Menuju konten utama
Perlindungan Anak

Marak Isu Penculikan Anak & Apa yang Mesti Dilakukan Orang Tua

Antisipasi kasus penculikan anak, Kementerian PPPA mendorong di desa-desa mengembangkan PATBM dan DRPPA.

Marak Isu Penculikan Anak & Apa yang Mesti Dilakukan Orang Tua
Ilustrasi penculikan anak. Getty Images/iSrockphoto

tirto.id - Belakangan ini, isu kasus penculikan anak semakin masif di sejumlah daerah. Bahkan dinyatakan darurat. Anak yang diculik dipaksa ngemis, menjadi korban hasrat seksual, hingga organ tubuhnya dijual.

Sejumlah pemerintah daerah (pemda) seperti di Semarang, Blora, hingga Mojokerto pun sampai mengeluarkan surat soal isu pencegahan penculikan anak beberapa waktu terakhir. Namun alih-alih menangani, polisi di sejumlah daerah justru menyatakan kasus penculikan anak itu hoaks.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra mengatakan, meski polisi menyatakan hal tersebut hoaks, alangkah baiknya masyarakat agar tetap mawas diri. Para orang tua untuk memfilter informasi yang hoaks, di samping tetap memastikan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak.

“Kemudian aparat keamanan juga meningkatkan kemanan di tempat-tempat yang rentan untuk anak seperti bangunan kosong, lingkungan perhutanan warga serta tempat lain yang harus dipetakan," kata Jasra kepada Tirto, Jumat (3/2/2023).

KPAI juga telah menghimpun sejumlah kejadian penculikan anak yang terjadi di beberapa tempat baru-baru ini.

Pertama, peristiwa di DI Yogyakarta, ada dua kejadian penculikan anak yang gagal. Kedua, peristiwa di TKP Wisma Asri Kota Bekasi yang tersebar viral di medsos tentang penculikan anak untuk tujuan menjual organ tubuh. Namun telah dijawab Kapolres Metro bahwa informasi tersebut hoax dan peristiwa videonya benar terjadi pada 2020.

Ketiga, peristiwa di bawah yuridiksi Polda Kepulauan Riau atas pembunuhan dua anak dengan dilaporkan motif pembunuhan korban karena ingin mengambil ginjal dan menjualnya.

Keempat, peristiwa di Makassar, di mana pelaku anak yang membunuh korban anak untuk menjual organ. Rencana pembunuhan dan penjualan organ itu setelah terhubung dengan jasa online pembelian organ. Kelima, peristiwa penculikan bayi di tempat persalinan yang pernah disampaikan media.

Lalu pada 2022, seorang pelaku yang berprofesi sebagai pemulung bernama Iwan Sumarno menculik korban bernama M di Kawasan Gunung Sahari. Hasil visum menunjukkan M menderita luka fisik akibat ditendang dan disentil oleh pelaku. Belakangan diketahui, motif Iwan membawa M karena memiliki hasrat seksual terhadap anak-anak.

“KPAI juga pernah bersama unit patroli cyber crime, pernah dilaporkan seorang ibu yang merasa anaknya diculik temannya di Kalimantan, dan kemudian setelah beberapa minggu ditemukan dijual temannya di Jakarta," ucapnya.

Berdasarkan data penculikan anak yang dilaporkan melalui KPAI pada 2022, sebanyak 30 kasus. Sementara itu, sebanyak 20 anak di 2020 dan 15 anak di 2021.

Faktor Penyebab Penculikan Anak

Jasra menjelaskan terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya penculikan anak. Salah satunya, anak tidak bisa membela dirinya sendiri karena mereka adalah generasi peniru, sehingga haus akan figur yang bisa memenuhi kebutuhannya. Sehingga seringkali tidak mengerti risiko yang terjadi dan tidak mengerti bahwa mereka sedang mendapatkan perlakuan salah.

“Kebutuhan meniru ini menjadi problem eksistensi setiap hari, yang mudah dimanfaatkan, dan mengundang orang tidak bertanggung jawab. Sehingga mudah menculik anak,” kata dia.

Kemudian anak merupakan kelompok paling rentan yang belum bisa melindungi diri sendiri. Karena secara fisik mudah dikuasai, secara pemahaman mudah dibelokkan, dan anak tidak mudah menyalurkan emosinya. "Sehingga mudah mendapatkan perlakuan salah," ujarnya.

Lalu, lemahnya pengawasan orang tua. Meski tidak ada orang tua yang bisa mengawasi anaknya selama 24 jam, apalagi yang memilik banyak anak, namun perlu perhatian kepada anak-anak yang diasuh, tinggal di asrama, yang seringkali rasio antara pendamping dan anak sangat jauh, sehingga rentan penculikan, bila tidak diawasi dengan baik.

Begitu juga ketika anak semakin besar, semakin berkurang akan kebutuhan kepada orang tua. Sehingga anak sering tidak melibatkan orang tua dalam keputusan-keputusan yang diambil. Seperti keluar rumah dengan tidak pamit, menyembunyikan perilaku rentan, dan peristiwa yang berdampak hukum.

“Orang tua juga merasa anaknya tidak akan kemana-mana, seperti masyarakat yang hidup di daerah padat seperti gang, slum area atau komplek," imbuhnya.

Ia juga menuturkan ketika anak tidak merasa nyaman di rumah karena konflik internal rumah tangga, lalu di sekolah menjadi korban bullying dan kekerasan, membuat mereka melampiaskannya dengan mencari tempat yang salah.

Hal ini membuat anak rentan dan perilaku berisiko dalam kesendiriannya. Menyerahkan nasib hidupnya kepada orang-orang yang tidak pernah dikenalnya. Bahkan banyak tempat yang menawarkan obat-obatan terlarang untuk menghibur perasaannya.

"Ini yang seringkali mengundang kejahatan, industri candu, yang kemudian anak tidak pulang berhari-hari, dan dilaporkan menjadi korban penculikan. Kepolisian paling sering menerima laporan yang seperti ini," jelas dia.

Selain itu, pelaku penculikan anak bisa orang terdekat, tetangga, orang yang sering lewat, atau yang menjadi pembantu rumah tangga (PRT).

“Artinya kita harus mengenal baik tetangga kita, RT RW kita, menyusun kembali jadwal siskamling kita, tentu tidak hanya malam saja, untuk itu butuh pembagian yang bertugas sebagai pengamanan sebagaimana di rumah komplek," ucapnya.

Ia juga meminta agar orang tua perlu waspada penculikan anak untuk dijual, seperti yang terjadi di ruang persalinan, hamil untuk motif eksploitasi ekonomi dengan menjual bayi. "Seperti peristiwa di Indonesia Timur dengan bayi dijual di pasar," tuturnya.

Kemudian anak yang dititipkan berada di lembaga alternatif. Ketika ditagih orang tua untuk mengembalikan, sudah berada di pihak lain.

Begitu pun anak-anak yang tidak tercatat negara dari pernikahan siri, akhirnya berpindah-pindah tempat, kemudian dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab untuk diperjualbelikan.

“Ini juga bagian dari praktik penculikan anak. Karena proses perpindahan ini, tidak menekankan pertanggung jawaban, alias pembiaran," kata Jasra,

Cegah Anak Jadi Korban Penculikan

Dengan maraknya kasus penculikan anak, ia mengatakan orang tua tidak perlu menanggapinya dengan ketakutan yang luar biasa dengan membatasi anak, apalagi sampai mengurung mereka.

"Justru hal tersebut dapat lebih membuka ruang anak berada dalam situasi yang lebih buruk. Bahkan tekanan itu bisa menyebabkan anak kabur dari rumah, yang memudahkan para penculik,” kata dia.

Jasra menjelaskan terdapat beberapa cara orang tua agar anak tak menjadi korban penculikan. Ajarkan anak cara menolak ajakan orang lain yang tidak dikenal. Anak diajak mampu menyampaikan isi pikirannya, karena seringkali mereka bingung meluapkan emosinya, sehingga tersalur ditempat yang salah, atau cara mengekspresikannya yang tidak sesuai.

Lantaran penculikan anak juga terjadi karena pelaku menyasar anak rentan, men-traking, memonitor media sosial, dan kebiasaan mereka.

“Hal ini sangat bermanfaat dalam mereka mendeteksi potensi yang mencurigakan di sekitarnya atau bila ada yang bertingkah laku aneh disekitarnya, anak-anak segera melapor ke orang tua atau guru," kata Jasra.

Ia juga mengimbau agar perlu berhati-hati apabila di lingkungan rumah terdapat residivis pencabulan, penculikan anak, dan sebagainya yang berpotensi melakukan kejahatannya lagi.

Orang tua juga perlu menciptakan tempat aman ketika anak ingin bermain, belajar, merencanakan berkumpul, mencari tempat curhat atas perasaan sedihnya. Lalu, biasakan jika anak merasa curiga, takut, ketika jauh dari orang tua atau pelindungnya, dapat langsung mendekati orang dewasa, menuju keramaian, mencari teman-temannya.

Kemudian perlu membangun sosialisasi pelopor dan pelapor dengan memberikan informasi terbuka di setiap desa, yang berisi bagaimana mengakses rujukan dan manajemen kasus.

Ketika anak diajak di area publik, keramaian, tidak bersama orang tua atau di luar pengawasan, maka hindari memakai perhiasan, aksesoris yang mengundang pihak lain untuk melakukan kejahatan.

Selain itu, bisa mengajari anak beladiri yang juga bisa menjadi bagian penguatan diri, baik secara penyaluran emosi, berani menolak, berkata tidak.

Menentukan lokasi anak berangkat ke sekolah yang aman, memperbaiki tempat area penjemputan anak yang mudah diawasi oleh pihak sekolah seperti ada CCTV dan petugas keamanan.

“Ibu Bintang Menteri PPPA sebenarnya memiliki program Rute Aman Selamat Sekolah (RASS) yang sudah dijalankan sejak dua tahun belakangan. Saya kira panduan program ini harus terus di sosialisasikan di masyarakat," tuturnya.

Dalam melakukan penindakan dalam kasus tersebut, KPAI mendorong agar diadakan kebijakan payung soal Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pengasuhan Anak. Karena regulasi yang ada sekarang sangat jauh dari cukup dengan beragamnya pola pengasuhan anak.

Dari mulai anak-anak di daerah industri yang sering ditinggalkan, dititipkan ke RT/RW, dititipkan perpindah-pindah tangan, anak dalam konflik yang rentan lepas pengasuhan, anak yang tidak tercatat sipilnya karena kelahiran yang tidak diinginkan atau pernikahan siri.

“Ini semua potensi anak tidak tercatat negara dan sering menjadi korban penculikan anak, yang ujungnya kekerasan yang dialami seumur hidup anak karena perlakuan salah orang di sekitarnya,” kata dia.

Respons Kementerian PPPA

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar meminta orang tua dan keluarga memperkuat pengasuhan terhadap anak. Sehingga anak tidak mencari perhatian di luar atau bukan orang tuanya.

Ia mengimbau para orang tua tetap waspada kepada orang asing atau yang tidak dikenal, meskipun selalu mengajarkan anaknya berbuat baik kepada siapapun.

Kemudian orang tua juga tidak melakukan pola asuh berlebih sehingga terkesan membiarkan anak untuk bergaul dengan siapa saja tanpa antisipasi dengan ancaman. Seperti memberikan barang berharga yang memancing penjahat.

Demikian pula orang tua perlu sadar dengan kesibukannya yang jika tidak memiliki mekanisme pengawasan yang baik dapat memberikan ruang kosong anak mendapat perhatian orang lain, termasuk yang berniat jahat.

“Terkait dengan pengawasan ortu dan lingkungan juga perlu terus diperkuat, CCTV dapat membantu pengawasan di lingkungan masyarakat, termasuk mendorong terbentuknya gerakan masyarakat dalam perlindungan anak," kata Nahar kepada Tirto, Kamis (2/2/2023).

Agar dapat mencegah kasus penculikan anak, Kementerian PPPA mendorong di desa-desa mengembangkan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dan Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA).

Selanjutnya ia menuturkan Kementerian PPPA akan menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak Upaya Pencegahan.

Kementerian PPPA juga akan melibatkan masyarakat dalam melakukan perlindungan khusus anak, meningkatkan pemahaman terkait penculikan, penjualan, dan atau perdagangan anak; dan menjalin kerja sama bilateral maupun multilateral, baik nasional maupun internasional.

Lalu meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah anak dari penculikan, penjualan, dan perdagangan.

“Meningkatkan tanggung jawab masyarakat, dunia usaha, dan media massa untuk melindungi Anak dari penculikan, penjualan, dan latau perdagangan,” kata dia.

Kementerian PPPA mengancam bagi pelaku yang menculik anak akan melanggar Pasal 76F UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan anak.”

Bagi yang melakukannya akan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 83 UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yaitu dapat dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp60 juta dan paling banyak Rp300 juta.

“Upaya yang dilakukan adalah melalui pengawasan, pencegahan, perlindungan, serta perawatan dan rehabilitasi,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PENCULIKAN ANAK atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz