karena ini kita untuk pasar rakyat dulu," jelasnya.
B35 jadi Penyebab Kelangkaan?
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menegaskan, program B35 ini tidak akan mengganggu pasokan untuk minyak kebutuhan konsumsi. Bahkan pemerintah menjamin ketersediaan minyak dalam negeri mencukupi.
“Kemarin sudah ditingkatkan dari 300 ribu menjadi 450 ribu KL. Jadi tentu suplai banyak demikian pula dengan tekanan impor pasar ekspor eropa itu akan kurangi demand," ujarannya di kantornya, Jakarta.
Selain itu, Sahad juga menegaskan bahwa tingginya harga minyak dan kelangkaan bukan disebabkan oleh implementasi dari B35. Sebab jatah untuk minyak goreng sendiri berbeda peruntukannya dengan biodisel.
“Tidak karena poinnya pabrik minyak biodiesel lain dan minyak goreng ini lain jadi nggak akan (berpengaruh) itu," kata Sahat.
Ketua DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Manurung menegaskan, tidak ada hubungannya B35 dengan kelangkaan MinyakKita. Justru B35 dinilai sudah menyelamatkan petani sawit akibat kebijakan DMO naik 50 persen menjadi 450 ribu ton per bulan.
"Coba kalau B35 tidak ada, maka kebijakan DMO naik 50 persen akan membuat harga TBS anjlok sebesar Rp270/kg. Tapi faktanya harga TBS sejak B35 cenderung naik Rp50-150/kg TBS," ujarnya kepada Tirto.
Walaupun demikian, dia mengakui kebijakan pemerintah menangguhkan sebagian ekspor sawit terbilang cukup ekstrem. Namun dirinya setuju dengan penerapan DMO sawit 50 persen.
“Jika diatasi dengan cara ‘biasa’ bisa saja kejadian seperti awal tahun lalu terulang lagi, jadi memang harus dengan cara yang tidak biasa (ekstrem). Kita masih ingat harga minyak goreng tidak terkendali dan presiden melarang ekspor CPO secara penuh. Jadi ibarat buah simalakama yang artinya seseorang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit untuk dipilih, namun harus memutuskan mana yang lebih utama dan pertama,” urainya.
Program mandatori B35 atau pencampuran biodiesel 35 persen pada bahan bakar jenis solar sendiri diklaim memiliki berbagai keuntungan. Salah satunya akan menghemat devisa sebesar 10,75 miliar dolar AS. Program ini juga akan memberikan nilai tambah bagi industri sawit senilai Rp16,76 triliun.
“Dan kebijakan B35 diperkirakan akan kurangi emisi gas rumah kaca 34,9 juta ton CO2," kata Airangga.
Lebih lanjut, Airlangga mengatakan, program B35 ini akan menjadi tolak ukur bagi negara-negara lain. Lantaran ini baru pertama kali di dunia.
“Diharapkan tentu Indonesia bisa jadi penentu utama harga CPO dan berharap ini bisa memerankan peran Indonesia dan berdampak kepada 4,2 juta petani pekebun sawit dari total 16,2 juta yang bekerja di sektor sawit," katanya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz