tirto.id - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo mengatakan bahwa polemik pernikahan beda agama di Indonesia disebabkan oleh adanya kekosongan hukum. Untuk itu, ia merasa pemerintah perlu memikirkan jalan tengah terkait kondisi tersebut.
Suhartoyo mengatakan itu dalam sidang uji materi UU Perkawinan dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan pemerintah pada 6 Juni 2022 lalu.
"Kalau pun ada pencatatan melalui Keppres atau apa yang disampaikan Pak Arsul tadi. Ataukah melalui putusan pengadilan yang sifatnya memaksa untuk dicatat, itu sebenarnya kan berangkat dari karena adanya rechtsvacuum itu, ada kekosongan," ucap Suhartoyo dikutip dari risalah sidang MK pada Selasa (5/7/2022).
"Bagaimana cara empirik sebenarnya ada perkawinan yang dilaksanakan beda agama? Tapi sementara di tata cara perkawinannya tidak mengakomodir, baik tata caranya maupun pencatatannya," sambung dia.
Suhartoyo menilai kekosongan hukum tersebut kemudian perlu dicarikan jalan tengah atau solusinya oleh pemerintah. Pasalnya dalam realita masyarakat, perkawinan beda agama memang kerap terjadi.
"Meski pun pemerintah tadi jawabannya lebih strict saya cermati, ya, emang kemudian tidak menutup sama sekali itu. Tapi ini kan realita bersama yang dihadapi yang kemudian memang ada simbol‑simbol, apa, religious marriage dan civil marriage, tapi pemerintah sendiri kemudian tidak memberikan ruang bagaimana sebenarnya jalan tengahnya itu. Nah, MK pengin itu sebenarnya Pak," imbuh Suhartoyo.
Pernyataan Suhartoyo diamini oleh hakim MK lainnya, Daniel Yusmic P Foekh. Ia mengatakan bahwa norma pasal dalam UU Perkawinan kerap kali ditafsirkan oleh masing-masing pihak ketika terjadi perkawinan beda agama.
Salah satu akibatnya, menurut Daniel, adalah adanya praktik perkawinan dilaksanakan 2 kali berdasarkan agama masing-masing calon mempelai. Untuk itu, ia merasa pemerintah perlu memberikan jalan tengah untuk permasalahan tersebut.
"Dari perspektif pemerintah tadi tegas menyatakan bahwa itu (perkawinan beda agama) haram, tapi dalam kenyataannya justru terjadi di Indonesia. Sebenarnya kami minta untuk dari pihak Dirjen Dukcapil, ya, bagian dari pemerintah, untuk daftar selama ini perkawinan antaragama yang terjadi di Indonesia. Supaya bisa tadi yang disampaikannya oleh Yang Mulia Pak Suhartoyo jalan tengahnya seperti apa?" ucap Daniel.
Pemohon judical review UU Perkawinan tersebut adalah Ramos Petege yang merupakan seorang pemeluk Katolik. Sementara perempuan yang ingin dinikahinya beragama Islam. Ia gagal menikah karena beda agama. Kondisi ini yang mendorongnya menggugat UU tersebut.
Kuasa hukum pemohon, Ni Komang Tari Padmawati mengatakan UU Perkawinan tidak memberikan kejelasan hukum terhadap perkawinan beda agama atau kepercayaan. Karena itu, kliennya menggugat aturan tersebut agar mendapat kejelasan.
Selain itu, sambung dia, gagalnya niatan pernikahan kedua belah pihak juga karena adanya intervensi golongan yang diakomodir oleh negara melalui UU Perkawinan.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dinilai telah mencederai hak konstitusional pemohon. Hal itu sebagaimana yang diamanahkan Pasal 29 ayat (1), (2) Pasal 28E ayat (1) dan (2) Pasal 27 ayat (1) Pasal 28I ayat (1) dan (2), Pasal 28B ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Fahreza Rizky