Menuju konten utama

Cacat Prosedur dalam UU TNI: Potensi Gugatan ke MK Terbuka Lebar

Berkaca dari UU Cipta Kerja, maka tidak menutup kemungkinan UU TNI ini akan ditempuh melalui uji materi ke MK.

Cacat Prosedur dalam UU TNI: Potensi Gugatan ke MK Terbuka Lebar
Sidang Paripurna Ke 15 Masa Persidangan II Tahun 2024 2025. youtube/TVR Parlemen

tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Revisi UU (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang (UU). Keputusan ini diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025).

"Sekarang tibalah saatnya, kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap rancangan undang-undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Puan, dalam rapat paripurna DPR RI ke-15 masa persidangan II tahun 2024-2025, Kamis (20/3/2025).

"Setuju," kata seluruh anggota DPR RI.

Sebelum mengetuk palu tanda persetujuan, Puan menyatakan bahwa berdasarkan pembahasan materi, RUU TNI hanya fokus pada tiga substansi utama. Pertama, Pasal 7 terkait dengan tugas pokok TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP), pasal ini menambah cakupan pokok TNI yang semula 14 menjadi 16 tugas pokok.

Kedua, adalah Pasal 47, terkait dengan penempatan prajurit TNI di kementerian dan lembaga yang semula 10 menjadi 14 berdasarkan permintaan dan kebutuhan pimpinan kementerian dan lembaga.

Ketiga, yang dibahas adalah penambahan masa dinas keprajuritan yang menurutnya adalah masalah keadilan. Masa dinas yang sebelumnya diatur 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama mengalami penambahan sesuai dengan jenjang kepangkatan.

"Karenanya kami bersama pemerintah menegaskan bahwa perubahan Undang-undang 34 tentang Tentara Nasional Indonesia tetap berlandaskan pada nilai demokrasi dan supremasi sipil, hak asasi manusia, dan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional," kata Puan.

Pengesahan UU TNI ini tentu saja menjadi ironi di saat banyaknya gelombang aksi penolakan terhadap peraturan tersebut. Mengingat sejak awal pembahasan RUU TNI dianggap kurang transparan dan tidak melibatkan masyarakat secara luas, sehingga banyak pihak yang mempertanyakan mengenai keabsahan prosedural dari RUU ini.

Komisi I DPR Sahkan RUU TNI di tingkat I

Komisi I DPR RI bersama Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, dan Wakil Menteri Keuangan, Thomas Djiwandono dan Wakil Menteri Pertahanan, Marsekal Madya TNI (Purn) Donny Ermawan T mengesahkan RUU TNI di tingkat I dan selanjutnya akan disahkan dalam rapat paripurna yang akan digelar pada Kamis (20/3/2025) di Ruang Banggar, Selasa (18/3/2025). Tirto.id/M. Irfan Al Amin

Apalagi RUU TNI sebelumnya tidak dimasukkan dalam 41 RUU Program Legislasi Nasional (prolegnas) prioritas 2025 yang ditetapkan 19 November 2024 lalu. RUU TNI baru diusulkan masuk prolegnas prioritas sebagai inisiatif pemerintah pasca dikeluarkannya Surat Presiden No. R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025.

Usulan tersebut kemudian disetujui melalui rapat paripurna pada 18 Februari 2025. Sejak saat itu, pembahasan RUU TNI gencar dilakukan. Ini bahkan melampaui pembahasan RUU yang ditunggu-tunggu publik, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, amanat pembentukan UU Peradilan Militer, RUU Perampasan Aset, hingga RUU Masyarakat Hukum Adat.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, mengatakan perubahan agenda atau acara rapat dilakukan DPR tidak dilakukan melalui mekanisme sesuai Pasal 290 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR (Tatib DPR). Di mana perubahan acara rapat perlu diajukan secara tertulis dua hari sebelum acara rapat dilaksanakan.

Di saat sama revisi UU TNI telah diputuskan untuk masuk ke dalam Prolegnas 2025 tanpa ada pertimbangan dari Badan Legislasi DPR (sebagaimana diatur dalam Pasal 66 huruf f Tatib DPR), yaitu mencakup pertimbangan dapat atau tidak dapatnya suatu RUU masuk ke dalam Prolegnas perubahan (Pasal 67 ayat (3) (Tatib DPR). Pertimbangan ini penting karena perlu dibuktikan apakah benar revisi terhadap UU TNI saat ini memiliki urgensi dibandingkan agenda RUU prioritas yang lain.

“Undang-undang TNI ini sebenarnya bisa dikatakan menabrak aturan tatib DPR sendiri. Karena pada dasarnya RUU TNI tidak ada dalam prolegnas 2025, tetapi kemudian dipaksakan," ujar Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, kepada Tirto, Kamis (20/3/2025).

Revisi UU TNI juga tidak melalui sosialisasi oleh Badan Legislasi DPR sesuai dengan tugasnya dalam Pasal 66 huruf l Tatib DPR. Hal itu tentu saja merugikan publik, apalagi pembahasan dilakukan begitu cepat dalam satu masa sidang.

Padahal, keterbukaan adalah salah satu dasar dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bukti ketertutupan tersebut adalah simpang siurnya keberadaan naskah akademik, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), dan draf UU TNI teranyar.

“Pembahasan RUU TNI berjalan seperti halnya kudeta demokrasi dan konstitusi yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR, karena dilakukan sembunyi sembunyi, mengabaikan hak atas informasi dan partisipasi bermakna masyarakat,” ujar Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, kepada Tirto, Kamis (20/3/2025).

Mengulang Kesalahan Sama

Menurut Arif, proses penyusunan UU tersebut buruk dan inkonstitusional baik secara prosedur maupun substansi. Seolah, kata dia, DPR dan pemerintah hanya mengulang kesalahan yang sama ketika menyusun berbagai undang undang bermasalah seperti halnya Revisi UU KPK, Minerba maupun UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Dalam perjalanannya, UU Cipta Kerja sebelumnya sempat dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, pemerintah justru menerbitkan Perppu yang pada akhirnya disahkan menjadi UU. Pengesahan saat itu bahkan dilakukan secara cepat.

MK kemudian meminta DPR dan pemerintah, segera membuat Undang-Undang Ketenagakerjaan Baru dan memisahkannya dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Pembentukan UU baru ini disampaikan MK usai mengabulkan gugatan omnibus law Cipta Kerja dalam putusan Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023, berkenaan dengan uji materi UU Cipta Kerja.

MK selanjutnya memberi waktu maksimal dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk merampungkan UU Ketenagakerjaan yang baru. MK juga mengingatkan agar pembuatan UU tersebut harus melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja maupun buruh.

“Mereka hanya mengulang kesalahan yang sama ketika menyusun berbagai undang undang bermasalah. Ini akan menimbulkan ketidakpercayaan publik yang semakin besar dan luas kepada pemerintah dan DPR. Semestinya DPR berpikir ulang dan mendengarkan suara rakyat dengan membatalkan pengesahannya bukan justru mengabaikannya,” tegas Arif.

Berkaca dari UU Cipta Kerja, maka tidak menutup kemungkinan UU TNI ini akan ditempuh melalui uji materi ke MK, mengingat prosedur penyusunan dan pengesahannya tidak memenuhi prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan. Ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, pihak yang mengajukan uji materi bisa menyorot hak rakyat untuk memberikan masukan terhadap kebijakan penting seperti RUU TNI telah diabaikan.

“Bisa dibatalkan karena cacat formil. Dan lagi-lagi hari ini pembahasan rancangan undang-undang TNI juga masuk dalam kualifikasi legislasi idiot,” ujar Pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, kepada Tirto, Kamis (20/3/2025).

Peneliti senior dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengamini bahwa potensi RUU TNI akan digugat ke MK setelah disahkan DPR pada rapat paripurna hari ini menjadi sangat terbuka. Peluang itu datang dari keinginan DPR mengesahkan RUU yang jelas-jelas bermasalah secara prosedural dan substansial menurut pandangan dan sikap publik.

“DPR dan pemerintah secara sadar mengabaikan sikap publik yang disampaikan secara masif melalui berbagai bentuk aksi demonstrasi, pandangan di media sosial, media massa, dan lainnya,” ujar Lucius kepada Tirto, Kamis (20/3/2025).

Menurut Lucius, draf RUU TNI yang simpang siur sampai mau disahkan adalah bukti ketertutupan proses pembahasan. Ini jelas menutup ruang partisipasi publik. Padahal MK ketika menguji UU Cipta Kerja menempatkan partisipasi publik ini sebagai satu syarat pembentukan UU oleh DPR.

“Kalau DPR mengaku sudah melibatkan publik, kita perlu bertanya, bagaimana bisa publik dilibatkan, padahal draf RUUnya saja baru dipublikasikan setelah RUU-nya mau disahkan? Dan penentuan pasal apa saja yang direvisi tentu saja harus punya dasar kajian yang jelas. Ini yang juga sulit untuk kita temukan argumentasinya. Tiba-tiba saja muncul 3 pasal saja,” pungkas dia.

Ke depan peluang untuk menguji materi UU TNI ke MK masih terbuka. Ujian terhadap UU TNI di MK bisa menjadi jalan untuk memastikan bahwa setiap undang-undang yang disahkan benar-benar memenuhi syarat baik dari segi prosedur maupun substansi, serta mencerminkan aspirasi masyarakat luas.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TNI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang