tirto.id - Biky (bukan nama sebenarnya) pusing tujuh keliling. Hari pernikahannya tinggal beberapa minggu lagi. Saldo yang ada di tabungannya setelah dihitung-hitung tidak cukup menutupi biaya resepsi. Sementara ia harus segera melunasi gedung acara pernikahan dan catering.
Tak ada niatan sebelummya. Tapi, harus dilakukan. Jalan pintas diambil dengan 'menyekolahkan' Surat Keputusan (SK) pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Biky sendiri adalah abdi negara yang belum genap setahun diangkat di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
“Udah buntu banget waktu itu. Jalan pintasnya mau enggak mau gadaikan dulu SK," ujarnya bercerita kepada reporter Tirto, Jumat (27/1/2023).
Gayung bersambut, rencana untuk menggadaikan SK rupanya mendapat karpet merah. Seorang teman bekerja di salah satu perbankan pelat merah tiba-tiba menawarkan pencairan pinjaman tunai. Proses cepat dan mudah dijanjikan. Limitnya bahkan bisa mencapai di atas Rp50 juta.
Di ujung telepon keduanya saling berkomunikasi. Membicarakan dari mulai persyaratan, jaminan, jumlah pencairan, hingga tenor yang diberikan. Setelah mendapatkan penjelasan, tanpa pikir panjang ia setuju dan bertemu di kantor cabang perbankan berada dibilangan Kota Bekasi.
"Setelah ngisi data pengajuan dan lain-lain, prosesnya kalau gak salah satu hari udah cair masuk ke rekening," katanya mencoba mengingat.
Saat itu, ia memutuskan untuk mengambil pinjaman sebesar Rp40 juta dengan tenor hanya 1,5 tahun. Uang tersebut selain diperuntukkan untuk membayar pelunasan gedung dan catering, sisanya digunakan untuk bekal dan pegangan.
"Ya dibilang lega ya lega sih. Cuma tetap ke depannya kan jadi punya cicilan," ujarnya.
Berbeda dengan Biky, Akbar juga harus merelakan SK PNS-nya selama puluhan tahun berada di bank. Keinginannya memiliki rumah tinggal dengan cepat menjadi salah satu pendorong. Saat itu, usia kerjanya di salah satu perusahaan BUMN baru berjalan sekitar tiga tahun.
"Iya kemarin ambil KPR di salah satu bank milik pemerintah. Dipikir-pikir lumayan buat investasi," katanya.
Pria berusia 32 tahun itu merasa kemampuan untuk membeli rumah komersil dengan cara lunas tidak mungkin. Karena tabungan ada di rekeningnya hanya cukup untuk uang muka saja saat itu. Sehingga jalan pintas menggadaikan SK diambil untuk memenuhi keinginannya.
"Iya mau gimana lagi, kadang lingkungan di sekitar juga setelah ngobrol-ngobrol ternyata banyak yang gadein (SK) juga," ujarnya.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Abdullah Azwar Anas tak menampik banyaknya PNS yang terjebak kredit atau utang di perbankan. Kondisi itu tidak lepas karena PNS memiliki pendapatan income yang pasti sehingga dilirik oleh perbankan.
Dia mengatakan dari sisi kesejahteraan, PNS lebih tinggi dibandingkan masyarakat pada umumnya. Pendapatan per kapita rata-rata satu orang PNS per tahun bahkan berada di atas rate pendapatan per kapita masyarakat di Indonesia.
“Jadi sebenarnya kalau konsep cukup ya cukup. Kurang karena banyak kreditan. Memang lembaga kredit ini meracuni kita, gagal lewat kita ke istri kita. Gagal ke istri kita lewat hape anak kita, sehingga kita termasuk negara yang konsumtif tidak perlu dibelanjakan, yang tidak produktif mestinya dibelikan," kata dia dalam acara Closing Ceremony ASN Culture Fest 2022.
Faktor Penyebab PNS Terlilit Utang
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira berpandangan, terdapat tiga alasan kenapa PNS banyak terjebak utang. Pertama, gaya hidup yang tidak terkendali sehingga menjadi tren bagi PNS untuk menggadaikan SK ke lembaga keuangan demi menutup pengeluaran bulanan yang terlalu tinggi.
"Status PNS di kalangan masyarakat masih identik dengan golongan yang mapan, jadi ketika ada PNS handphone-nya biasa, motornya sederhana, rumahnya kontrak itu dianggap aneh di mata masyarakat kita," jelas Bhima kepada Tirto.
Kedua, kata Bhima, buruknya pengelolaan keuangan sebagian PNS. Hal ini karena mereka menganggap bahwa kredit konsumsi itu hal yang wajar bahkan jadi arus utama. Padahal kredit konsumtif pasti bunganya tinggi, dan tidak bisa diandalkan untuk tambah pendapatan dalam jangka panjang.
"Harusnya kalau kredit, ya modal usaha," imbuhnya.
Kemudian yang terakhir, kata dia, maraknya promo kredit yang ditawarkan bank kepada PNS bahkan ketika baru saja dilantik. Bank menurutnya ambil kesempatan karena PNS dianggap debitur yang kecil kemungkinan gagal bayar, karena ada SK yang dijaminkan ke bank.
"Promo ini sangat masif, wajar siapapun tergoda untuk ambil pinjaman di bank," katanya.
Perencana Keuangan dari Advisors Alliance Group Indonesia, Andy Nugroho menambahkan, pengaruh lingkungan kerja PNS juga turut mendorong para abdi negara terjerumus utang. Bahkan, dalam satu kejadian, ada satu instansi lingkungan kerja yang anti-utang justru dimusuhi.
"Itu dalam tanda kutip menjadi ledekan temenya karena lingkungan itu. Jadi akhrinya berutang ambil kredit supaya teman-temannya diam. Sebaiknya diperbaikilah hal seperti itu," kata dia dihubungi terpisah.
Besar Pasak Daripada Tiang
Andy sendiri mengamini gaya hidup PNS mayoritas tinggi dibandingkan dari penghasilan atau pendapatan mereka. Untuk memenuhi gaya hidup tersebut, maka tak sedikit PNS terjebak utang dengan menggadaikan SK mereka.
“Aku melihatnya gaya hidup ya, mereka cenderung tidak bisa mengendalikan gaya hidup. Nah dan ini fenomena sudah berlangsung lama. Kemudian juga lembaga keuangan, ternyata bisa kita seorang PNS, saya menggadaikan SK sebagai jaminan untuk mendapatkan kredit," kata dia.
Lembaga keuangan seperti perbankan, kata Andy, melihat para PNS ini sebagai pasar utama mereka. Perbankan berpandangan bahwa risiko kredit bermasalah perbankan kecil. Hal ini karena pendapatan mereka pasti atau tidak mengalami penurunan hingga risiko dipecat yang minim.
"Jadi bisa dibilang secara kredibelitas kredit mereka terjamin dan kemudian para lembaga keuangan ini memberikan fasilitas sedemikian mudahnya," katanya.
"Jadi sudah didorong oleh gaya hidup yang mungkin berlebihan ini tadi, kemudian difasilitasi kemudahan oleh lembaga keuangan, pas lah hal ini. Itu kemudian membuat teman-teman PNS gadaikan SK mereka," sambung Andy.
Padahal, yang dikonsumsi pun ketika mereka mendapatkan dana dari hasil gadai SK tersebut bersifat konsumtif. Akhirnya tidak jarang para PNS ketika gajian hanya menerima sekitar 10-20 persen dari total pendapatan seharusnya.
"Iya karena sudah habis terpotong," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz