tirto.id - Kursi Gubernur Bank Indonesia akan segera kosong. Hal ini tidak lepas dari masa jabatan Perry Warjiyo yang akan habis pada Mei 2023. Namun, Presiden Joko Widodo belum menentukan dan mengirimkan nama ke DPR meski waktu jabatan Gubernur Bank Indonesia saat ini segera berakhir.
“Sampai saat ini DPR belum menerima usulan nama calon Gubernur BI dari presiden. Kita tunggu saja proses pengajuan yang dikirimkan dari pemerintah,” ungkap Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah kepada wartawan, Jumat (3/2/2023).
Said mengatakan, Presiden Jokowi punya tenggat waktu paling lambat mengirim nama pengganti Perry pada minggu ketiga Februari ini. Sebagai catatan, sebagaimana Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengamanatkan pemilihan Gubernur Bank Indonesia diangkat dan diusulkan presiden dengan persetujuan DPR RI.
Di saat yang sama, Said menyebut ada beberapa kandidat yang layak menjadi Gubernur Bank Indonesia. Nama tersebut antara lain: Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati; Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa; hingga Gubernur BI saat ini, Perry Warjiyo.
Nama ketiga kandidat tersebut muncul dan dianggap mumpuni serta layak memimpin bank sentral. Ia menilai, nama-nama yang masuk layak dan kompeten. DPR menunggu nama kandidat yang cocok yang diusulkan Presiden Jokowi.
“Dari nama-nama yang beredar semuanya memiliki reputasi dan kompetensi yang sangat baik. Saatnya nanti jika Presiden Jokowi sudah mengirimkan nama calon Gubernur BI ke DPR, kami mengharapkan dukungan masyarakat dan media massa untuk ikut memberikan masukan dan informasi atas calon Gubernur BI yang diusulkan pemerintah,” kata dia.
Lebih lanjut dirinya meyakini, Jokowi akan mengajukan tokoh-tokoh berkualitas dan kompeten memimpin BI. Dia pun berharap, Jokowi sebaiknya hanya mengusulkan satu nama calon Gubernur BI ke DPR.
“Hal ini untuk mengurangi berbagai spekulasi dan manuver-manuver yang tidak perlu di tahun politik,” lanjut Said.
Figur Gubernur BI yang Dibutuhkan di Sisi Ekonomi
Dalam keterangan kepada wartawan, Said menyampaikan figur Gubernur BI yang ideal di masa depan. Menurut dia, calon yang ideal diharapkan memiliki chemistry dengan pemerintah, khususnya kementerian sektor perekonomian dan keuangan, serta otoritas lainnya seperti OJK dan LPS. Sebab, kedudukan BI sangat penting sebagai regulator sektor makro prudential.
“Apalagi, setelah pengesahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, kita membutuhkan banyak aturan pelaksana yang harus segera dibuat. Butuh kerja cepat dan solid di antara Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang di dalamnya ada unsur BI,” terang anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP itu.
Melalui UU di atas, ungkap Said, BI diberikan lebih besar turut serta dalam menjaga dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta menurunkan tingkat kemiskinan nasional. Tentu ini tugas yang tidak ringan, butuh effort yang lebih besar dari BI.
Selain itu, tugas BI juga sangat penting memastikan inflasi terkendali serta kurs yang stabil. Terlebih, pada 2023 ini kita menghadapi tahun ekonomi yang tidak mudah melalui penjagaan devisa agar tetap kuat. Tugas BI juga perlu memastikan Kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) bukan hanya di sektor sumber daya alam, tetapi diperluas ke sektor lainnya seperti perbankan.
“Dan yang juga penting memastikan pelaksanaan kebijakan DHE setidaknya 6 bulan sampai 1 tahun dengan insentif bagi eksportir yang diberikan pas buat menopang usaha mereka,” tutupnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, ada sejumlah kriteria wajib yang perlu dimiliki oleh Gubernur BI masa depan.
“Calon gubernur BI setidaknya harus punya 5 kriteria, Pertama, berani menolak melanjutkan burden sharing atau cetak uang dalam rangka menyelamatkan defisit APBN,” kata Bhima kepada Tirto, Jumat (3/2/2023).
Kedua, kata Bhima, Gubernur BI harus mencari opsi stabilitas kurs dengan terpaku pada kebijakan konvensional naik turunkan suku bunga acuan. Ketiga, Gubernur BI masa depan harus memiliki integritas atau tidak punya masalah konflik kepentingan dan track record yang bersih. Keempat, harus punya komitmen mengarahkan kebijakan moneter yang pro mitigasi perubahan iklim.
“Kelima, paham dan mampu mengendalikan arah perkembangan teknologi termasuk soal rupiah digital dan cepatnya inovasi fintech payment," kata Bhima.
Bhima mengatakan ada nama dari internal BI yang bisa menjadi kandidat seperti Deputi Bank Indonesia, Juda Agung meski tidak memungkiri nama-nama lain adalah kandidat kuat. Namun Bhima menilai nama seperti Perry maupun Purbaya sebaiknya tidak dipilih di masa depan.
Ia menilai Bank Indonesia perlu penyegaran. Khusus pada Perry, Bhima lebih menyarankan agar diganti karena Bank Indonesia perlu inovasi ekonomi pasca pandemi meski berprestasi sebagai pemimpin di masa pandemi.
“Perlu penyegaran dari Pak Perry ya, meski diakui era Pak Perry banyak tantangan yang berhasil diselesaikan BI. Begitu juga dari kebijakan DHE yang wajib diparkir di dalam negeri itu terobosan BI yang harus diakui," kata Bhima.
Khusus Sri Mulyani, Bhima tidak memungkiri kalau eks Managing Director World Bank itu adalah kandidat Gubernur Bank Indonesia. Ia beralasan, Sri Mulyani teruji dalam koordinasi penanganan masalah ekonomi karena tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Ia juga punya komunikasi baik ke berbagai pihak.
Akan tetapi, kata dia, Sri Mulyani menjadi kandidat dengan catatan. Bhima beralasan, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu adalah pihak yang mendorong burden sharing atau skema pembelian SBN oleh BI di pasar primer alias cetak uang. Hal itu adalah masalah serius karena berkaitan independensi bank sentral dan inflationary risk dari kebijakan moneter.
Bhima mengingatkan, dampak burden sharing bisa memicu peredaran uang meningkat. Hal ini memicu akibat inflasi dari sisi pasokan membahayakan stabilitas ekonomi. Burden sharing juga berakibat pada moral hazard yakni pembiayaan defisit pada belanja yang tidak produktif didukung BI.
Moral hazard juga muncul ketika pemerintah mengandalkan BI untuk selalu tutup defisit APBN, meski ada opsi pengurangan beban utang. Hal ini bisa memicu Bank Indonesia mengalami dampak buruk, apalagi di tengah ketidakpastian global, kata Bhima.
“Kalau Sri Mulyani berani untuk tidak melanjutkan burden sharing, maka SMI akan jadi kandidat yang potensial,” kata Bhima.
Sebagai salah satu nama yang disebut kandidat potensial, Sri Mulyani pun angkat bicara. Ia menilai pemilihan Gubernur BI akan dilakukan sesuai mekanisme yang berlaku.
“Jadi kalau mengenai Gubernur Bank Indonesia diatur dalam undang-undang, itu prosesnya sudah ada,” kata Sri Mulyani dalam acara Konferensi Pers Hasil Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) I Tahun 2023 di Gedung Djuanda I, Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa, (31/1/2023).
Dosen FEB-UI ini mengaku, nama-nama yang disebut sebagai kandidat Gubernur BI adalah bagian KSSK. Ia mengatakan para nama yang disebut fokus pada kerja KSSK daripada memikirkan kursi Gubernur BI.
“Karena ini adalah tugas utama kita yaitu jaga stabilitas sistem keuangan dan menjaga pemulihan ekonomi,” kata Sri Mulyani.
Pintu Reshuffle Semakin Kuat dan Terbuka
Analis dari Indostrategi, Arif Nurul Imam mengakui bahwa potensi reshuffle akan semakin kuat jika Sri Mulyani akan menjadi Gubernur BI. Hal ini tidak lepas dari posisi menkeu yang akan ditinggal Sri Mulyani.
“Jika wacana ini betul-betul terjadi, maka potensi terjadi reshuffle kabinet cukup besar karena harus ada yang mengganti Menteri Keuangan Sri Mulyani,” kata Imam kepada reporter Tirto.
Imam menilai, Jokowi pasti akan menempatkan Sri Mulyani jika memang dibutuhkan. Hal itu tidak lepas dari kebiasaan Jokowi yang selalu menggeser pejabat sesuai kebutuhan.
Sebagai catatan, Jokowi mengakui bahwa ia mengevaluasi kinerja menterinya. Ia akan mengganti dengan dua dasar, yakni dasar politis dan kinerja. Hal itu sempat dinyatakan Jokowi usai acara PSI di Jakarta, Selasa (31/1/2023).
“Yang utama memang performa, kinerja bahwa ada sisi politiknya pasti juga ada, tapi itu bukan yang utama," kata Jokowi.
Jokowi kembali menekankan soal jadi reshuffle atau tidak melihat keesokan hari. Namun Jokowi menutup rapat bidang mana yang akan di-reshuffle. “Mau tahu aja,” tutur Jokowi.
Imam menambahkan, pergeseran Sri Mulyani akan memperbesar peluang reshuffle kabinet, apalagi dengan adanya kalkulasi soal kasus korupsi Bakti Telkom yang dikaitkan dengan Menkominfo, Jhonny G. Plate hingga soal sikap Partai Nasdem yang mendukung Anies Baswedan. Pergeseran Sri Mulyani akan menjadi satu variabel pemicu reshuffle.
Di sisi lain, Imam menilai, reshuffle kali ini berpotensi menambah kursi wakil menteri. Hal ini tidak lepas jelang Pemilu 2024 dan kabinet saat ini cukup banyak diisi politikus. Ia menduga, Jokowi akan menempatkan kandidat wamen yang berpengalaman, integritas dan profesional sesuai kebutuhan.
“Tentu bergantung kebutuhan, terutama menteri yang maju dalam kontestasi elektoral, perlu backup wamen,” kata Imam.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz