Menuju konten utama

Celah Perlindungan Anak dalam Putusan MK Soal Batas Usia Nikah

Jumlah kasus pernikahan anak belum akan turun dalam tiga tahun ke depan karena batas waktu revisi ini.

Celah Perlindungan Anak dalam Putusan MK Soal Batas Usia Nikah
Ilustrasi HL pernikahan anak. tirto.id/Nadya

tirto.id - “Saya kawin pas kelas dua SMP. Saya minder sama teman-teman. Seharusnya dulu saya masih bisa sekolah, tapi saya sudah harus mengurus rumah tangga saat usia saya masih muda,” kata Endang (36), di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis siang (13/12/2018).

Endang, perempuan asal Indramayu, datang ke MK buat menggugat materi Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terkait batas minimal usia perkawinan. Bunyi pasal yang digugat Endang yakni, "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun."

Menurut Endang, pasal tersebut diskriminatif dan merugikan perempuan. "Saya termasuk korban perkawinan anak," ucap Endang.

Selama menjalani bahtera rumah tangga, Endang kerap mengalami kekerasan fisik dari sang suami.

"Saya sangat menyayangkan kenapa [pasal di] Undang-undangnya harus 16 tahun. 16 tahun itu sangat muda sekali. Harusnya masih disayang dan dimanja sama orangtua," kata perempuan yang dinikahkan di usia 14 tahun ini.

Endang tak sendirian. Ia ditemani Rasminah (33), sahabatnya yang juga dikawinkan di usia belia. Mereka berdua didampingi kuasa hukum mereka, Anggara Suwahju dari Criminal Justice Reform (ICJR) serta Lia Anggie dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).

"Saya waktu itu nikah umur 14 tahun. Saya sebetulnya masih mau sekolah. Saya nikah gara-gara faktor ekonomi," kata Rasminah dengan suara parau.

Jelang tengah hari, MK akhirnya mengabulkan gugatan Endang dan Rasminah. Putusan diambil atas pertimbangan pasal tersebut memang bersifat diskriminatif dan tumpang tindih.

"Menyatakan Pasal 7 ayat 1 sepanjang frasa usia 16 tahun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [Lembaran Negara RI tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3019] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan, Kamis (13/12/2018) kemarin.

Sisakan Masalah

Meski diapresiasi, putusan MK terhadap Pasal 7 UU Perkawinan ini ternyata masih menyisakan masalah. Sebab dalam putusannya, MK memberikan batas waktu paling lama tiga tahun bagi DPR dan pemerintah merevisi UU tersebut.

Endang dan Rasminah merasa batas waktu itu terlalu lama. "Kenapa harus menunggu tiga tahun," kata Endang.

Kuasa hukum Endang dan Rasmina, Anggara mengaku bakal mengawal proses perubahan UU tersebut karena khawatir diterlantarkan. Menurut Anggara putusan ini menyisakan ketidakpastian perlindungan anak dalam tiga tahun ke depan.

"Jadi meskipun kami senang karena dalil kami terbukti, tapi kami khawatir untuk waktu tiga tahun ini," ujar Anggara.

Komentar senada disampaikan anggota Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Lia Anggie. Menurut Lia, jumlah kasus pernikahan anak belum akan turun dalam tiga tahun ke depan karena batas waktu revisi ini.

"Pasti akan terus tetap naik angka perkawinan anak. Bukan hanya yang tercatat di usia 16 tahun, tapi bagaimana juga yang kasusnya perkawinan siri akan tetap terjadi. Bagaimana yang tidak tercatat, ditambah yang identitasnya dipalsukan itu semakin memperburuk kondisi perkawinan anak Indonesia," kata Lia.

Namun, pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Irmanputra Sidin justru menilai waktu tiga tahun untuk merevisi UU tersebut sudah tepat. Proses perubahan sebuah UU, kata Irman, memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

"Jangka waktu tiga tahun itu rasional untuk merencakanan, menyusun, mengesahkan," kata Irman saat dihubungi reporter Tirto pada Kamis (13/12/2018).

Infografik HL Perkawinan Anak

Infografik HL Perkawinan Anak

Rekomendasi Usia Ideal dan Kesiapan KUA

Batas usia menikah dalam Pasal UU 7 Perkawinan memang tidak sejalan dengan rekomendasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BKKBN mematok usia minimal pernikahan 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki.

"Usia itu kami rekomendasikan karena memang itu sesuai dengan hak pendidikan bagi anak, 12 tahun," ujar Kepala Biro Hukum Organisasi dan Humas BKKN Ratna Juwita Razak saat dihubungi reporter Tirto.

Tak cuma menyangkut hak pendidikan 12 tahun, rekomendasi BKKBN itu juga menyangkut kesiapan mental, kesehatan reproduksi, serta kemapanan material seseorang untuk menikah.

Ratna mengatakan BKKBN sudah sering menggelar pertemuan dengan instansi terkait membahas perihal batas minimal usia pernikahan. Namun, pembahasan mereka tak sampai ke arah mengubah Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974.

"Kalau sudah usia segitu, kan, lebih baik untuk hamil karena sudah dewasa," kata Ratna.

Sementara itu, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Agama Mastuki mengatakan Kemenag siap siaga menyampaikan instruksi ke seluruh Kantor Urusan Agama (KUA) bila UU tersebut telah direvisi. Selama belum direvisi, KUA akan berpegang pada UU yang ada, padahal salah satu pasalnya sudah dibatalkan MK. Masalah inilah yang dikhawatirkan para penggugat uji materi.

"Kalau nanti sudah direvisi, kami akan segera menginstruksikan KUA-KUA agar mengikuti revisi UU," kata Mastuki saat dihubungi reporter Tirto.

Ia pun berpendapat usia minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki sejatinya termasuk usia ideal. Sebab, kata dia, di Indonesia masih banyak daerah yang menganggap usia tersebut telah matang untuk menikah.

"Itu sudah moderat lah menurut saya. Kalau di kota mungkin itu dianggap terlalu muda. Tapi di daerah-daerah lain ada yang menganggap itu sudah layak kawin," kata Mastuki.

Meski begitu, Mastuki memastikan KUA tak serta merta akan mengizinkan anak usia 16 tahun menikah lantaran dalam Pasal 6 UU Perkawinan disebutkan "Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua."

"Jadi [kami] tidak bisa mengawinkan begitu, aja," jelas Mastuki.

Baca juga artikel terkait UU PERKAWINAN atau tulisan lainnya dari Abul Muamar

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Abul Muamar
Editor: Mufti Sholih