Menuju konten utama

Judicial Review Kian Melonjak: Tanda Proses Legislasi Bermasalah

Judicial review seharusnya menjadi pengecualian, bukan kebiasaan imbas proses penyusunan UU tak berkualitas.

Judicial Review Kian Melonjak: Tanda Proses Legislasi Bermasalah
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi enam anggota Majelis Hakim MK Saldi Isra (ketiga kiri), Enny Nurbaningsih (ketiga kanan), Arsul Sani (kedua kiri), M Guntur Hamzah (kedua kanan), Daniel Yusmic P Foekh (kiri), dan Arief Hidayat memimpin sidang putusan putusan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (31/10/2024). Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja lainnya terkait uji materi tersebut yakni dengan pengujian konstitusional terhadap 21 pasal dalam UU Cipta Kerja. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.

tirto.id - “Kalau tidak setuju, silakan gugat saja di Mahkamah Konstitusi.”

Itulah sepotong kalimat yang sering terdengar dari mulut politikus DPR atau pejabat pemerintahan bila produk undang-undang yang dihasilkannya menuai penolakan dari publik. Publik pun tak bisa berbuat lain selain menggugat produk legislasi yang proses pembentukannya cacat dan tidak partisipatoris itu ke MK.

Pola yang demikian itu pun terus berulang. Itu bisa dirunut dari pengesahan revisi UU KPK, UU Cipta Kerja Omnibus Law, UU Ibu Kota Nusantara, revisi UU Minerba, dan yang teranyar, revisi UU TNI.

Hingga, MK seakan-akan ditimpa tanggung jawab dan beban moral untuk membereskan keruwetan yang dibikin para pembuat undang-undang.

Judicial review (JR) di MK memang sebuah mekanisme yang sah untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang. Namun, bila terlalu eksesif, fungsi utama MK malah tereduksi menjadi “keranjang sampah” bagi produk legislasi yang lahir sungsang.

Jika tren ini dibiarkan, peran MK sebagai benteng penjaga konstitusi bakal terkikis dan jatuh sekadar jadi “pemadam” kebakaran yang dibikin oleh pembuat undang-undang yang tak bertanggung jawab. Fenomena itu pun mengindikasikan lemahnya akuntabilitas pembentukan undang-undang.

Ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Perdana Wiratraman, menilai bahwa pembuatan undang-undang atau regulasi yang serampangan dan mengabaikan partisipasi publik mulai dilakukan sejak pemerintahan Joko Widodo.

“Ini fenomena yang jamak terjadi sejak zaman Jokowi. Karena, mereka merasa bahwa MK sudah menjadi bagian dari kendali politik Senayan dan Istana,” ungkap Herlambang kepada wartawan Tirto, Jumat (21/3/2025).

Menurut Herlambang, pola tersebut bukanlah lantaran ketidakbecusan pembentuk UU. Pemerintah dan DPR sebenarnya sadar betul akan aturan main dalam proses legislasi, tapi aturan itu memang sengaja diabaikan.

Tujuannya memang untuk mengamankan kepentingan elite politik dan rezim penguasa. Dengan begitu, kata Herlambang, terciptalah kartelisasi politik yang terjadi antara legislatif dan eksekutif.

Pengabaian aturan main dalam pembentukan undang-undang disebut Herlambang sebagai bentuk kejahatan legislasi.

Kejahatan legislasi itu, misalnya, dia lihat terjadi dalam proses revisi UU TNI. Bentuknya adalah tidak dicantumkannya beberapa detail dalam undang-undang induk. Detail-detail kontroversial itu dikondisikan agar bisa diatur belakangan melalui aturan turunan yang kewenangannya ada di tangan eksekutif.

“Karena, merasa bahwa yang penting politik transaksional antara Senayan dan Istana sudah terjadi,” ujar Herlambang.

Harusnya Jadi Pengecualian, Bukan Kebiasaan

Salah satu fungsi DPR dalam sistem demokrasi adalah merancang undang-undang yang berkualitas melalui proses yang partisipatoris dan transparan. Namun, dalam praktiknya, DPR dan pemerintah kerap tergesa-gesa dalam merancang hingga mengesahkan undang-undang.

Sering kali, undang-undang disusun tanpa partisipasi publik yang bermakna. Kajian akademisnya pun tak memadai. Jadi, prioritasnya adalah kecepatan, bukan kualitas.

Contohnya adalah berbagai undang-undang yang menuai gelombang penolakan dan digugat di MK usai disahkan oleh DPR RI, yaitu UU Nomor 19/2019 tentang KPK, UU Nomor 3/2020 tentang Minerba yang langsung diuji formil dan materiil begitu diundangkan. Ada pula UU Nomor 7/2020 tentang MK yang pembahasannya hanya berlangsung lima hari.

Selain itu, UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja terus diuji materi sejak diundangkan. Lalu, UU Nomor 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua, UU Nomor 14/2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, hingga UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Konstitusi memberi MK kewenangan untuk melakukan judicial review agar produk legislasi yang lahir tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, judicial review bukanlah mekanisme substitusi atas kecacatan proses legislasi. Judicial review seharusnya menjadi pengecualian, bukan kebiasaan.

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi lonjakan jumlah pengajuan judicial review ke MK. Itu adalah indikasi adanya persoalan dalam proses legislasi di Indonesia. Semakin banyaknya undang-undang yang diuji materi menandakan bahwa proses penyusunannya tak berkualitas.

Pengajar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menyatakan bahwa judicial review ke MK seharusnya menjadi upaya terakhir (last resort) untuk menyelesaikan masalah konstitusional dalam bernegara.

Di “hulu”, pembentuk undang-undang semestinya melakukan proses legislative review dengan menyertakan partisipasi masyarakat yang bermakna dan deliberasi berkualitas secara dua arah.

Sayangnya, menurut Titi, kepentingan pragmatis kekuasaan dan agenda elite yang tak berorientasi kepentingan publik sering sengaja membelokkan mekanisme tersebut. Jika terus dibiarkan,MK bakal terjerumus hanya menjadi “keranjang sampah” bagi problematika legislasi.

“Pemerintah dan DPR bisa saja akan berhadapan dengan pembangkangan massa atau civil disobedience yang menolak untuk patuh dan menaati aturan-aturan yang dibuat pembentuk UU. Alasannya, aturan tersebut inkonstitusional dan diskriminatif,” kata Titi kepada wartawan Tirto, Jumat.

Sidang putusan uji materiil UU Pemilu

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kedua kanan) memimpin sidang pembacaan putusan uji materiil UU Pemilu di Jakarta, Rabu (31/1/2024). MK menolak untuk seluruhnya permohonan Perkara Nomor 156/PUU-XXI/2023 mengenai ketentuan persyaratan usia minimal menjadi calon presiden dan calon wakil presiden (capres cawapres) dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagaimana telah dimaknai MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/rwa.

Siasat Menyembunyikan Kolusi

Ratu Durotun Nafisah dalam studinya "Excessive Reliance on Judicial Review in Indonesia: A Tactic to Avoid Democratic Accountability?" (2023, PDF) mendapati bahwa ketergantungan yang eksesif pada mekanisme judicial review di MK berpotensi membuat DPR dan pemerintah menghindari akuntabilitas demokrasi.

Judicial review dianggap memiliki legitimasi sebagai mekanisme yang netral dan valid dalam meninjau undang-undang. Menurut hasil studi Ratu, DPR sering menggunakan menggunakan uji materi sebagai dalih untuk tidak terlibat serius dengan publik, terutama ketika berurusan dengan rancangan undang-undang yang kontroversial.

Dengan kata lain, DPR mengeksploitasi pengetahuan bahwa rancangan undang-undang selalu dapat diuji materinya di MK. DPR lantas menggunakannya sebagai alasan untuk mempercepat pengesahannya tanpa partisipasi yang memadai.

Intinya, seperti kalimat “sakti” di awal artikel ini, “Kalau tidak setuju, silakan gugat saja di Mahkamah Konstitusi.”

“Ketergantungan yang berlebihan terhadap uji materi turut berkontribusi terhadap keroposnya upaya masyarakat sipil Indonesia dalam melawan kemunduran demokrasi,” demikian tulis Ratu dalam studinya.

Lebih buruk lagi, judicial review sering kali juga dijadikan alat politik. Ada kasus pihak tertentu menggunakan mekanisme ini untuk mengakali aturan. Ia pun berpotensi menjadi jalan pelemahan MK dengan melibatkannya dalam intervensi politis.

Maka tak heran beberapa putusan MK dianggap sebagai yudisialisasi hukum. Contohnya pada kasus Putusan MK Nomor 90/2023 tentang syarat mur pencalonan presiden/wakil presiden.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, menilai bahwa judicial review sebagai bagian dari kewenangan MK sebetulnya memiliki tujuan strategis. Ia setidaknya merupakan alat untuk mewujudkan perimbangan kekuasaan antara pembentuk UU dan peradilan. Judicial review juga merupakan saluran warga negara untuk memprotes produk legislasi yang berpotensi melanggar UUD 1945.

Masalahnya, mekanisme judicial review jamak dianggap sebagai kelanjutan proses legislasi, padahal keduanya berbeda.

Terlepas dari adanya mekanisme judicial review ke MK, proses legislasi di DPR wajib transparan, partisipatif, dan akuntabel. Pembentuk UU harus mampu menjalankan mekanisme legislasi sesuai dengan prosedur pembentukan dan memastikan materinya tidak melanggar HAM, tidak koruptif, dan sesuai asas materi perundang-undangan lain.

“Pernyataan pembentuk UU yang mendesak warga untuk mengajukan JR jika keberatan dengan suatu UU adalah keliru. Karena, JR ke MK bukanlah mekanisme banding dari proses legislasi,” ucap Fajri kepada wartawan Tirto, Jumat.

Sementara itu, peneliti bidang hukum The Indonesian Institute (TII), Christina Clarissa Intania, memandang narasi pembentuk undang-undang melimpahkan tanggung jawab ke MK adalah siasat untuk menyembunyikan kolusi mereka untuk menggolkan kebijakan dengan tidak demokratis.

“Jadi, yang diutamakan adalah pengesahannya dulu dan jika memang akan dibawa ke MK itu adalah persoalan di kemudian hari,” ucap Christina kepada wartawan Tirto, Jumat.

Walaupun undang-undang bisa di-judicial review, tapi itu memakan waktu yang tidak sebentar hingga mendapat putusan. Sementara uji materi berjalan di MK, undang-undang tersebut tetap bisa dilaksanakan. Selain itu, MK pun belum tentu akan mengabulkan permohonan pengujian materi.

Terlebih, masyarakat tidak tahu dinamika di balik ruang sidang MK. Christina menilai bahwa bisa saja putusan MK justru menolak dan membiarkan undang-undang bermasalah itu berlaku. Ini jelas berisiko mengikis kualitas legislasi di masa mendatang.

“Jika kebiasaan ini diteruskan, legislator akan terbiasa membuat UU yang tidak berkualitas secara substantif dan tidak partisipatif. Ibaratnya, yang penting ’kejar setoran’,” ujar Christina kepada wartawan Tirto, Jumat.

Baca juga artikel terkait JUDICIAL REVIEW atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi