tirto.id - Lebaran 2016, Doni, warga Desa Barabali, Kabupaten Lombok Tengah, menculik Alma Mauli. Lilik Agustiningsih, guru mereka yang baru kembali mudik dari Banyuwangi, terkejut. Ia menyambangi kediaman orangtua Doni untuk tahu duduk perkaranya. Saat itu Alma sudah di kediaman keluarga Doni.
“Kami mau menikah, Bu,” demikian dalih keduanya seperti diceritakan kembali oleh Lilik.
Lilik berupaya mencegah perkawinan mereka. Kedua anak ini, berusia 15 tahun, masih berstatus pelajar madrasah Aliyah atau setara SMA. Doni masih duduk di kelas XI SMA, sementara Alma bahkan kerah seragamnya pun masih kaku lantaran baru saja mencicipi dunia putih abu-abu.
Upaya Lilik berlangsung alot. Ia bolak-balik memediasi antara kedua keluarga agar semampu mungkin menggagalkan rencana nekat itu. Sampai suatu hari, ia ditawari sejumlah uang oleh pihak keluarga Doni untuk berhenti memperkarakan rencana hajat nikah sang anak. Padahal dari keluarga perempuan sudah setuju agar pernikahan ini dibatalkan.
“Saya tolak. Saya bukan mencari uang,” ujar Lilik , via telepon pekan ini, kepada saya.
Keluarga Doni bersikeras agar pernikahan segera dilaksanakan. Alasannya berkembang ke mana-mana: Alma hamil. Lilik menawarkan untuk memeriksakan Alma ke klinik yang akhirnya mereka tolak.
Menculik seorang perempuan untuk kemudian dinikahi, seperti yang Doni lakukan, dianggap "lumrah" terutama oleh masyarakat suku Sasak dari Pulau Lombok. Mereka menyebutnya merariq. Secara harfiah, merariq berarti mencuri.
Tradisi ini berlangsung lama di masyarakat Sasak. Merariq akan dilakukan oleh pasangan yang ingin menikah. Sang pria akan menculik sang perempuan dalam semalam.
Menurut Lilik, dalam adat Sasak, tradisi merariq sebenarnya tidak bisa sembarang dilakukan. Ada sekitar 20 proses yang harus dijalani kedua calon mempelai sebelum menikah. Untuk sampai tahap merariq, kedua pasangan harus melalui proses perkenalan terlebih dulu. Itu pun harus via perantara.
Sementara yang terjadi sekarang, tradisi merariq telah mengalami pergeseran makna, ujar Lilik. Untuk melakukan merariq, saat ini mudah saja para pasangan membuat janji dengan berkomunikasi lewat ponsel pintar ataupun media sosial seperti Facebook. Merariq menjadi perkara enteng. Mau tak mau, para orangtua harus menikahkan anaknya. Karena jika tidak, demikian menurut hukum adat, nama baik keluarga menjadi taruhan.
Adat macam itulah, yang telah bergeser makna dan waktu, yang mengantarkan Doni dan Alma ke pelaminan pada Juli 2016. Pesta adat digelar. Doni diarak (nyongkolan) dari kediamannya menuju rumah Alma, yang akan menyambutnya (nanggep).
Pendidikan keduanya pupus. Namun, perjalanan rumah tangga mereka tak berjalan mulus.
Setelah pernikahan, Alma kerap mengadu kepada Lilik bahwa ia menerima kekerasan dari suaminya. Bahkan Alma sempat ditalak secara agama oleh Doni, meski kemudian rujuk lagi.
“Kalau nanti dia (Doni) menalak kamu lagi, kamu jangan mau rujuk. Kamu itu punya hak atas dirimu sendiri,” kata Lilik, yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Indonesia untuk urusan kelompok kepentingan perempuan petani di NTB, mewanti-wanti Alma yang sudah memiliki seorang anak.
Awig-Awig dan Upaya Hukum Lokal Tekan Nikah Dini
Mekarnya praktik merariq yang disalahartikan memicu meningkatnya angka perkawinan anak di Nusa Tenggara Barat. Ini kemudian berkelindan dengan permasalahan sosial lain seperti angka perceraian, pendidikan terhenti, malnutrisi bayi, hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Dari Laporan UNICEF dan Badan Pusat Statistik yang dirilis pada awal tahun 2016 berjudul “Kemajuan yang Tertunda”, pada 2012 ada 32.253 remaja NTB yang menikah antara usia 15-19 tahun, atau sekitar 16,3 persen dari jumlah pernikahan di provinsi tersebut.
Melihat angka memprihatinkan ini, Koalisi Perempuan Indonesia bersama Lembaga Perlindungan Anak dan sejumlah pemangku kepentingan terkait menyusun awig-awig. Dalam bahasa Sasak, awig-awig berarti aturan ataupun kebijakan yang berlaku di tingkat dusun maupun desa. Hukum lokal ini disusun melalui musyawarah pejabat setempat yang didampingi Koalisi Perempuan dan lembaga terkait.
Ada sanksi-sanksi sosial dalam rumusan awig-awig yang berlaku berbeda di tiap daerah mengingat tiap daerah maupun kawasan di NTB memiliki tradisi dan karakter masing-masing.
Seperti di Lombok Tengah, misalnya. Awig-awig untuk menekan angka perkawinan anak memiliki sanksi sosial berupa: 1) Pengantin pria tidak diarak (nyongkolan), 2) Acara menyambut pengantin pria (nanggep) di kediaman pengantin perempuan tidak akan dihadiri 3) Tidak ada lagi banjar, artinya pengantin tidak diberi sumbangan barang pokok.
“Masyarakat desa atau adat lebih patuh pada hukum lokal ketimbang aturan formal. Jadi kami lakukan ini,” ujar Lilik.
Awig-awig di Lombok Tengah baru efektif berlaku setahun ke belakang dan menyentuh lima desa di kabupaten ini: Desa Pagutan (Kecamatan Batukliang), Desa Pengenjek dan Desa Batu Tulis (Kecamatan Jonggat), Desa Mertak Tombok (Kecamatan Praya), dan Desa Sengkereng (Kecamatan Praya Timur).
Jika di Indramayu, faktor ekonomi mendominasi sebagai penyebab utama perkawinan anak, masyarakat di Lombok Tengah, terutama para remaja, lebih banyak terpengaruh tradisi merariq serta faktor agama.
“Kami sempat melakukan focus group discussion (FGD) dengan sejumlah tokoh lintas agama dan kami sepakat tidak ada agama yang membolehkan perkawinan usia anak,” jelas Lilik.
Lilik melanjutkan, kendati berkontribusi besar pada angka perkawinan anak, pihaknya tak bisa melarang bahkan menghapus merariq.
“Karena itu tradisi, harus dilestarikan,” ia bilang.
Lilik hanya menyayangkan makna merariq yang kini sudah sedemikian bergeser di tengah masyarakat. Padahal raja Lombok terdahulu cukup menyulitkan anak-anaknya untuk melakukan merariq.
Misalnya saja, untuk anak laki-laki, raja membelikan seekor sapi yang kemudian harus dikembangbiakkan jadi 144 ekor. Jika memenuhi target, sang putra baru diizinkan melakukan merariq. Sementara bagi putri raja diharuskan memiliki keterampilan menenun hingga 40 tepi sehingga baru boleh melakukan merariq bersama pria.
Pada dasarnya, merariq adalah bentuk kebebasan wanita dalam memilih pasangan hidupnya. Karena sebelum dilarikan oleh seorang pria, seorang perempuan Sasak akan didatangi lebih dari satu laku-laki dalam waktu bersamaan. Dalam pertemuan itu, perempuan Sasak harus memperlakukan adil seluruh laki-laki yang menyambanginya tetapi memberikan tanda rahasa khusus kepada seorang yang ia pilih, misalnya dengan memberikan sapu tangan.
Kendati demikian, merariq bukanlah satu-satunya penyebab perkawinan anak. Permasalahan klasik seperti masalah ekonomi keluarga juga ikut memicu fenomena ini.
“Biasanya mereka yang besar di keluarga broken home, orangtuanya kemudian bekerja sebagai buruh migran. Anak-anaknya menjadi tidak terurus,” terang Lilik.
Dari data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, Nusa Tenggara Barat menduduki peringkat keempat sebagai provinsi pemasok buruh migran tertinggi se-Indonesia dengan angka 31.931 jiwa. Hampir 9 ribu di antaranya berasal dari Kabupaten Lombok Tengah yang menempati posisi kelima kabupaten/kota dengan buruh migran terbanyak.
Perkawinan anak dan kemiskinan tak ubahnya lingkaran setan yang tak pernah putus. Jika hukum lokal nyatanya lebih efektif, sembari menunggu amandemen Undang-Undang 1/1974 tentang perkawinan (yang membolehkan anak usia 16-19 tahun menikah), alangkah lebih bijak jika pemerintah mengoptimalkan kewenangan dalam otonomi daerah untuk menekan angka perkawinan anak.
Misalnya saja Desa Campakawarna, Kabupaten Cianjur, dengan program Kampung KB. Cianjur termasuk salah satu kabupaten di Jawa Barat yang menghadapi prevalensi tinggi perkawinan anak. Di Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul, Yogyakarta juga ada inovasi serupa dengan program bernama ‘Ayunda Si Menik’—akronim untuk "Ayo Tunda Usia Menikah."
Meski begitu, belum semua daerah memiliki inisiatif demikian. “Kalaupun ada, biasanya itu merupakan program inisiasi pribadi ataupun LSM, bukan dari pemerintah,” ujar Devi Asmarani, aktivis perempuan juga redaktur Magdalene, sebuah situs artikel yang mengusung isu feminisme di Indonesia.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam