tirto.id - Tanah kubur belum kering, mata Siti harus kembali berkaca-kaca ketika mengenang almarhumah mamanya. Senin depan tepat 40 hari pasca kepergian mamanya pada 29 Desember 2022.
Meski tak kuat menahan kesedihan, tapi wanita berusia 26 tahun itu bersedia mengisahkan kembali semasa hidupnya. Hampir selama puluhan tahun, dalam ingatan dia, mamanya tidak pernah tersentuh bantuan dari pemerintah.
Padahal, seharusnya ia merupakan kelompok masyarakat yang berhak menerima bantuan dari pemerintah. Selama belasan tahun, ia hidup menjanda dan tidak memiliki penghasilan tetap.
"Yang saya tahu selama tahun 2020 itu, ibu saya hanya menerima 2 kali bantuan, entah itu BLT atau apa namanya. Dan itu pun jumlah (uangnya) berkurang dari kali pertama menerima bantuan tersebut," ujarnya mengisahkan kepada reporter Tirto, Kamis (2/2/2023).
Pada 2020, pandemi COVID-19 tengah melanda di Indonesia. Periode itu menjadi kali pertama bantuan sampai ke tangan mamanya dan selanjutnya menghilang di 2021 dan 2022. Padahal anggaran pelindungan sosial (perlinsos) sebagai jaring pengaman bagi masyarakat nilainya ratusan triliun.
Anggaran perlinsos pada 2021 disiapkan sebesar Rp124 triliun yang masuk ke dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Kemudian pada 2022, nilainya meningkat menjadi sebesar Rp129 triliun.
"Saya tidak tahu kategori orang yang berhak menerima bantuan itu seperti apa karena list-nya sudah ditentukan dari pihak desa/kelurahan," ujarnya mempertanyakan.
Dia lantas membandingkan dengan kakak iparnya yang justru setiap tahun menerima bantuan, kendati jumlah besaran yang diterima tidak diketahuinya. Menurut dia, ini janggal dan tidak adil. Apalagi kakak iparnya memiliki penghasilan pasti setiap bulan.
“Ada lagi orang yang terdaftar sebagai penerima bantuan yang sekarang sudah meninggal, tapi bantuannya itu masih mengalir ke anaknya yang berpenghasilan lebih dari cukup," ceritanya.
Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati tak menampik bahwa anggaran program bantuan sosial (bansos) yang nilainya mencapai triliunan masih banyak catatan. Terutama pesoalan data penerima yang kerap tidak tepat sasaran dan disalahgunakan.
“Ada yang tidak kebagian. Ada yang yang harusnya tidak mendapatkan karena tidak termasuk golongan masyarakat harus dapat, ternyata dapat. Memang ini catatan-catatan penting dan ini menjadi satu evaluasi untuk kita semua," kata Anis saat dihubungi.
Anggaran Kemiskinan yang Ugal-ugalan
Adanya sebagian masyarakat tak tersentuh program bantuan dan salah sasaran, tidak lepas dari penggunaan anggaran secara ugal-ugalan. Hal ini karena anggaran kemiskinan yang nyaris Rp500 triliun tersebar di kementerian dan lembaga selama ini habis tak sejalan dengan prioritas Presiden Joko Widodo.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Pan-RB), Abdullah Azwar Anas, sempat mengakui kementerian dan lembaga sibuk dengan urusan masing-masing. Anas bilang, selama ini banyak program kemiskinan dijalankan, namun anggarannya lebih banyak terserap untuk studi banding dan rapat-rapat di hotel.
“Programnya kemiskinan, tapi banyak terserap ke studi banding tentang kemiskinan. Banyak rapat-rapat tentang kemiskinan. Saya ulangi lagi, menirukan Bapak Presiden, dan banyak untuk program-program yang terkait dengan studi-studi dan dokumentasi tentang kemiskinan sehingga dampaknya kurang,” katanya dalam acara Closing Ceremony ASN Culture Fest 2022.
Di depan banyak perwakilan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, ia meminta kejadian tersebut tak terulang. “Harapan saya anggarannya tidak habis untuk perjalanan dinas,” tambahnya.
Anis Byarwati menilai apa yang disampaikan MenpanRB Anas patut diapresiasi. Karena menurutnya ini sama halnya seperti pemerintah menampar mukanya sendiri dengan berani mengungkapkan fakta baru.
"Dan saya yakin MenpanRB kan punya data tidak asal bicara," kata politikus PKS tersebut.
Peningkatan Kemiskinan yang Terjadi
Anis lantas menyoroti peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Pada September 2022, penduduk miskin mencapai 26,36 juta orang atau setara dengan 9,57 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia. Angka ini meningkat 0,03 atau 200.000 orang jika dibandingkan Maret 2022 yang hanya tercatat 26,16 juta orang atau 9,54 persen.
Jika dibandingkan dengan lima tahun lalu atau September 2017, jumlah penduduk miskin mencapai 26,58 juta orang atau setara 10,12 persen. Artinya, kata Anis kalau lima tahun lalu 10,12 persen, kemudian di September 9,57 persen belum terlalu signifikan penurunan angka kemiskinannya.
“Artinya dengan anggaran yang digelontorkan itu dibanding dengan penurunan kemiskinan itu belum signifikan. Dan ini menjadi catatan penting bahwa setiap rupiah dari APBN yang dikeluarkan itu mestinya berdampak," jelasnya.
Dia mengatakan isu kemiskinan memang krusial tidak saja di Indonesia, tapi menjadi permasalahan global. Kemiskinan sendiri mestinya menjadi indikator apakah negara berhasil mengurus rakyatnya dengan baik.
Karena berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara" dan selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (2) menyatakan "Bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Bagi fakir miskin dan anak terlantar seperti yang dimaksud dalam UUD 1945, pemerintah dan pemda seharusnya memberikan rehabilitasi sosial jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Ini perlu sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban negara dalam menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan dasar warga negara yang miskin dan tidak mampu.
“Arinya apa? Bahwa kemiskinan akan menjadi satu amanat dari siapapun penyelenggara negara untuk mengurus rakyatnya dengan baik. Ketika angka kemiskinan itu meningkat atau angka kemiskinan itu tidak bisa diturunkan bahwa negara belum hadir untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar itu," jelasnya.
Atas dasar itu, dia mengingatkan semua lembaga untuk lebih efektif dan efisien mempergunakan anggaran negara. Termasuk ketika itu digunakan untuk bantuan-bantuan sosial atau pelindungan sosial yang memang anggarannya triliunan.
“Ini menjadi satu evaluasi untuk kita semua, terutama untu kementerian-kementerian yang diamanahkan untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan amanat undang-undang," katanya.
Penjelasan BPS soal Kenaikan Kemiskinan
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono menjelaskan, sebelum kondisi pandemi angka kemiskinan sempat berada di bawah yaitu 9,22 persen. Namun memasuki pandemi pada Maret 2020 angka kemiskinan mulai melompat 9,78 persen. Bahkan puncaknya, kemiskinan terjadi pada September 2020 berada di 10,19 persen.
“Nah ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi di hampir semua negara pada saat kondisi pandemi kemiskinan itu mengalami peningkatan," kata dia dalam sebuah diskusi dikutip dari YouTube tvOneNews.
Namun sejalan dengan adanya vaksinasi serempak yang dilakukan pemerintah, angka kemiskinan mulai turun, kembali turun sedikit di Maret 2021 yaitu 10,14 persen. Kemudian sampai dengan Maret 2022, setelah setahun kembali turun 9,54 persen.
Akan tetapi, saat pemberlakuan penyesuaian harga BBM yang diberlakukan pada September 2022, kemiskinan justru naik tipis menjadi 9,57 persen.
“Jadi tadi faktor pemicunya yang pertama ada kenaikan BBM. Tetapi juga ada faktor yang tadi pengeremnya," ujarnya.
Ateng sebut, salah satu pengeremnya adalah berbagai program bantuan sosial untuk penanganan atau melindungi daya beli masyarakat. Adapaun dalam hal ini, Kementerian Sosial dan beberapa kementerian lainnya bersama pemerintah daerah melalui dana transfer umum terlibat semua.
Sementara itu, Ekonom Anthony Budiawan menilai, kebijakan fiskal dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan justru gagal. Dia bahkan memperkirakan pada Maret 2023 angka kemiskinan justru bertambah akibat dari kebijakan kenaikan harga BBM.
“Nah sekarang bayangkan dengan adanya kenaikan pendapatan negara itu, harga BBM dinaikkan. Memang ini adalah program-program kebijakan fiskal yang mau memiskinkan rakyat. Ini tidak boleh terjadi," kata dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz