tirto.id - Pada usia dua tahun Khadija Al-Salami menyaksikan ibunya dipukuli oleh ayahnya secara brutal sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Kebencian itu terpendam hingga usia 11 tahun, saat si ayah menikahkannya dengan seorang pria asing.
Khadija memberontak. Ia berhasil menceraikan suaminya lewat ancaman bunuh diri. Pada usia 16 tahun ia pindah ke Amerika Serikat untuk melanjutkan pendidikan. Khadija juga mulai merekam penderitaan gadis-gadis Yaman lain yang dipaksa menikah di usia dini untuk diolah menjadi film dokumenter.
Profesi filmmaker Khadija tekuni hingga kini hampir mencapai kepala lima dan tinggal di Paris, Perancis. Awal Juni 2019 ia berkata pada Reuters mengenai kamera sebagai “alat perjuangan” melawan masyarakat konservatif yang meminggirkan hak asasi manusia dan kebebasan pribadi perempuan.
“Aku berhasil melampaui kesulitan-kesulitan itu. Hal itu memberikanku dorongan yang besar untuk berbuat sesuatu untuk orang lain yang takut bicara,” kata pembicara dalam Fortune Most Powerful Women International Summit itu.
Nasih Khadija adalah cerminan tragis yang dialami oleh banyak gadis Yaman hingga detik ini. Ia beruntung sebab bisa meloloskan diri. Lainnya, yang berjumlah mayoritas, mesti menerima nasib sebagai istri dari pria yang usianya berlipat-lipat lebih tua.
PBB mencatat ada lebih dari 750 juta anak di dunia yang dinikahkan di bawah umur atau sebelum menginjak usia 18 tahun. Di Timur Tengah “berkontribusi” 40 juta di antaranya atau 700.000 per tahun. Sudah ada progres pengurangan dari 1:3 ke 1:5 dalam beberapa tahun terakhir, tapi tidak merata.
Yaman adalah salah satu negara yang masih mempraktikkan pernikahan anak secara masif. Pada 2005 Yaman menduduki posisi ke-14 di daftar negara dengan kultur pernikahan anak paling kuat, demikian laporan International Center for Research on Woman.
Sementara itu Human Rights Watch (HRW) mencatat pada 2006 lebih dari setengah dari total gadis di Yaman menikah di bawah usia 18 tahun. Pada 2018 angkanya menjadi lebih dari dua pertiga gadis Yaman yang menikah di bawah usia 18 tahun.
Praktiknya di daerah pedesaan bahkan bisa menyasar gadis usia 8 sampai 12 tahun, terutama jika pasangannya masih berstatus kerabat.
UNICEF menyodorkan data serupa pada September 2016. Mereka mengadakan riset di enam wilayah provinsi. Hasilnya menunjukkan pernikahan yang menyasar gadis di bawah usia 18 terhitung sebanyak 72,5 persen, sedangkan 44,5 persennya menikah di bawah usia 15 tahun.
Akar penyebabnya berlapis-lapis. Dari sudut pandang hukum, misalnya, Yaman sebenarnya memiliki aturan batas usia menikah minimal 15 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sayangnya, aturan itu dihapus oleh parlemen pada tahun 1999.
Dua dekade selanjutnya menjadi masa di mana baik laki-laki maupun perempuan Yaman bisa menikah di segala usia—secara teori. Kenyataannya, ketiadaan aturan hanya dimanfaatkan oleh pria-pria usia 25 ke atas untuk mencari pasangan usia di bawah 15 tahun.
Tradisi masyarakat di Yaman yang tergolong konservatif dan patriarkis membuat praktik tersebut hampir tidak bisa dilawan oleh gadis-gadis usia remaja. Mereka hanya bisa menuruti apa keinginan ayahnya, yang dianggap punya kemampuan untuk menghasilan keputusan terbaik bagi anggota keluarga lain.
Mengutip kembali riset HRW, pernikahan dini di Yaman tidak ditafsirkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, tetapi metode untuk menghindarkan si anak gadis dari perilaku zina di luar status perkawinan.
Merujuk pada mayoritas kasus, para ayah dipaksa oleh faktor ekonomi. Yaman adalah salah satu negara termiskin di Timur Tengah. Pandangan si pemimpin rumah tangga kepada anak-anak gadisnya pun beralih dari manusia yang patut dimanusiakan menjadi beban sekaligus kesempatan ekonomi.
Anak gadis dinikahkan agar tanggung jawabnya hidupnya beralih ke pria pelamar, bukan di punggung ayahnya lagi. Semakin dini dinikahkan, semakin cepat bebannya berkurang. Pemahaman ini lazim terutama di kalangan keluarga besar dengan banyak mulut yang harus diberi makan.
Pernikahan dini dipandang pula sebagai celah di mana si ayah akan mendapatkan uang mahar. Sejumlah aktivis mengecam tindakan-tindakan bermotif ekonomis ini sebagai praktik jual-beli anak. Meski demikian banyak kepala keluarga yang menilainya perlu demi menjaga dapur agar tetap mengepul.
Buruknya kualitas pendidikan Yaman menyumbang faktor tambahan. Anak gadis yang putus sekolah di negara itu memandang pernikahan sebagai satu-satunya pilihan. Beberapa calon suami datang tidak hanya membawa mahar, tapi juga janji menanggung biaya pendidikan si anak gadis.
Beberapa ada yang terealisasi. Lainnya lebih banyak yang menguap. Pasalnya, tak lama setelah mengikat janji di pelaminan, si gadis berhadapan dengan tanggung jawab melahirkan dan mengurus anak (-anak) serta setumpuk tugas-tugas domestik lainnya.
Mereka yang dinikahkan pada usia dini biasanya tidak langsung diajak berhubungan intim sebelum siap secara biologis (menstruasi). Sekali lagi, itu teorinya. Pada kenyataannya, muncul kasus-kasus di mana si suami memaksa berhubungan intim (pemerkosaan), hingga ada yang menimbulkan korban jiwa.
Pada 2013 dunia dikejutkan dengan kematian seorang gadis berusia delapan tahun—sebut saja A. A mengalami pendarahan internal parah karena dipaksa berhubungan intim oleh suaminya—pria berusia lima kali usia si gadis—langsung pada malam pernikahan.
Guardian melaporkan A berasal dari Kota Meedi, Provinsi Hajjah, Yaman sebelah utara. Saat kejadian A segera dilarikan ke klinik terdekat, tapi nyawanya tidak mampu diselamatkan.
Respons otoritas setempat menuai kritik. Pertama, tidak ada tindakan tegas untuk si pelaku. Kedua, mereka tiba-tiba menyatakan kasus tersebut tidak pernah terjadi. Kepala suku setempat turut terlibat kongkalingkong dengan mengancam jurnalis lokal untuk tidak mengulas kasus yang menimpa A.
Brookings Institute menyatakan hubungan seksual usia dini mengandung ancaman kesehatan berlapis-lapis. Risiko penyakit menular meningkat. Remaja perempuan juga jauh lebih rentan terhadap kanker serviks, malaria dan kematian sat melahirkan.
Bayi dari hasil pernikahan dini menghadapi risiko kelahiran prematur serta 60 persen lebih mungkin untuk meninggal pada tahun pertama dari ibu yang berusia lebih dari 19 tahun. Di tataran global, komplikasi kehamilan dan kelahiran adalah penyebab kematian nomor satu bagi perempuan usia 15-19 tahun.
Dalam skenario semua anak selamat pun, proses kelahiran mereka tetap menjadi neraka bagi si ibu. Hakim Almasmari dan Sarah El Sirgany pernah melaporkan untuk CNN kisah tentang Kafa, gadis Yaman yang dinikahkan dengan pria berusia 15 tahun lebih tua darinya saat usianya baru 13 tahun.
Empat tahun berselang, pada usia 17 tahun, ia sudah memiliki tiga anak. Pengalaman melahirkan ketiganya menjadi penderitaan yang amat sangat. “Setiap kelahiran harus melalui operasi bedah. Aku bertahan di ranjang rumah sakit selama tujuh hingga 19 hari,” katanya.
Bak pepatah lama, “sudah jatuh tertimpa tangga”, situasinya kian tidak menguntungkan bagi anak-anak gadis di Yaman pasca pecahnya perang sipil pada tahun 2015.
Sejak itu lebih dari 5.500 warga sipil telah terbunuh. Banyak di antaranya yang menjadi korban serangan koalisi yang dipimpin Arab Saudi. Target sesungguhnya adalah pemberontak Houthi yang dibekingi Iran. Namun, sebagaimana dampak perang lain, warga sipil turut menanggung akibatnya.
Perang membuat keamanan di perbatasan diperketat. Efeknya: bantuan dari luar tidak bisa masuk. Jutaan warga kelaparan. Sebagian di antaranya meninggal dunia. Krisis kemanusiaan di Yaman kini menjadi salah satu yang terburuk di dunia.
Ketidakstabilan politik, lumpuhnya ekonomi, robohnya gedung-gedung sekolah, semuanya mendorong makin maraknya praktik pernikahan anak di Yaman. Bak lingkaran setan, problem akut ini nampaknya belum akan mencapai titik terang dalam waktu yang dekat.
Editor: Windu Jusuf