tirto.id - Usulan Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Anti LGBT kembali marak dibicarakan. Teranyar, Wali Kota Bandung, Yana Mulyana mengatakan pihaknya mendukung pembentukan Perda tentang Pencegahan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Meski begitu, kata dia, proses legislasi berada di DPRD Kota Bandung.
“Tentunya menyepakati (perda) karena itu selain menyalahi norma agama, norma hukum juga,” kata Yana di sela-sela acara pelantikan PPS di Gedung Sport Arcamanik, Kota Bandung, Selasa (24/1/2023).
Yana bukan kepala daerah pertama yang bicara soal Perda Anti LGBT. Sebelumnya, Makassar (Sulawesi Selatan) dan Garut (Jawa Barat) juga santer mengabarkan wacana pembentukan perda sejenis di daerah masing-masing.
Selain berupa wacana pembentukan perda, ada pula ujaran kebencian yang turut dilontarkan oleh kepala daerah kepada kelompok LGBT. Salah satunya oleh Wali Kota Medan, Bobby Nasution. Ia dengan tegas melarang LGBT di Kota Medan. Hal itu ia sampaikan saat perayaan malam tahun baru.
“Sepanjang saya jalan dari depan Kantor Wali Kota, saya lihat kok yang cowok sama cowok (berpasangan), nggak ada ya, Kota Medan nggak ada LGBT, kita anti LGBT!" kata Bobby Nasution, Minggu (1/1/2023).
Perilaku Diskriminatif yang Berpotensi Lahirkan Persekusi
Terkait isu tersebut, Komnas HAM menilai bahwa konstitusi jelas melarang praktik diskriminasi kepada warga negara dengan alasan apa pun. Termasuk kepada kelompok LGBT.
“Sebenarnya konstitusi kita itu, kan, jelas ya bahwa setiap warga negara itu punya kedudukan yang sama di hadapan hukum dan tidak boleh ada diskriminasi. Kemudian di UU HAM juga sama, setiap warga negara punya hak yang sama atas perlindungan hukum, penghormatan HAM tanpa ada diskriminasi,” kata Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah saat dihubungi pada Kamis, 26 Januari 2023.
Anis mengatakan, berdasarkan konstitusi tersebut, maka perbedaan jenis kelamin, kelompok, ras, suku, agama, pilihan politik itu tidak boleh menjadikan orang mendapatkan perlakuan diskriminatif.
Dalam pembuatan kebijakan, kata Anis, pemerintah juga semestinya tidak membuat perda yang berpotensi menimbulkan praktik diskriminasi.
“Termasuk dalam pembuatan kebijakan. Jadi mestinya tidak boleh ada perda-perda yang berpotensi menimbulkan praktik diskriminasi terhadap satu kelompok tertentu," katanya.
Anis menilai bahwa keragaman kultur yang terdapat di Indonesia mestinya sudah mampu menjadikan masyarakatnya dewasa dalam menyikapi perbedaan.
“Saya kira Indonesia dengan beragam kultur, beragama ras, beragam etnis yang kita miliki mestinya kita secara natural kita sudah dewasa dalam menghormati beragam perbedaan karena Indonesia sendiri terdiri dari banyak perbedaan di negara kita,” kata dia.
Hal senada diungkapkan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani. Ia menyebut bahwa dari namanya saja, Perda Anti LGBT sudah memunculkan sentimen diskriminatif kepada kelompok LGBT.
“Dari judulnya saja, mengatakan anti LGBT itu sudah kuat sekali yang namanya nuansa diskriminasi. Bahwa identitas seseorang termasuk identitas gender itu tidak boleh dilarang oleh negara. Jadi jelas upaya itu sebuah pelanggaran HAM yang tidak dapat ditoleransi," kata Julius kepada Tirto.
Ia menilai bahwa tujuan pembentukan perda tersebut tak jelas, pasalnya tanpa perlu perda anti LGBT tersebut, tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh setiap warga negara termasuk kelompok LGBT sudah diatur dalam KUHP.
Julius justru mencatat, isu-isu serupa kerap kali dimunculkan jelang musim pemilu. Dari situ, ia beranggapan bahwa wacana pembentukan Perda Anti LGBT tersebut adalah demi mengamankan suara kalangan tertentu.
“Kalau catatan PBHI isu-isu seperti ini, kemudian yang bernuansa ‘dianggap moralis religius’ yang sebenarnya justru bertentangan dengan moralitas publik dan moralitas kenegaraan itu muncul di waktu-waktu mendekati pemilu. Jadi sebenarnya tujuan utamanya lebih banyak untuk bermain dalam tataran politik identitas. Nah ini juga yang masih laku di Indonesia,” kata dia.
Perda yang demikian, kata Julius, selain nirmanfaat, juga mudah menjadi titik persekusi, represi, dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia di level kekerasan bahkan yang menyebabkan kematian.
“Jadi Minoritas di Indonesia itu 'Sial'”
Frasa di atas diungkapkan oleh Pendiri Komunitas GAYA Nusantara, Dede Oetomo. Ia menyebut bahwa tak hanya kelompok LGBT, kelompok minoritas lainnya juga kerap kali tak mendapatkan haknya sebagai warga negara.
“Kami juga sadar bahwa jadi minoritas di Indonesia itu nasibnya sial. Artinya minoritas agama nggak boleh bikin rumah ibadah, minoritas disabilitas trotoarnya aja nggak beres. Jadi negara ini memang milik mayoritas, mayoritasnya pun juga adalah yang berkuasa," kata dia kepada Tirto.
Menanggapi wacana penerbitan Perda Anti LGBT tersebut, ia mengaku tak kaget meskipun kecewa dengan abainya pemerintah pusat terhadap upaya-upaya diskriminatif tersebut.
“Saya nggak kaget meskipun ya pasti kecewa ya karena pemerintah nasional nggak berbuat apa-apa," katanya.
Minimnya tingkat kesadaran pemeriksaan tersebut, kata Dede, setidaknya akibat dua hal. Pertama minimnya pendidikan seksualitas.
“Pertama pendidikan mengenai seksualitas itu hampir nggak ada. Jadi orang-orang yang sekarang berkuasa, sekarang ya pengetahuan faktualnya, ya segitu-gitu itu," katanya.
Kedua, kata dia, pemahaman agama yang meninggalkan sisi humanis juga turut berkontribusi terhadap sikap pemerintah.
“Cara mereka beragama itu tidak humanis, tidak memanusiakan manusia. Dan ini salahnya ulama-ulama yang nggak humanis yang sayangnya menjadi mayoritas ulama di Indonesia," kata Dede.
Selain itu, Dede mengamati bahwa pejabat yang cenderung membela minoritas tak mendapatkan tempat yang cukup untuk bersuara.
“Saya rasa di kabinet itu kalau terlalu bela minoritas 'diingatkan' (ditegur). Itu pengalaman Bu Nafsiah Mboi saat jadi menkes, bicara soal pencegahan HIV saja sudah ribut. Pak Lukman Hakim Saifuddin juga waktu dia bilang hak mereka (komunitas LGBT), orangnya jangan dimusuhi. Langsung dituduh menteri LGBT dan segala macam," katanya.
Mengutip Amnesty International, sebenarnya Kemenkes pada 1993 mengeluarkan homoseksual dari daftar gangguan kejiwaan melalui Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III.
Selain itu, World Health Organization (WHO) sejak tahun 1990 juga menghapus homoseksual dari klasifikasi penyakit dan menyatakan homoseksual tidak bisa dianggap sebagai kondisi patologis, kelainan, atau penyakit.
Namun demikian, menurut Dede, hal-hal di atas tak berdampak banyak kepada sikap penguasa di Indonesia.
“Kebanyakan penguasa kita, maaf bukan orang yang suka baca. Umumnya orang Indonesia kalau nggak ada problem itu nggak akan baca tentang seksualitas, sehingga tidak mengerti,” kata dia.
Ia menambahkan, “Kemenkes juga kurang tegas dalam mengoreksi karena sebagian dokter juga nggak percaya pada PPDGJ III. Saya malah secara usil bilang ada psikolog atau psikiatri syariah yang pedomannya bukan PPDGJ.”
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz