Menuju konten utama
Ketahanan Pangan

Harga Beras yang Selalu Naik & Reshuffle Tak Selalu Jadi Solusi

Riko menyayangkan pemerintah Indonesia masih belum optimal dalam penyediaan pangan, terutama beras.

Pekerja memindahkan karung berisi beras impor di Gudang Bulog Divre Sumatera Barat, di Padang, Selasa (31/1/2023). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/tom.

tirto.id - Harga beras mengalami kenaikan signifikan beberapa minggu terakhir. Angka tersebut berdasarkan pemantauan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) per Selasa (31/1/2023).

Harga Beras kualitas bawah saat ini masih meroket, dengan rata-rata harga mencapai Rp11.750 per kilogram (kg). Angka ini naik 50 perak dibandingkan Senin (30/1/2023) yang mencapai Rp11.700 per kg.

PIHPS mencatat kenaikan harga barang hingga mendekati Rp15 ribu. Harga beras termahal ada di Kota Padang menyentuh Rp14.750 per kg. Harga beras termurah ada di Kota Blitar dipatok Rp9.500.

Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan menegaskan, pemerintah akan mengambil langkah untuk menekan harga beras. Ia mengaku salah satu upaya yang dilakukan adalah membanjiri stok di lapangan.

“Mudah-mudahan KaBulog dan kita semua akan membanjiri dengan stok yang ada, dengan demikian mudah-mudahan dalam waktu dekat ini harga sudah bisa kembali turun. Teknisnya agar cepat mengguyur pasar itu nanti Pak Buwas dan Pak Arif sampaikan,” kata Zulkifli di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (31/1/2023).

Sementara itu, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo mengaku, Jokowi meminta mereka untuk menstabilkan harga beras. Ia sebut pemerintah akan menyalurkan sekitar 300 ribu ton beras Bulog. Kemudian pemerintah akan menambahkan stok beras dari 13 ribu ton menjadi 30 ribu ton di Pasar Induk Cipinang. Selain itu, mereka juga melihat Februari-Maret mendatang akan masuk panen.

“Saya juga sudah menugaskan Bulog untuk menyerap 2,4 juta ton taun ini sehingga ini gudang memang harus dikosongkan. Jadi nanti Bulog akan mengosongkan utnuk operasi pasar sebulan terakhir ini dan new crop 2,4 juta ton. 70% dipanen pertama sisanya di akhir tahun," kata Arief di Jakarta.

Kepala Badan Logistik Nasional (Bulog) Budi Waseso juga memastikan pemerintah mulai melakukan operasi pasar. Ia menurunkan beras impor kualitas premium dengan harga Rp8.300,- per kilogram. Ia pun memastikan stok cadangan beras pemerintah cukup.

“CBP yang sudah siap tadi yang sudah siap kita edarkan 315 ribu ton. Itu yang akan segera kita turunkan untuk operasi pasar. Tapi kita masih punya cadangan impor, nah itu juga akan kita turunkan semua, kita habiskan untuk operasi pasar Januari, Februari sampai nanti Maret,” kata Buwas, Selasa (31/1/2023).

Masalah yang Terus Belulang

Masalah kenaikan harga beras hampir terulang sertiap tahun, tapi pemerintah tak kunjung juga menemukan solusi konkretnya. Reshuffle kabinet juga tak menyelesaikan masalah: nyatanya ganti menteri pun kenaikan harga beras tetap selalu terjadi.

Pada era Menteri Perdagangan Agus Suparmanto misal, meski ia mengklaim stok pangan aman, tapi nyatanya harga beras tetap naik. Agus akhirnya diganti Muhammad Lutfi. Meski Lutfi dapat mengatasi harga beras, tapi dia diterpa isu impor beras yang menuai kritik kala itu.

Kini, masalah harga beras kembali mengemuka. Adin (38), warga Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta bercerita pengalamannya. Ia mengatakan dalam sebulan terakhir harga beras naiknya cukup drastis.

“Saya biasanya beli beras yang 5 kg Rp48.000, terus naik menjadi Rp50 ribu, terakhir harganya sudah Rp56 ribu per 5 kg,” kata dia kepada reporter Tirto.

Bukti Pemerintah Belum Punya Komitmen?

Peneliti kebijakan public Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro menilai, permasalahan harga beras hingga akhirnya muncul isu impor pangan beras adalah bukti pemerintah belum memiliki komitmen politik yang kuat untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.

“Praktik impor beras yang berulang kali terjadi menjadi gambaran kebijakan pemerintah mudah dikendali oleh aktor pemburu untung,” kata Riko kepada Tirto, Selasa (31/1/2023).

Riko menyayangkan pemerintah Indonesia masih belum optimal dalam penyediaan pangan, terutama beras. Pemerintah, kata Riko, seharusnya masih bisa mengoptimalkan produksi pangan karena masih ada lahan yang tersedia, kemajuan teknologi dan potensi pasar yang besar. Ia menilai, pemerintah belum mengelola poin-poin tersebut secara optimal demi menjaga stok pangan.

“Kebijakan modernisasi pertanian berjalan lambat. Gagasan food estate hanya jadi slogan saja. Tidak ada wujud nyata yang berdampak,” imbuhnya.

Riko menambahkan, permasalahan stok pangan menurun juga tidak lepas dari pembangunan pesat di Jawa. Padahal, lahan Jawa bagus untuk pertanian. Di sisi lain, pemerintah malah ekspansi pertanian di luar Jawa yang notabene belum optimal. “Dampaknya produksi beras pun menurun," kata Riko.

Berdasarkan dalih itulah, pemerintah mengambil langkah pendek dengan melakukan impor beras. Jika saja serius melakukan modernisasi pertanian dapat menghindari impor beras. Sekaligus memandirikan kebutuhan pangan nasional.

“Perubahan iklim, bencana alam sampai konflik perang merupakan ancaman yang bisa terjadi kapan saja. Ketersediaan pangan harus terjaga baik. Salah satunya dnegna mandiri dalam kebutuhan pangan,” tuturnya.

Sementara itu, analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo menilai ada sejumlah faktor yang membuat pemerintah sulit menyelesaikan masalah beras. Jika dilihat dari segi politik, masalah beras muncul karena masalah ini terjadi akibat lintas-sektoral.

“Menurut saya masalah klasik ini terjadi karena satu memang ini lintas sektor masalahnya. permasalahan beras tidak hanya tanggung jawab Kementerian Perdagangan. Ada banyak kementerian lain yang saling berhubungan sehingga kata kelola dan tata kebijakannya harus sinkron,” kata Kunto.

Kunto menilai, antar-kementerian atau antar-sektor enggan berkomunikasi dan saling menahan diri. Mereka tidak ingin lintas sektor sehingga masalah tidak kunjung selesai. Hal ini tidak bisa diselesaikan dengan mengganti menteri.

“Mengganti menteri atau bahkan reshuffle atau apa pun nggak akan bisa menyelesaikan masalah ini, kecuali presidennya harus duduk bersama dengan semua sektor terkait kemudian membuat tata kelola dan policy yang lebih sinkron di semua kementerian. Menurut saya itu masalah utamanya,” kata Kunto.

Poin kedua adalah masalah perencanaan. Ia menilai, masalah perencanaan teknis kadang memicu masalah meski tata kelola dan policy sudah baik. Ia menuturkan, pelaksanaan perencanaan pemerintahan tidak selalu berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan aksi penyerapan anggaran.

Ketiga adalah faktor eksternal. Ia mengingatkan bahwa banyak pihak yang berkepentingan dalam kasus beras dan beras adalah barang penting. Hal ini tentu melibatkan kelompok spekulan yang mencari untung.

“Ini kan terkait dengan komoditas yang paling banyak dicari gitu sehingga sangat mungkin ada pihak-pihak, ya jelas pedagang beras akan mengambil untung kalau memang bisa dispekulan-spekulan itu bisa menghitung dengan cermat sedangkan pemerintah gagal utk kemudian mengantisipasinya," kata Kunto.

“Jadi menurut saya ya paling tidak 3 faktor itu yang membuat kebijakan pemerintah dalam beras kurang efektif," tutup Kunto.

Baca juga artikel terkait BERAS atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz