Menuju konten utama

Saat Meninggalkan Rumah jadi Pilihan demi Kesehatan Mental

Keluarga disfungsional bukanlah sesuatu yang bersifat genetik; karena perilaku tidak diwariskan, tapi dipelajari.

Saat Meninggalkan Rumah jadi Pilihan demi Kesehatan Mental
Ilustrasi keluarga disfungsional. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Keluarga adalah rumah, tempat untuk pulang. Ah, ini sepertinya hanya ungkapan belaka. Nyatanya, keluarga tidak selamanya jadi rumah, justru bisa jadi alasan sebagai arena perang. Bukan tempat yang nyaman dan aman untuk pulang.

Baru-baru ini dunia selebriti Indonesia dihebohkan dengan pertikaian antara Nikita Mirzani dengan Laura Mirzani, putri sulungnya. Merasa tidak memiliki kebebasan dan tidak setuju dengan perilaku ibunda, Laura memilih untuk sekolah di luar negeri. Konflik keduanya masih berlangsung, hingga sempat beradu postingan membahas masalah pribadi di media sosial, hingga Laura pun menuliskan ingin memutuskan hubungannya dengan sang ibu.

Perselisihan ibu dan anak mungkin bisa saja biasa terjadi di hubungan keluarga. Namun, di batas apa anggota keluarga harus memahami keluarga yang disfungsional?

Disfungsional dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Jika membicarakan keluarga, maka kata disfungsional memiliki arti sebagai keluarga yang tidak bisa memenuhi berbagai fungsi yang seharusnya.

Dalam artikel ini, alih-alih menggunakan kata toksik, yang lebih sering dipilih, mari kita gunakan istilah yang lebih tepat. Karena toksik memiliki arti racun, sudah seharusnya racun dimusnahkan atau dihilangkan.

Namun, keluarga tidak semudah racun yang gampang disingkirkan dan diputus hubungannya. Ada hubungan emosional yang melekat lama, dan menjadi pertimbangan untuk pergi dari rumah, walau berada dalam keluarga disfungsional.

Tirto.id berdiskusi dengan Psikolog Klinis dan Dosen, Ega Anastasia Maharani M.Psi., Psikolog mengenai hal ini. Menurutnya, relasi keluarga memiliki unsur emosional yang sangat kua karena hubungan yang sudah terbentuk sejak anak masih dalam kandungan ibu.

Seiring bertumbuhnya individu, dinamika ini bisa mengalami perubahan karena berbagai faktor, sehingga tidak jarang bentuk hubungan seseorang dengan keluarga dapat memburuk.

Salah satu faktor yang membuat hubungan seseorang dengan anggota keluarga memburuk karena terus menerima kritik, terus menerima tekanan untuk memiliki kesamaan dalam membentuk nilai dan tujuan hidup dengan cara-cara yang menyakiti.

Keluarga juga terkadang membiarkan adanya perilaku buruk terpelihara dalam anggota keluarga bahkan cenderung membuat menjadi normal-normal saja.

Disfungsi komunikasi yang terjalin di dalam anggota keluarga seperti memakai bahasa yang merendahkan, sengaja mengabaikan, memicu konflik, atau tidak mendengarkan seseorang, juga menjadi faktor merenggangnya hubungan anggota keluarga.

Predikat "Korban" yang Subjektif

Siska, ibu 1 anak asal Jawa Tengah, “Sangat tidak mungkin untuk meninggalkan keluarga, apalagi yang disfungsional adalah orangtua sendiri. Saya tutup mata, tutup telinga, tutup bibir saja. Takut kualat. Saya juga takut bikin nama besar orangtua tercoreng.”

Berbeda dengan keputusan Siska, Uchy, perempuan asal Kalimantan Selatan yang memilih merantau ke tanah Jawa, atas izin bapak angkatnya. Ia sengaja meninggalkan ibu angkatnya yang suka mengekang dan berperilaku tidak selayaknya.

“Saya sudah bertahun-tahun tidak bertemu ibu saya. Saya sempat memberinya kesempatan ketika saya sudah memiliki anak. Tapi perilaku ibu masih sama, anak dan suami saya mendapat perlakuan tidak baik. Sekarang saya membatasi keluarga inti saya untuk komunikasi dengan ibu. Komunikasi secukupnya saja, misalnya ucapan selamat hari raya atau selamat ulang tahun. Ini bentuk hormat saya ke Bapak dan Ibu.”

Keputusan untuk meninggalkan rumah dan keluarganya juga dilakukan oleh Dyah.

Sebagai anak bontot dari empat bersaudara, saya selalu diatur dan dipaksa melakukan sesuatu sesuai perintah kakak-kakak. Untuk urusan pilihan jurusan saat kuliah, memilih pakaian, nama akun sosial media, memilih band musik yang mau saya tonton, bahkan memilih pacar, semua diatur ketiga kakak saya. Untung alasan untuk keluar dari rumah agar mandiri diterima oleh mama dan papa, meski melalui perhelatan adu pendapat hingga berminggu-minggu. Pisah rumah menjadi ‘benteng’ antara saya dengan kakak-kakak. Hidup saya lebih nyaman dan saya mulai berani menolak dan mengungkapkan perasaan saya ke kakak-kakak atas perlakukan mereka,” ungkap Dyah, yang kini kos di kota berbeda.

Memiliki relasi dengan anggota keluarga yang memberikan kritik terus menerus, memberikan tekanan harus mengikuti atau memiliki kesamaan dengan cara yang menyakiti, apalagi ditambah menggunakan cara bicara yang merendahkan, lama-kelamaan bisa berdampak pada kondisi emosi, sosial, dan kesejahteraan diri secara umum.

Dampaknya secara langsung, dijelaskan oleh Ega dapat dilihat dari rendahnya harga diri seseorang membuat seseorang sulit beradaptasi dengan banyak lingkungan, kurang tangguh secara mental sehingga cenderung pasif dalam mengambil keputusan dan menentukan arah hidup.

Juga bisa berdampak pada resiliensi diri rendah, yaitu pola pikir yang memungkinkan individu untuk mencari pengalaman baru dan untuk melihat kehidupannya sebagai suatu pekerjaan yang mengalami kemajuan. Saat resiliensi diri rendah, seseorang akan mudah terganggu secara psikologis, misalnya menjadi mudah stres, mengalami kecemasan, atau mengalami depresi.

Untuk menghindari situasi-situasi tersebut, kita perlu mengembangkan kesadaran diri (self awareness) dan juga kesadaran tentang orang lain, misalnya dengan merefleksikan diri.

Dengan merefleksikan diri, membantu kita memahami diri sendiri, mengetahui sejauh mana tujuan yang ingin dicapai, memutuskan hal yang lebih baik dan meminimalisir kesalahan dalam mengambil keputusan.

Infografik Hubungan Disfungsional Keluarga

Infografik Hubungan Disfungsional Keluarga. tirto.id/Ecun

Keputusan Meninggalkan Keluarga

Tidak mudah mengambil keputusan untuk meninggalkan keluarga, dan hal ini pastinya bukan hal yang diinginkan oleh banyak orang.

Rasa takut, tidak nyaman, tidak aman, menghasilkan refleks untuk menjauhkan diri dari sumbernya. Akan tetapi, kita terikat oleh pemahaman tentang cinta dan makna keluarga, yang ditanamkan sejak kecil.

Sharon Martin, DSW, LCSW, psikoterapis yang juga seorang penulis blog pupular Conquering Codependency for Psychology Today, menuliskan: memang sungguh menyebalkan harus memilih antara diri sendiri dengan anggota keluarga.

Sedangkan tetap menjalin hubungan dengan orang yang berpotensi membahayakan emosional dan fisik juga dapat berdampak negatif pada pasangan atau anak kita.

Bagaimana penyelesaian terbaiknya? Ega Anastasia Maharani M.Psi., Psikolog menjawab tegas, tidak ada rumus yang sama untuk menyelesaikan permasalahan setiap orang. Banyak faktor yang memengaruhi.

Akan tetapi secara garis besar, yang bisa dilakukan pada kebanyakan kasus dysfungtional family adalah bangun support network, seperti dari anggota keluarga inti lainnya atau tenaga profesional.

Berbeda untuk kasus orangtua yang memperkosa anak kandungnya atau terlibat human trafficking terhadap anaknya. Maka seorang anak perlu segera diambil alih pengasuhannya oleh orang lain. Anak perlu mendapat perlindungan hukum dan psikologi.

Keluarga Disfungsional bukan "Warisan"

Penulis buku Toxic Family: Overcoming Their Hurtful Legacy and Reclaiming Your Life Dr. Susan Forward, Ph.D dan Craig Buck, menuliskan bahwa orangtua yang melakukan dysfungtional parenting bisa saja merupakan korban dari dysfungtional parenting yang dilakukan oleh orangtua mereka. Pengalaman yang didapat tanpa sadar diturunkan kepada anak-anaknya.

Ega Anastasia Maharani M.Psi., Psikolog menambahkan bahwa dysfungtional family tidak diwariskan. Karena menuurtnya, perilaku tidak diwariskan, tapi dipelajari.

Pengasuhan yang dilakukan oleh kakek nenek bisa saja dirasa normal-normal saja oleh orangtua kita. Karena apa yang terus menerus dialami saat kita kecil itu bagai footprint yang kalau tidak dibenahi akhirnya menjadi keyakinan kita.

Dan akhirnya menjadi lumrah bagi orangtua untuk mengulang pola serupa pada kita. Sayangnya, kita juga akhirnya menganggapnya juga normal-normal saja, dan mungkin meneruskannya saat melakukan pengasuhan ke anak.

Akan tetapi dalam prosesnya, kita bisa mempelajari ilmu pengasuhan baru, dan menyadari bahwa perilaku orangtua kita selama ini kurang sesuai. Sehingga sangat mungkin bagi kita untuk memutus rantai disfungsional yang sudah terbentuk dari kecil itu.

Beruntungnya, otak manusia saat dewasa memiliki kemampuan untuk unlearn dan relearn. Sehingga bisa memaknai ulang peristiwa lampau dengan perspektif baru.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Natalia Dian

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Natalia Dian
Penulis: Natalia Dian
Editor: Lilin Rosa Santi