tirto.id - Bukan sekali atau dua kali tersiar berita siswa menjadi korban dari hukuman fisik yang diberikan oleh pihak sekolah.
Pada bulan Oktober 2022 lalu, seorang siswi 9 tahun di Mesir akhirnya meninggal karena kepalanya berulang kali dipukul oleh gurunya karena kesalahan mengeja.
Di Amerika Serikat, antara tahun 2016 dan 2021, guru atau staf sekolah di New York, tercatat masih mendorong, menampar, memukul, mencubit, memukul, menyeret, mencekik, atau mencengkeram siswa, walau perlakuan ini dianggap ilegal di New York.
Di Indonesia, seorang siswa SMP di Manado, meninggal dunia diduga akibat menjalani hukuman fisik karena datang terlambat ke sekolah.
Yang menyedihkan, dengan dampak fatal yang terjadi akibat hukuman fisik pada murid, hingga kini 19 negara bagian Amerika lainnya, termasuk Missouri, justru menginjinkan sekolah untuk menerapkan hukuman fisik pada murid, walau satu-satunya hukuman yang diperbolehkan adalah "memukul bokong" dengan satu kali atau lebih.
Temuan mencatat bahwa ketika orang tua dihadapkan pada pilihan antara hukuman fisik dan skorsing, banyak dari mereka akan memilih hukuman fisik karena mereka tidak ingin anaknya bolos sekolah dan tertinggal secara akademis.
Dukungan baik dari guru dan orang tua akan hukuman fisik yang boleh diterapkan, membuat murid yang berada di lingkungan tersebut cenderung sering mengalami hukuman fisik.
Penelitian menemukan, bahwa guru (dan orang tua) yang pada masa sekolah mengalami hukuman fisik, atau memiliki kekerasan (fisik) di lingkungan keluarganya, cenderung memberikan hukuman fisik saat ia menjadi guru di sekolah.
Dalam sebuah penelitian yang dituangkan ke dalam laporan berjudul Physical Punishment at School: A Study, disebutkan bahwa kebanyakan guru memukul siswa ketika mereka tidak mengerjakan PR, membuat gaduh di kelas, dan melanggar peraturan sekolah. Alasan lainnya adalah datang terlambat ke sekolah, berbicara kotor, berkelahi dengan teman, hingga tidak memperhatikan pelajaran di kelas.
Hukuman fisik sering dilakukan untuk menghentikan pelanggaran, mencegah terulangnya kembali, dan sebagai shock therapy bagi murid lain agar tidak melakukan hal yang sama.
Hukuman fisik juga percaya hukuman fisik layak dilakukan dalam upaya membuat para murid tunduk.
Sehingga hukuman fisik dalam diharapkan akan mengubah perilaku siswa dan membuatnya lebih konsisten dengan harapan orang dewasa, dalam hal ini guru.
Namun, benarkah hukuman fisik dapat membuat siswa tidak mengulangi perilaku buruknya dan berhenti melanggar peraturan?
Psikolog anak dan remaja, Irma Gustiana A., justru menyarankan pemberian hukuman kepada anak dilakukan dengan memberikan hukuman yang sesuai dengan kesalahan anak.
"Hukuman itu harus selaras dengan kesalahan anak," kata Irma Gustiana Andriani M. Psi, seorang psikolog sekaligus Self Growth dan Parenting Coach di Klinik Psikologi Ruang Tumbuh.
Misal, ketika anak memecahkan kaca kelas gegara tendangan bolanya, maka berlari keliling lapangan sepuluh kali bukanlah hal yang efektif. Menurut psikolog yang kerap disapa Ayank Irma tersebut, seharusnya hukuman yang diberikan kepada anak tersebut misalnya, adalah dengan menyuruhnya ganti kaca.
Menurut Suparman, guru di sebuah SMP Negeri di Jakarta Selatan, umumnya hukuman fisik paling banyak diterapkan pada siswa sekolah menengah.
"Terutama SMP dan SMA. Ini memang periode di mana siswa paling sering melanggar peraturan, misalnya ngobrol saat lagi upacara bendera," katanya.
Bukan hanya berbahaya pada murid, hukuman fisik juga berpengaruh dari segi psikis. Hukuman fisik bisa membuat siswa merasa malu di depan teman-temannya. Studi juga menunjukkan bahwa hukuman fisik dapat membuat murid enggan berbicara dengan gurunya. Bahkan, tak jarang mereka jadi membenci pelajaran yang diberikan oleh guru tersebut.
Suparman sering menghukum anak dengan memintanya menulis permintaan maaf sebanyak 100 kali, merangkum materi dari buku cetak, maju ke papan tulis untuk mengerjakan soal, atau maju ke depan kelas untuk menyanyikan lagu kebangsaan atau lagu daerah.
Dan hukuman nonfisik inilah yang sampai sekarang masih sering ia gunakan untuk mendisiplinkan anak-anak yang suka ngobrol di kelas, tidak mengerjakan tugas, atau terlambat datang ke sekolah.
Metode hukuman nonfisik ini disetujui oleh Fajar Ramadhan (44), orang tua dari satu anak SMP, sebagai hukuman yang manusiawi.
"Sebagai generasi 80-an yang pernah tahu rasanya sakit fisik dan hati saat ditarik rambutnya gara-gara ngobrol pas upacara bendera. Saya tidak ingin anak merasakan hukuman seperti itu. Makanya, saya benar-benar selektif saat memilih sekolah menengah untuk anak," kata ayah dari tiga anak ini.
Fajar sendiri mengaku belum pernah mendapat aduan dari anaknya soal hukuman fisik di sekolah. Tapi, ia dengan tegas menentang hukuman fisik di sekolah.
"Jangan sampai anak mendapat memori buruk soal sekolahnya, yang bisa bikin dia jadi trauma atau membenci sekolah. Ini dampaknya bisa panjang sampai ke masa depan anak," katanya.
Sang anak, Rizal (14), yang saat ini duduk di kelas 9 di sebuah SMP swasta, mengaku hingga saat ini tak pernah bertemu guru yang suka memberi hukuman fisik.
"Hukuman yang paling umum di sekolahku adalah bikin laporan. Jadi, guru kasih kita tugas berupa studi kasus, dan kita bikin laporannya. Satu hari harus jadi," kata Rizal.
Bagi orangtua, seperti Fajar dan beberapa orang tua lainnya, mengaku sama sekali tidak keberatan dengan tugas esktra yang diberikan gurunya sebagai hukuman.
“Paling (anak) menggerutu sebentar, tapi tetap dikerjakan. Karena orang tua juga tahu kalau itu merupakan bentuk hukuman, jadi memang ditungguin bikinnya,” pungkasnya.
Dalam upaya mencoret hukuman fisik, asumsi bahwa anak hanya akan disiplin lewat hukuman, perlu dihilangkan. Sebaliknya, perlu proses panjang untuk memberikan anak waktu membentuk disiplinnya sendiri. Selama proses ini, perlu ada komunikasi dan rasa hormat yang terbentuk, bukan hanya murid terhadap guru, namun juga sebaliknya.
Mengajarkan sopan santun, non-kekerasan, empati, menghormati diri sendiri, dan menghormati orang lain juga perlu terus dilakukan, selain meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri anak untuk menghadapi situasi yang menantang.
Beda Disiplin dan Hukuman pada Otak
Mengutip dari Science Direct, sebuah penelitian menunjukkan bahwa murid melihat bahwa pemberian hukuman fisik menimbulkan perasaan takut, frustrasi, agresi, harga diri rendah, kepercayaan diri rendah dan kurangnya motivasi untuk belajar sebagai akibat dari hukuman yang terus menerus.
Oleh karena itu, memberikan hukuman, apalagi hukuman fisik bukanlah pilihan. Alternatif yang dapat dilakukan guru adalah dengan meningkatkan disiplin murid, selain upaya untuk melakukan dialog antar murid dan guru. Ironisnya, atas dasar disiplin inilah biasanya guru memberlakukan hukuman fisik.
Padahal penerapan dan dampak disiplin dan hukuman adalah dua hal yang berbeda. Disiplin adalah praktik melatih seseorang untuk berperilaku sesuai dengan aturan atau kode etik sehingga mereka dapat mengadopsi perilaku masa depan yang diinginkan. Hukuman menimbulkan penderitaan pada seseorang karena perilaku masa lalu mereka.
Disiplin mengajari anak perilaku baru, sedangkan hukuman mengajari anak perilaku baru menggunakan rasa takut. Disiplin juga berperan dalam pengembangan karakter, menjaga kesehatan mental anak, serta menjaga hubungan yang baik antara guru dan murid.
Hukuman dikatakan juga mempengaruhi otak anak. Ahli saraf percaya bahwa otak manusia terdiri dari tiga wilayah otak, yaitu reptilian brain (terkait fungsi tubuh), mammalian brain (terkait emosi; termasuk rasa takut), dan human brain (terkait cara berpikir).
Kala rasa takut pada hukuman fisik lebih mempengaruhi bagian otak terkait emosi (mammalian brain), memilih menggunakan metode disiplin yang mempengaruhi perkembangan cara berpikir murid (human brain), bukan sekedar alternatif bagi guru, namun menjadi pilihan yang paling bijaksana.
Penulis: Petty Mahdi
Editor: Lilin Rosa Santi