tirto.id - Pernikahan dini menjadi fenomena yang masih ditemui di Indonesia. Tidak main-main, kejadian perkawinan anak di negara ini menjadi yang tertinggi di kawasan Asia Pasifik dan tertinggi kedelapan di dunia. Itu artinya, satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun.
Sementara soal angka, Data Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2021 saja masih ditemukan 59.709 kasus pernikahan dini yang diberi dispensasi oleh pengadilan.
Angka tersebut jika dibandingkan dengan tahun 2020 mengalami penurunan. Pada waktu tersebut Komnas Perempuan menyebut pernikahan dini yang tercatat sebanyak 64.211 kasus.
Ada berbagai faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini, baik pernikahan formal atau informal di mana salah satu pihak atau kedua pihak berusia di bawah 18 tahun.
Salah satu yang mungkin luput jadi sorotan adalah adalah pernikahan dini yang terjadi karena putus sekolah.
Seperti kasus yang bisa ditemui baru-baru ini terjadi di Kabupaten Blitar. Data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) menyebutkan, salah satu kabupaten yang ada di Jawa Timur tersebut mendapatkan permintaan dispensasi pernikahan sebanyak 108 anak sejak Januari hingga Mei 2023.
Permintaan dispensasi itu terdiri dari rentang usia antara 12 sampai 16 tahun.
Dispensasi pernikahan diberikan oleh pengadilan agama kepada calon mempelai yang belum berusia 19 tahun untuk menikah dan diatur dalam UU Nomer 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kepala UPT PPA DP3APPKB Kabupaten Blitar Iin Indira menjelaskan ada perubahan penyebab permintaan dispensasi. Menurutnya, tahun-tahun sebelumnya didominasi karena kehamilan di luar nikah namun tahun ini berkurang signifikan.
Faktor utama yang mendorong anak-anak--terutama perempuan ini ingin segera menikah adalah karena mereka telah putus sekolah. Alih-alih melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi mereka memilih untuk bekerja dengan skill minim.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Psikolog Ardi Primasari dari Prima Consultant menyebutkan tugas perkembangan remaja adalah menjalin relasi dengan teman sebaya serta mengeksplorasi kemampuan serta bakat dan minat dalam dirinya.
Remaja yang tidak putus sekolah tentunya akan menikmati masa-masa tersebut dengan teman-temannya, mulai dari hang out, mengikuti kegiatan di sekolah, aktif melakukan hobi atau mengikuti komunitas, dan lain sebagainya.
"Tetapi jika remaja putus sekolah, ia akan kehilangan masa-masa untuk berinteraksi dengan teman sebayanya sehingga cenderung bergaul dengan orang jauh lebih dewasa dari usianya. Hal itu membuat remaja putus sekolah memilih untuk mencari pasangan hidup dan bekerja seadanya, selayaknya orang dewasa," terang psikolog yang akrab disapa Ardi ini.
Apalagi, menurutnya beberapa kelompok masyarakat tertentu masih memiliki anggapan bahwa perempuan pada akhirnya hanya akan berurusan dengan sektor domestik sehingga buat apa berlama-lama menunda untuk menikah jika ujung-ujungnya juga akan mengurus dapur juga.
"Meski akhir-akhir ini kita melihat di berbagai media maupun public figure yang mengatakan menjadi seorang ibu harus berpendidikan tinggi agar mencetak generasi berkualitas, tapi hal itu tidak dapat digeneralisasi di Indonesia," paparnya.
Kenyataan bahwa banyak anak putus sekolah, menjadi alasan beberapa orang tua memberi izin anak melakukan pernikahan dini. Orang tua juga semakin khawatir melihat gaya berpacaran anak-anak masa kini.
Situasi global nampaknya juga turut berpengaruh terhadap tingkat pernikahan anak di sebuah wilayah.
Laporan UNICEF bahwa krisis baru-baru ini dan yang sedang berlangsung, seperti konflik bersenjata, bencana terkait perubahan iklim, dan perubahan ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 semakin menambah tingkat pernikahan anak di suatu daerah.
Gejolak itu secara tidak langsung telah meningkatkan ketidakamanan ekonomi, yang mendorong keluarga untuk menikahkan anak perempuan mereka lebih awal.
"Saat anak pulang dari sekolah dan keluarga menghadapi krisis, orang tua cenderung menikahkan anak mereka. Penelitian telah menunjukkan bahwa keluarga memandang menikahkan anak mereka sebagai perlindungan bagi anak itu, dalam hal finansial, fisik atau kesejahteraan sosial yang dianggap membawa kebaikan untuk keluarga dan anak tersebut," ungkap Sarah Barner, direktur Maternal Health Initiative di Wilson Center, Washington, D.C.
Pentingnya Mimpi bagi Remaja
Pernikahan yang terjadi di bawah umur tersebut tentu akan menimbulkan beberapa konsekuensi tertentu.
Ardi memaparkan ada dua kemungkinan yang bisa terjadi bagi anak yang dihadapkan pada pilihan menikah, sementara teman sebayanya masih sibuk belajar dan mengejar mimpi.
Pertama, anak justru tidak merasakan dampak psikologis terkait pernikahan dini. Sebab, di dalam dirinya tidak memiliki nilai-nilai tertentu yang dianut, misalnya saja pentingnya pendidikan bagi dirinya.
Tindakan seseorang dipengaruhi oleh motif atau dorongan yang menggerakkan suatu perilaku. Motif atau dorongan seseorang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut. Apa itu nilai?
Nilai adalah hal-hal yang dijunjung tinggi atau yang dianggap penting oleh seseorang sehingga masing-masing orang berbeda-beda.
"Bagi beberapa remaja, meraih cita-cita adalah sesuatu yang bernilai, sehingga ia rajin belajar dan ikut les, sebab nilai akademis berharga baginya. Sebaliknya, bagi beberapa anak yang putus sekolah tidak menganggap bahwa prestasi akademik adalah hal yang bernilai, sehingga belajar dan sekolah tidak penting, meraih cita-cita tidak penting," kata Ardi.
Oleh karena itu, mengedukasi anak akan pentingnya pendidikan, dan mengajarkan nilai-nilai untuk memiliki dan mencapai mimpinya sebagai pribadi, sangat berperan dalam mencegah pernikahan dini di kalangan anak atau remaja.
Dampak lain yang berbeda dari konsekuensi pertama adalah justru saat remaja merasa tersiksa dengan pernikahan yang terjadi, saat dirinya masih memiliki cita-cita tinggi.
Menikah, menurut Ardi adalah tugas perkembangan orang dengan kategori dewasa.
Kesiapan untuk melakukan tugas-tugas yang harusnya dilakukan oleh orang dewasa tentu saja membuat para remaja ini mengalami kesulitan di kemudian hari.
Orang dewasa memiliki tugas perkembangan untuk menikah, mencari nafkah dan menjadi orang tua. "Anak atau remaja yang menikah dini mungkin tidak tahu secara luas terkait pernikahan. Karena jatuh cinta, mereka lalu mengalami kebutaan cinta, atau dimabuk cinta,dan mereka beranggapan bahwa menikah adalah solusi terbaik. Padahal, pernikahan membutuhkan persiapan, " ujar Ardi.
Studi yang dilakukan Danusha Jayawardana, Research Fellow di Monash University mengungkapkan juga menemukan bahwa perkawinan anak memiliki dampak negatif yang kuat terhadap kesehatan mental perempuan.
Hal ini dapat menyebabkan konsekuensi yang merugikan, karena individu dengan gangguan jiwa lebih rentan untuk terlibat dalam perilaku berisiko, seperti menyakiti diri sendiri.
Menurutnya, menikah di usia muda bisa menjadi pengalaman traumatis dan menegangkan bagi anak perempuan. Pasalnya, mereka sering terpisah dari keluarga dan teman-temannya, dan harus tinggal bersama suami dan keluarganya sehingga meningkatkan risiko isolasi sosial.
Belum lagi tanggung jawab dari pernikahan pun siap menunggu, seperti melahirkan dan mengasuh anak. Hal tersebut dapat memberikan tekanan fisik dan emosional yang signifikan pada perempuan muda yang masih dalam masa pertumbuhan.
Pernikahan dini pun berpotensi membuat anak perempuan bermasalah dengan kesehatan fisiknya, termasuk kekerasan pasangan atau tertular infeksi menular seperti HIV, dan juga berisiko tinggi terkena kanker serviks.
Mereka juga lebih cenderung menghadapi komplikasi selama kehamilan dan persalinan yang pada gilirannya menempatkan nyawa mereka dan bayinya pada risiko yang lebih besar.
"Kehamilan remaja dan komplikasi selama kehamilan dan persalinan adalah penyebab kematian nomor satu bagi anak perempuan berusia 15 hingga 19 tahun. Tubuh mereka belum sepenuhnya matang untuk dapat menjalani kehamilan tanpa komplikasi," kata Barnes.
Kesadaran Pendidikan Orang tua Cegah Pernikahan Dini
Laporan UNICEF memaparkan pula bahwa dunia sebenarnya telah membuat kemajuan dalam melawan praktik pernikahan anak.
Sayangnya, progresnya berjalan lambat. Dalam laporan tersebut disebutkan persentase perempuan usia 20-24 tahun yang menikah di masa kecil turun dari 23 persen menjadi 19 persen dalam satu dekade terakhir.
Namun setiap tahun, 12 juta anak perempuan di seluruh dunia menikah sebelum usia 18 tahun.
"Laporan menegaskan bahwa kami telah membuat kemajuan dalam penghapusan pernikahan anak. Tetapi laporan itu juga menunjukkan bahwa kemajuannya tidak universal dan tidak cukup cepat," kata Claudia Cappa, penasihat senior di UNICEF dan penulis laporan baru tersebut.
Dengan progres yang disebut lambat itu, laporan ini pun menyebut akan membutuhkan waktu 300 tahun untuk sepenuhnya menghilangkan praktik pernikahan anak.
Sementara Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa menargetkan pernikahan anak bisa dihapuskan tahun 2030.
"Waktu 300 tahun mencolok. Itu menunjukkan bahwa kita perlu bergerak 20 kali lipat dari kecepatan bergerak sekarang untuk memenuhi tujuan pada tahun 2030. Meski begitu data ini juga memberi tahu bahwa masih banyak yang dilakukan," papar Sarah Barner, direktur Maternal Health Initiative di Wilson Center, Washington, D.C.
Salah satu hal yang bisa dilakukan menurut Ardi adalah memberikan kesadaran pada orang tua mengenai pentingnya pendidikan sekaligus konsekuensi melakukan pernikahan dini.
"Namun jika orang tua tidak komitmen mengantarkan anak mendapatkan pendidikan yang cukup, kurang memiliki ketegasan dan disiplin sekolah, maka anak menjadi memiliki pilihan lain selain sekolah," ujar Ardi.
Sebab, dari berbagai keuntungan yang bisa digambarkan, kerugian pernikahan dini jelas lebih banyak.
Persiapan pernikahan lainnya menurut Ardi antara lain kematangan fisik, kematangan emosi, kematangan sosial, kematangan spiritual dan tidak kalah penting kematangan finansial.
Bahkan anak atau remaja secara fisik pun belum siap untuk menikah, organ-organ reproduktif mereka belum cukup matang untuk menghasilkan keturunan, belum lagi tuntutan ekonomi. Jika hidup tanpa skill dan pengetahuan yang cukup, bagaimana bisa memiliki penghasilan yang cukup?
Tantangan dan jalan terjal memang masih harus dilalui untuk membenahi problematika pernikahan dini di Indonesia. Perlu pula komitmen, kerja sama dari berbagai pihak, serta optimisme agar permasalahan ini segera teratasi. Tapi itu semua sepadan jika hasilnya dapat mengembalikan senyum dan masa depan anak.