tirto.id - Nina memandang horizon Pantai Karangsong. Tak ada apa-apa. Saat siklon tropis begini, mustahil ada kapal yang berani merapat. Suaminya, Wasdi, yang merupakan ABK Andora, sebuah kapal nelayan ikan tangkap, dipastikan pulang beberapa bulan ke depan.
Ingatan perempuan 38 tahun ini terlempar pada peristiwa dua puluh tiga tahun lampau.
“Nok,” ujar Amunah dengan sapaan sayang kepada anak perempuan, “ada pria yang mau melamar. Dia dari kampung sebelah. Orang kaya.”
Saat itu Nina masih SMP dan bersiap menghadapi ujian.
Amunah rungsing lantaran pihak sekolah terus merongrongnya untuk segera membayar iuran pendidikan. Kalau tidak, Nina, anak keduanya, tak bisa ikut ujian. Di sisi lain, sang anak pertama yang bekerja sebagai buruh migran tak pernah berkabar selama sepuluh tahun. Tawaran pria kampung sebelah kemudian menjadi angin segar bagi masalah rumah tangganya saat itu.
Sebulan setelah tawaran itu datang, Nina menikah. Pernikahan sederhana. Hanya dihadiri keluarga Nina, saksi, dan seorang lebe—istilah setempat untuk penghulu—yang bertugas menikahkan kedua mempelai.
Nina, yang baru mengalami menstruasi pertama, gentar menghadapi rumah tangga yang akan dijalaninya. Suaminya, Safrudin, berumur hampir tiga kali lipat dari usia Nina dan sudah memiliki seorang anak dari pernikahan sebelumnya.
Lantaran pernikahan itu, Nina harus menanggalkan seragam sekolah dan menjadi ibu rumah tangga. Hari-hari pernikahannya diisi dengan mengasuh sang anak tiri yang sudah memasuki usia TK.
“Padahal saya masih ingin sekolah waktu itu. Tapi mau gimana? Ekonomi keluarga sedang sulit sekali. Dan suami saya ini menjanjikan banyak hal secara materi,” ujar Nina, akhir November lalu, kepada saya.
Janji tinggallah janji. Selama menikah, ia hanya dinafkahi Rp25 ribu per bulan. Belum termasuk bonus kemarahan dari sang suami jika tak becus mengurus pekerjaan rumah tangga.
“Saya merasa lebih seperti pembantu ketimbang jadi istri,” kata Nina.
Tak kuasa menghadapi perlakuan sang suami, Nina kabur ke rumah orangtuanya. Badannya demam tinggi. Setelah diperiksa dokter, diketahui bahwa vaginanya mengalami infeksi. Diagnosis dokter, tubuh Nina belum siap melakukan hubungan seksual. Kendati menurut pengakuan Nina, ia tak mendapat kekerasan seksual dari suaminya.
“Saya menyesal sekali menikahkan Nina waktu itu,” ujar Amunah.
Enam bulan setelah pernikahan, Nina bercerai.
Meski sebenarnya masih bisa kembali ke bangku sekolah, Nina sungkan. Ia malu bertemu teman-temannya karena menyandang status janda. Ia pun memilih bekerja sebagai buruh migran. Lantaran sudah pernah menikah, ia dianggap memenuhi syarat kendati masih di bawah umur 18 tahun.
Tetapi pengalamannya bekerja sebagai buruh migran tanpa keterampilan yang memadai membuatnya pindah-pindah negara. Nina bilang, “karena pintar-pintarnya jasa penyalur TKI,” ia bisa bekerja ke luar negeri. Saat bekerja pun ia merasa cemas karena ilegal.
“Menclok-menclok kerjanya. Habis dari Abu Dhabi, enggak tahu ke mana, bahkan nama negaranya saja enggak tahu, lalu pindah lagi, terakhir ke Oman. Saya enggak bisa baca tulisan Arab. Di Oman pun saya akhirnya dipulangin,” kata Nina.
Dipaksa Menikah buat "Menghindari Malu"
Ardham dan Ive—keduanya 16 tahun—hanya saling menatap sambil tersipu malu saat saya menanyakan perihal pernikahan mereka.
“Kami bertemu di Facebook,” ujar Ive, masih dengan senyum malu-malu.
Tak lama setelah berkenalan pada 2015, mereka memutuskan untuk berpacaran. Satu waktu, Ive pulang larut. Ia takut jika pulang ke rumahnya akan dimarahi. Akhirnya, ia memilih menginap di tempat Ardham.
Mengetahui hal itu, orangtua Ive memaksa Ardham untuk segera menikahi anak gadisnya.
“Daripada bikin malu,” ujar Ive mengulang ucapan ayahnya.
“Padahal kami enggak ngapa-ngapain,” timpal Ardham.
Sehari setelah desakan itu, esoknya pernikahan langsung digelar di kediaman Ive di Desa Krasak, Kecamatan Jatibarang—sekitar satu jam perjalanan dengan kendaraan ke arah Cirebon, masih di kawasan Indramayu. Pernikahan dilangsungkan malam hari, dan di bawah tangan karena keduanya masih di bawah umur.
Kehidupan selanjutnya bisa ditebak: Keduanya meninggalkan bangku sekolah.
Sehari-hari Ardham hanya membantu ibunya menjaga warung, sementara Ive membantu sang nenek berjualan penganan sarapan. Kebutuhan sehari-hari mereka pun masih sepenuhnya ditanggung orangtua mereka.
Ardham, yang sekarang menjadi kepala rumah tangga, sempat mencoba peruntungan dengan merantau ke Jakarta sebagai kuli panggul galon air kemasan. Namun itu hanya beberapa minggu. Ia kembali ke kampung.
“Enggak kuat. Fisik saya, kan, masih kecil. Mana disuruh-suruh terus. Mentang-mentang saya masih kecil,” keluh Ardham.
Kini keduanya bersiap menyambut anak pertama mereka, yang rencananya lahir pada Februari tahun depan. Mereka juga masih menunggu waktu mencatatkan pernikahan di Kantor Urusan Agama begitu memasuki usia 17 tahun.
Hak Anak Dikebiri akibat Perkawinan
Praktik perkawinan anak seperti Nina sebenarnya lazim dilakukan di Desa Pabean Udik, Kecamatan Pasekan, Indramayu.
Amunah bercerita, hampir semua tetangganya menikahkan anak mereka pada usia belasan. Alasannya didominasi kehamilan di luar nikah.
Namun, tak sedikit juga yang menikah karena faktor ekonomi. Para orangtua biasanya berharap dengan menikahkan anaknya dapat membantu keuangan keluarga.
Merujuk Badan Pusat Statistik, tahun 2016 Indramayu menempati peringkat keenam penduduk miskin terbanyak di Jawa Barat: 237 ribu jiwa atau sekitar 13 persen dari populasi kabupaten. Faktor kemiskinan adalah salah satu pemicu berkembangnya praktik perkawinan anak di daerah pesisir pantai utara tersebut.
Alasan lain yang kerap dikemukakan oleh orang yang secara langsung maupun tak langsung melanggengkan praktik perkawinan anak adalah untuk "menghindari zina."
Pengadilan agama Indramayu mencatat, jumlah permintaan dispensasi perkawinan anak mencapai 429 kasus pada 2014 dan meningkat menjadi 459 kasus setahun berikutnya.
Sementara secara nasional, berdasarkan laporan UNICEF dan BPS yang dirilis awal tahun 2016 berjudul “Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia”, setiap tahun ada 340 ribu anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun. Artinya, sekitar 46 persen dari jumlah perkawinan di Indonesia. Angka ini dihimpun berbasis tabulasi hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) 2008-2012 dan sensus penduduk 2010.
Ekornya, dari data tersebut, Indonesia termasuk sebagai negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia dan menempati posisi kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja.
Provinsi Jawa Barat, yang disinggung dalam laporan tersebut, adalah contoh lebih dari setengah kabupaten dan kecamatannya memiliki prevalensi perkawinan remaja perempuan di bawah rata-rata nasional tetapi juga memiliki kecamatan dengan prevalensi yang sangat tinggi, di antaranya di Sukabumi dan Cianjur.
Angka rata-rata nasional sebesar 25 persen, yang menunjukkan satu dari empat perempuan berusia antara 20-24 tahun pernah menikah sebelum usia 18 tahun.
Angka-angka ini sangat mungkin lebih besar dan lebih tinggi di dalam kenyataannya karena, demikian tulis laporan tersebut, “banyak dari perkawinan ini yang tersamarkan sebagai perkawinan anak perempuan di atas usia 16 tahun atau tidak terdaftar.”
Laporan ini memaparkan ada sejumlah hak anak yang tercabut akibat perkawinan anak, terutama sekali hak mendapatkan pendidikan. Hampir 90 persen anak yang menikah tidak melanjutkan sekolahnya. Jika dilakukan di bawah umur, artinya sebagian besar dari mereka bahkan tidak lulus SMA.
Kedua, hak bebas dari kekerasan dan pelecehan seksual. Yuyun Khoerunnisa, aktivis dari Koalisi Perempuan Indonesia Indramayu, menyebutkan bahwa perkawinan usia dini rentan terjerat dalam kekerasan rumah tangga.
Ketiga, hak atas kesehatan terutama terkait organ reproduksi. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia mencatat pada 2012 angka kematian ibu meningkat tajam menjadi 359 kasus per 100 ribu kelahiran. Penyebabnya didominasi oleh usia ibu yang terlalu muda saat persalinan.
Hak lain yang ikut terenggut adalah hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi.
Yuyun menjelaskan, perkawinan anak rentan menjadi sumbu kasus yang lebih mengerikan seperti perdagangan orang atau bahkan pelacuran. Meski belum ada angka pasti terkait hipotesis ini, tetapi bukan berarti tak ada kemungkinan ke arah sana.
“Lebih banyaknya, anak-anak yang menjadi korban perkawinan anak, atau yang sudah bercerai, beralih menjadi buruh migran untuk membantu perekonomian keluarganya,” ujar Yuyun.
Otoritas yang bertugas menangani buruh migran mencatat, per November 2017 ada 16.027 orang dari Indramayu yang bekerja sebagai buruh migran—tertinggi di seluruh Indonesia.
Undang-Undang Purba Perkawinan
Alasan meringankan ekonomi keluarga, yang kerap jadi faktor utama perkawinan anak, menjadi ironis. Perkawinan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi keuangan keluarga justru menjadi beban baru, terutama bagi sang anak.
Pada satu kesempatan wawancara dengan redaksi Tirto, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyinggung hal ini. Ia berkata perspektif demikian hanya akan mewariskan kemiskinan.
“Unskilled labor bertemu unskilled labor, kan, sama aja mewariskan kemiskinan. Sebenarnya bukan menyelesaikan, orangtua hanya menurunkan kemiskinan kepada anak dan cucunya,” ujar Khofifah.
Pada 2000, saat menjabat menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Khofifah mengajukan revisi Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Ia meminta agar batas minimum usia perkawinan bagi anak perempuan dinaikkan menjadi 18 tahun. Tapi upaya ini gagal.
“Undang-Undang tersebut sudah tidak relevan. Ini tahun 2017, sudah lebih dari 40 tahun,” kata Khofifah.
Koalisi Perempuan Indonesia pernah mengajukan uji materi pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi pada 2015. Namun, dalam putusannya, uji materi tersebut ditolak.
Alasan hakim pada waktu itu: 1) Perkawinan adalah hak setiap orang dan tak boleh dibatasi; 2) Negara hanya mengakomodasi perintah agama; 3) Tidak ada jaminan bahwa perubahan batas usia akan berdampak positif; 4) Menyarankan untuk melakukan legislative review; dan 5) Mencegah zina.
“Padahal ada banyak cara untuk mencegah zina. Perkawinan bukan satu-satunya,” ujar Yuyun Khoerunnisa.
Yuyun melanjutkan bahwa Koalisi Perempuan mendorong agar UU Perkawinan segera diamandemen, tak hanya terkait batas usia minimum tapi juga menghapuskan dispensasi. “Banyak perkawinan anak juga karena ada dispensasi dari pengadilan. Artinya, ada akses dari negara untuk mempermudah perkawinan anak terjadi.”
Pernyataan Yuyun sejalan dengan statistik angka dispensasi perkawinan yang hampir 90 persen dikabulkan oleh pengadilan.
Menanggapi fenomena perkawinan anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saat ini tengah mengupayakan revisi Undang-Undang Perkawinan.
“Kami meminta agar batas usia minimum diubah menjadi 18 tahun dan dispensasi dihapuskan,” ujar Lenny N. Rosalin yang mengurusi bidang tumbuh kembang anak dari kementerian.
Undang-undang purba perkawinan ini kontradiktif dengan aturan legal yang melindungi usia anak hingga 18 tahun.
Dalam laporan BPS bersama UNICEF tersebut, meski menyebut “praktik perkawinan usia anak di Indonesia bersifat kompleks dan mencerminkan keragaman nilai dan norma sosial di Indonesia,” tetapi salah satu rekomendasi yang perlu dijalankan adalah “berinvestasi dalam pendidikan ... khususnya untuk menyelesaikan sekolah menengah atas ... [sebagai] salah satu cara terbaik untuk memastikan anak perempuan mencapai usia dewasa sebelum menikah.”
“Katanya pengantin baru itu enak,” ujar Nina, 23 tahun kemudian mengingat perkawinan pertamanya, “tapi, yang saya rasain malah sedih. Ngenes. Karena saya, kan, masih SMP, seragam masih baru, ngeliat teman masih sekolah.”
“Sekarang saya malah putus sekolah, malah nganter anak sekolah. Malu,” tambah Nina.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam