Menuju konten utama

Mengkaji Potensi Militerisasi Ruang Siber dalam UU TNI

Proses militerisasi ruang siber dikhawatirkan merusak tata kelola internet yang telah dihormati banyak pihak.

Mengkaji Potensi Militerisasi Ruang Siber dalam UU TNI
Ilustrasi Keamanan Digital. foto/istockphoto

tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Revisi UU (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang (UU). Keputusan ini diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025).

Pengesahan UU TNI ini tentu saja menjadi ironi di saat banyaknya gelombang aksi penolakan terhadap peraturan tersebut.

Digital Democracy Resilience Network (DDRN) menolak keras draf final RUU TNI yang telah disepakati DPR tersebut karena mengandung ketentuan yang membuka peluang penggembosan demokrasi digital dan pelanggaran hak-hak digital, seperti hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, dan hak atas informasi.

DDRN sendiri adalah jejaring masyarakat sipil yang memiliki perhatian pada isu demokrasi digital di Indonesia. Koalisi ini terdiri dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet); Aliansi Jurnalis Independen (AJI); Aliansi Mahasiswa Papua (AMP); Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA); Serikat Sindikasi; INKLUSI; Remotivi; dan Kemitraan dan sejumlah organisasi sipil lainnya.

Salah satu anggota koalisi tersebut, SAFEnet menyoroti salah satu poin pembahasan RUU TNI, yaitu mengenai perluasan kewenangan TNI di ruang digital, yang dilihat sebagai bentuk militerisasi ruang siber.

Hal ini sebelumnya juga dikonfirmasi oleh Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDIP, TB Hasanuddin, yang menyebut ada penambahan tugas pokok dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) bagi TNI. Tiga poin penambahan OMSP itu salah satunya mencakup urusan siber.

Berdasarkan dokumen final draf RUU TNI terakhir yang diperoleh, tepatnya pada Pasal 7 ayat 2b yang diubah, memang disebutkan salah satu tugas OMSP TNI adalah "Membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber".

Penjelasan mengenai pasal ini lebih lanjut menerangkan bahwa yang dimaksud dengan membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber adalah TNI berperan serta dalam upaya menanggulangi ancaman siber pada sektor pertahanan (cyber defense).

Selain perluasan OMSP, Pasal 47 ayat 1 juga membuka peluang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki posisi sipil yang mengatur ruang siber. Hal ini membuka peluang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki posisi-posisi strategis di instansi sipil terkait misalnya di Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN) atau Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Komdigi).

“Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi….siber dan/atau sandi negara,..”. tulis Pasal 47 ayat 1.

Ancaman Terhadap Hak Digital Warga Negara

SAFEnet menilai dokumen draf final RUU TNI yang telah disahkan menjadi UU TNI tersebut sangat kental dengan nuansa militerisasi ruang siber (militarization of cyberspace).

Militerisasi ruang siber merujuk pada upaya negara untuk mengkonstruksi domain siber sebagai ancaman utama terhadap keamanan nasional. Hal ini bertujuan untuk melegitimasi penerapan langkah-langkah militer dalam menangani ancaman siber serta membenarkan pengembangan dan peningkatan kapabilitas militer siber secara berkelanjutan.

“Kami menilai bahwa narasi ini sangat berbahaya bagi penghormatan terhadap hak-hak digital masyarakat Indonesia. Perluasan kewenangan OMSP untuk mengatasi dimensi virtual dan kognitif dari perang siber dapat diinterpretasikan secara luas dan sangat rentan disalahgunakan,” ujar SAFEnet, melalui keterangan resmi, Selasa (17/3/2025)

SAFEnet menganggap, jika dimensi virtual dan kognitif dari ancaman siber hanya dipandang sebagai ancaman eksistensial, negara dapat menjadikannya justifikasi untuk menerapkan langkah-langkah koersif yang bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).

Selain itu, narasi ancaman 'perang siber' juga berpotensi untuk dijadikan kambing hitam untuk membungkam wacana-wacana kritis dan meningkatkan kontrol negara atas sirkulasi informasi publik di ruang digital.

“Kami juga menilai bahwa pemerintah mereduksi ancaman siber semata-mata sebagai ancaman terhadap negara dan militer, alih-alih melihatnya sebagai permasalahan yang lebih luas dan kompleks,” tulis SAFEnet.

Lebih lanjut, lembaga tersebut juga menilai perluasan OMSP ini membuka kesempatan kepada prajurit aktif militer untuk menduduki jabatan-jabatan sipil yang membuka ancaman baru bagi penghormatan hak-hak digital warga. Misalnya, membuka peluang bagi prajurit militer mengisi pos strategis sipil seperti di Kementerian Komunikasi dan Digital.

“Hal ini dapat berimplikasi pada lahirnya kebijakan-kebijakan militeristik terkait ruang siber, yang acap kali berlawanan dengan nilai-nilai HAM,” ujar SAFEnet.

Kebijakan Siber Rawan Terdistorsi Kepentingan Militer

Senada, jejaring masyarakat sipil DDRN menganggap rumusan Pasal 7 ayat 2b yang mengatur soal perluasan tugas TNI dalam urusan siber itu bersifat karet dan sangat berpotensi disalahgunakan untuk membuka keran militerisasi ruang siber. Hal ini disebabkan saat ini tidak ada definisi hukum di level undang-undang yang baku dan jelas mengenai pengertian ancaman siber dan pertahanan siber.

Pasalnya, berdasarkan rumusan ketentuan pada draf terakhir RUU TNI, kualifikasi ancaman siber tidak terbatas pada cyber operations dalam bentuk serangan teknis terhadap infrastruktur siber. Oleh karena itu, perluasan OMSP ke ruang siber berpotensi menjadi alat justifikasi bagi negara untuk mengambil kebijakan-kebijakan koersif-militeristik yang membatasi ruang sipil.

“Beberapa di antaranya seperti: pembatasan informasi, penurunan konten, pemblokiran website, pengetatan regulasi ekspresi online,” kata DDRN dalam keterangan resmi, Rabu (19/3/2025).

Perluasan peran TNI juga berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS).

Sebagai informasi, UU ITE menjadikan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sebagai penanggung jawab utama penanganan konten-konten ilegal dan berbahaya. Namun, jika TNI diberikan kewenangan yang luas dalam menangani ancaman siber nonteknis seperti operasi informasi, maka akan terjadi konflik kewenangan dengan Komdigi.

“Penyensoran yang berpotensi semakin masif akibat konflik kewenangan kedua lembaga negara ini justru akan semakin menggerus kebebasan berekspresi masyarakat di ruang digital,” ujar DDRN.

Selain itu, perluasan jabatan sipil terkait ruang siber yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif merupakan ancaman nyata bagi prinsip supremasi sipil dalam konteks tata kelola siber. Jika prajurit TNI aktif dapat menduduki posisi-posisi strategis di BSSN misalnya, maka independensi badan tersebut dalam merumuskan kebijakan dapat terdistorsi oleh kepentingan militer.

Harus Dikritisi

Pendiri lembaga PIKAT Demokrasi yang juga dosen politik digital Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Damar Juniarto, menilai UU TNI yang baru disahkan memberikan cara pandang baru yang menempatkan ruang digital menjadi ruang tempat militer bisa berperan. Menurutnya, cara pandang itu harus dikritisi.

Damar menjelaskan, dalam tata kelola digital yang telah berjalan selama ini masing-masing pihak sudah memiliki tugas dan wewenangnya masing-masing. Ia tak menampik bahwa militer juga memiliki peran, namun dalam skala kecil misalnya dalam konteks tata kelola internet di wilayah konflik.

Ia mencontohkan cyber war seperti yang terjadi di Russia-Ukraina itu terjadi serangan terhadap infrastruktur kritis yang berkaitan dengan internet. Militer dalam hal ini bertugas antara menunjang atau menyerang infrastruktur siber seperti pusat listrik, air dan pangkalan data.

“Nah, kalau berangkat dari pemikiran yang serupa menurut saya terlalu jauh dalam arti kita tidak dalam kondisi perang dan kemungkinan besar kita menghadapi cyber war itu juga minim,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (21/3/2025)

Damar melihat berdasarkan pengalaman keterlibatan militer dalam lembaga seperti BSSN, selama ini lebih banyak mengurusi perihal konten.

“Apalagi kalau kita misalnya belajar soal internet sendiri pertanyaan yang paling krusial adalah militer ini akan berada di posisi di lapisan yang mana? apakah di lapisan infrastruktur, aplikasi, regulasi atau di lapisan konten,” ujarnya.

Menurut Damar hal yang paling mengkhawatirkan dari proses militerisasi ruang cyber ini adalah berpotensi merenggut tata kelola internet yang selama ini sudah diatur untuk menghormati banyak pihak. Menurutnya, Indonesia punya pengalaman ketika internet dikelola secara sekuritisasi maka banyak hal yang kemudian dikorbankan.

Salah satu contohnya, ketika terjadi gesekan saat Pemilu 2019 langkah keamanan yang diambil adalah untuk mematikan internet. Contoh lainnya adalah apa yang terjadi di Papua setiap kali ada operasi militer yang hampir bisa dipastikan ada gangguan internet.

“Nah kalau model-model pengelolaan internet seperti ini kan sebetulnya yang rugi. Nggak cuma mereka yang dianggap sebagai musuh negara tapi masyarakat biasa yang mencari nafkah, yang berekonomi, yang membutuhkan pendidikan,” ujarnya.

Tanggapan DPR

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, membantah klausul OMSP dalam bidang siber, akan menjadi ancaman bagi kebebasan warga sipil di ruang digital. Menurut Dave, hasil revisi RUU TNI tersebut hanya akan mengarahkan pada serangan siber kepada instansi dan infrastruktur digital milik negara.

"Agar memastikan operasi militer di dunia siber, hanya berkaitan dengan serangan siber kepada instansi dan infrastruktur digital negara," kata Dave saat dihubungi Tirto, Jumat (21/3/2025).

Politisi Golkar itu mengungkapkan, penegakan hukum dan pengawasan di dunia siber masih dalam tugas pokok dan fungsi aparat penegak hukum (APH).

"Bukan hal yang berkaitan dengan kebebasan berbicara atau pelanggaran hukum, itu adalah ranahnya APH," ucap Dave.

Dia berdalih dalam UU TNI yang disahkan, Kamis (20/3/2025), DPR dan pemerintah sepakat untuk menggunakan 'pertahanan siber' dan bukan 'keamanan siber'.

"Menurut saya terlalu berlebihan ya bila dikaitkan ke sana (penegakan hukum), makanya kami menggunakan kata pertahanan bukan keamanan," tutur Dave.

Dia mengklaim, saat ini pertahanan siber dibutuhkan oleh Indonesia karena serangan di ranah digital sudah sangat tinggi. Hal itu diindikasikan dengan serangan siber ke situs milik pemerintah yang sebelumnya sempat melumpuhkan sejumlah perangkat piranti lunak pelayanan publik.

"Setiap hari kita mendapat macam-macam serangan untuk upaya meng-hack sistem-sistem dalam pemerintahan," kata Dave.

Dave juga menambahkan, tentara saat ini harus mampu bertransformasi dan beradaptasi dengan dunia digital, sehingga bisa mengatasi tiap serangan yang mengarah ke bidang siber.

"Ini menjadi tugas TNI di era digitalisasi, agar dapat bertransformasi diri menghadapi serangan tersebut," tutup Dave.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TNI atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang