tirto.id - Sebuah kasus kekerasan terhadap siswa kembali muncul. Beberapa waktu lalu, RM seorang guru di SD di Serdang Bedagai, Sumatera Utara menjadi sorotan. Ia memberi hukuman menjilat toilet pada seorang siswa kelas empat karena tidak membawa tanah kompos. Seperti dilansir dari Kompas, siswa tersebut dihukum menjilat toilet hingga 12 kali. Namun, baru 6 kali melakukannya, bocah tersebut muntah-muntah.
Banyak pendidik seperti RM percaya, memberikan hukuman merupakan cara tepat agar siswa menyadari kesalahan yang mereka perbuat.
Akibatnya, sekolah seringkali menjadi tempat yang rentan kekerasan, menakutkan, dan berbahaya bagi anak. Fenomena ini diperkuat oleh data tren kekerasan pada anak di trisemester pertama tahun 2018 yang dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dalam dua bulan pertama tahun 2018, KPAI telah menerima 55 aduan kekerasan dalam pendidikan.
Kekerasan sebagian besar diterima anak dalam bentuk fisik sebanyak 72 persen. Disusul oleh kekerasan psikis sejumlah 9 persen, pemalakan atau pemerasan sebanyak 4 persen, dan kekerasan seksual sebanyak 2 persen. Selain itu, KPAI juga mendapati kekerasan guru pada murid yang tidak dilapor pada KPAI sebanyak 13 persen.
Para pelaku yang kebanyakan adalah guru melakukan kekerasan di beragam tempat di lingkungan sekolah. Seperti di toilet, layaknya kasus yang dilakukan RM, lalu ruang kelas, ruang OSIS, dan tempat penyimpanan karpet di Musala.
"Perilaku tidak bermoral itu juga dilakukan saat ekstrakurikuler seperti perkemahan dan bus pariwisata,” ungkap Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarsi di Kantor KPAI, Jakarta, Senin (19/3/2018).
Lazimnya, guru melakukan kekerasan fisik pada anak untuk memberikan hukuman. Menurut Retno, baik guru maupun orangtua banyak yang masih berpandangan bahwa mendisiplinkan anak harus dengan kekerasan. Padahal, seharusnya anak dididik dengan kasih sayang, perhatian, dan penghargaan. Hukuman dapat diberikan asal mendidik dan tidak melukai fisik serta psikis anak. Misal dengan menggandakan tugas yang diberikan pada mereka.
“Memang akarnya dari pola pikir pendidik yang merasa anak baru bisa diatur kalau dikerasin,” katanya kepada Tirto.
Hukuman yang Sia-sia
Benarkah hukuman berupa kekerasan bisa memunculkan rasa disiplin? Dr Ruth Payne, dosen di Universitas Leeds di Inggris memiliki penjelasannya. Penelitiannya yang diterbitkan pada tahun 2015 lalu mengamati reaksi siswa sekolah menengah kelas 7 (berusia 11-12 tahun) dan kelas 11 (berusia 15-16 tahun) terhadap hukuman.
Hasilnya, sanksi berupa pengebirian jam main terbukti gagal membuat anak berperilaku lebih baik. Menegur siswa di depan kelas atau menghukum seluruh siswa karena kesalahan segelintir dari mereka juga tak efektif. Hukuman tersebut malah menciptakan kebencian dan merusak hubungan antara siswa dengan guru.
"Hubungan akan lebih baik ketika guru menegur siswa dengan tenang dan halus dibanding mempublikasikannya di depan kelas,” kata Dr Payne dalam penelitian tersebut.
Penelitiannya juga menunjukkan siswa yang ditegur di depan kelas dapat mengarah berperilaku lebih buruk. Payne mengelompokkan empat komponen hukuman yang paling sia-sia dalam mengubah perilaku siswa: memotong istirahat, memberikan komentar buruk, melarang trip sekolah, dan memberikan nilai jelek.
Menurut Payne, selama ini para guru terlalu fokus memberi hukuman ketimbang mengarahkan siswa berperilaku baik. Dengan hukuman, siswa memahami bahwa perilaku buruk memiliki konsekuensi. Tetapi mereka jadi tidak belajar cara berperilaku lebih baik. Padahal, lebih penting mengajarkan kebaikan dengan memberi mereka penghargaan berupa hadiah atau sekadar pujian.
"Memberi peringatan lisan dan menghubungi orangtua siswa dengan komentar positif justru efektif mengarahkan kedua kelompok berperilaku baik."
Para guru bukannya tidak tahu dampak negatif dari hukuman yang mereka berikan. Tapi penelitian oleh Alawia Ibrahim pada tahun 2012 di Sudan mengungkapkan bahwa pendidik merasa buntu dan tak punya alternatif sanksi lain. Selebihnya memilih menghukum siswa karena stres dan frustasi.
Di sisi lain, siswa tak menemukan pembenaran bagi guru untuk memukul, menendang, menampar, atau memanggil mereka dengan sebutan buruk. Mereka malah mengaku takut, frustrasi, agresi, harga diri dan kepercayaan diri rendah, serta kurang motivasi belajar karena mendapat hukuman terus menerus.
Penelitian lain yang dilakukan Joan Durrant dan Ron Ensom tahun 2012 juga memperkuat simpulan Ibrahim. Mereka menganalisis beberapa penelitian sejenis dan menyimpulkan kekerasan fisik dapat memengaruhi kesehatan mental, cedera fisik, dan kekerasan keluarga ketika dewasa.
Studi di Amerika Serikat menunjukkan hukuman fisik memunculkan agresi. Peneliti membuat model kelompok anak yang diminta menonton video berisikan adegan seorang anak laki-laki diteriaki, diguncang, dan dipukul dengan dayung karena nakal. Setelah diamati, mereka menunjukkan agresi lebih saat bermain dengan boneka daripada kelompok lainnya.
Sampel di Kanada bahkan menunjukkan tamparan dan pukulan pada anak mengganggu kejiwaan saat dewasa. Anak jadi mengalami peningkatan kadar kortisol - gangguan kimia dari mekanisme otak untuk mengatur stres – yang membikin mereka mudah depresi.
Para peneliti juga menemukan dampak hukuman fisik terkait perkembangan kognitif. Seperti menurunnya prestasi akademik dan mengurangi volume materi abu-abu otak di otak (grey matter) yang terkait dengan kecerdasan. Mereka dibayangi berbagai masalah kesehatan mental termasuk depresi, ketidakbahagiaan, kecemasan, perasaan putus asa, penggunaan obat-obatan dan alkohol.
Komisioner KPAI, Retno mengatakan, untuk mengurangi kekerasan pada siswa di sekolah perlu ada pengawasan antara orangtua dan guru. Anak butuh contoh adanya sikap bertanggung jawab dari pendidiknya. Jika dengan kesalahan ada hukuman, maka berikanlah pujian dan hadiah saat anak berlaku baik dan terpuji.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti