Menuju konten utama

2017: Tahun Paling Brutal Bagi Anak-Anak di Wilayah Konflik

Tanpa memandang hukum humaniter, anak-anak terus dijadikan tumbal dalam perang.

2017: Tahun Paling Brutal Bagi Anak-Anak di Wilayah Konflik
Prajurit anak bersenjata dalam pawai Houthi di Sanaa, Yaman. FOTO/REUTERS.

tirto.id - Anak-anak terus dilibatkan dalam sejumlah aksi teror yang dilakukan oleh kelompok bersenjata. Tahun ini, ratusan hingga ribuan anak direkrut hanya untuk dijadikan sebagai pelaku bom bunuh diri. Anak-anak yang terjebak di zona konflik juga kerap menerima berbagai tindak kekerasan.

Dalam berbagai laporan LSM internasional, anak-anak disebut sebagai pihak yang paling rentan dalam konflik. Berbagai aksi teror dan konflik yang tak kunjung reda di tahun 2017 ini membuat tahun ini menjadi tahun paling brutal bagi anak-anak.

"Anak-anak menjadi sasaran dan terkena serangan dan kekerasan brutal di rumah, sekolah dan tempat bermain mereka," kata Manuel Fontaine, Direktur Program Darurat UNICEF.

Kejadian-kejadian brutal itu terjadi misalnya di Sudan Selatan. Sejak merdeka tahun 2011, negara di wilayah Afrika Utara itu terus dilanda konflik dan perang saudara. Hal itu menyebabkan jutaan orang terbunuh termasuk anak-anak.

Pada 2013, terjadi perebutan kekuasaan antara Salva Kiir Mayardit yang menjadi presiden Sudan Selatan dengan wakilnya Riek Machar yang berujung pada perang saudara. Konflik yang berkepanjangan hingga 2017 itu telah menyeret sekitar 19.000 anak yang direkrut sejak 2013 untuk menjadi anggota kelompok bersenjata.

Hal senada juga terjadi di Somalia. Sekitar 1.740 anak direkrut untuk dilibatkan dalam perang sepanjang Januari hingga Oktober 2017 di negara yang berada di tanduk Afrika tersebut.

Anak-anak yang terperangkap di zona perang juga kerap dipaksa bertindak sebagai pembom bunuh diri. Kelompok militan Boko Haram dilaporkan kerap merekrut anak-anak di Nigeria dan Kamerun untuk melancarkan aksi bom bunuh diri. Jumlahnya mencapai 135 orang atau hampir lima kali jumlah anak yang direkrut pada 2016. Metode bom bunuh diri menggunakan anak-anak ini mulai diterapkan kelompok bersenjata sejak 2014.

Peningkatan ini tentu menunjukkan semakin tingginya anak-anak yang kini dimanfaatkan dalam konflik. Menurut laporan UNICEF yang dikutip South China Morning Post, Boko Haram telah menampung 8.000 anak baik laki laki maupun perempuan dari wilayah yang telah mereka kuasai. Anak-anak ini dipersiapkan untuk mendukung gerakan militan ini.

Menurut Carl LeVan, profesor di bidang politik Afrika dari American University, penggunaan anak-anak dalam aksi teror pada dasarnya adalah bentuk keputusasaan para militan. Ada beberapa titik yang sulit ditaklukkan oleh para militan, misalnya basis-basis militer atau wilayah dengan penjagaan ketat oleh para militer. Karena tak mampu menyerang, Boko Haram atau kelompok militan lain pun menggunakan anak-anak yang “jarang dicurigai” sebagai pelaku teror untuk menembus basis-basis militer atau wilayah yang sulit mereka taklukkan.

Cerita lain datang dari anak-anak Irak dan Suriah. Mereka direkrut oleh kelompok militan ISIS untuk dijadikan perisai manusia sehingga tak jarang, mereka terjebak dalam sebuah pengepungan. Alhasil tak sedikit diantara anak-anak Irak dan Suriah yang menjadi sasaran para penembak jitu.

Mengabaikan Hukum Humaniter dan HAM

Bagaimana cara kelompok bersenjata merekrut anak-anak untuk dijadikan tentara, pembom bunuh diri dan perisai?

Ada bermacam cara yang dilakukan. Pertama, anak-anak bergabung secara sukarela dengan berbagai alasan. Anak-anak ini akan dilatih dan dipersenjatai guna membantu berbagai aksi yang dilakukan kelompok bersenjata. Ada juga yang bergabung atas perintah orangtuanya.

Kedua, sebagian anak yang direkrut merupakan target dari kelompok militan. Dua peneliti Georgia State University John Horgan dan Mia Bloom mengungkapkan bahwa anak-anak itu akan diambil paksa dari keluarganya.

"Kami punya cerita tentang seorang anak laki-laki Suriah. Sang ayah berkata, 'tidak, saya tidak ingin kamu bergabung [dengan pejuang ISIS],' "cerita Bloom.

"Pejuang ISIS lalu mengunjungi rumah tersebut dan berkata jika Anda tidak membiarkan anak laki-laki Anda bergabung, kepalamu akan berada di atas tongkat."

Ketiga, anak-anak diculik, lalu dicuci otak dengan ideologi. Menanamkan kebencian kepada lawan, misalnya seperti yang dilakukan Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Jalur Gaza yang mengajari anak-anak untuk membenci Israel. Kebencian yang tinggi akan memudahkan para militan untuk melancarkan teror.

Perekrutan ini tentu bertentangan dengan hukum internasional. Pada tahun 2000, PBB mengadopsi protokol tambahan pada Konvensi Hak-Hak Anak guna melindungi anak-anak agar tidak direkrut dan digunakan dalam konflik atau perang.

Pada protokol tambahan itu, dijelaskan bahwa negara dilarang merekrut anak di bawah usia 18 tahun untuk dikirim ke medan perang. Negara harus mengambil tindakan cepat untuk mencegah perekrutan anak-anak di bawah usis 18 tahun. Anak-anak yang terlanjur digunakan dalam perang harus diberi layanan psikologis dan membantu dalam reintegrasi dalam lingkungan sosial anak.

Namun yang paling ditekankan dalam protokol ini adalah, kelompok bersenjata (yang berbeda dengan angkatan bersenjata) di suatu negara tidak diperbolehkan dalam keadaan apapun, merekrut atau menggunakan anak di bawa usia 18 tahun untuk terlibat dalam perang.

Konvensi Jenewa 1949 pun turut menegaskan perlindungan terhadap warga sipil termasuk perempuan dan anak dalam perang.

Infografik anak-anak senjata perang

Sayangnya, larangan ini kerap diabaikan oleh berbagai kelompok bersenjata. Bahkan anak-anak terus dijadikan 'tumbal' dalam perang atau konflik.

Dampak Perang Terhadap Anak-Anak

Terlepas dari perekrutan yang mengabaikan hukum internasional, perang juga mendatangkan dampak yang cukup besar bagi sebagian besar anak-anak.

Tindakan kejam lainnya yang kerap melanda anak-anak yang terjebak dalam zona konflik yaitu diperkosa, dijadikan budak, mati terbunuh dan berbagai kekerasan lainnya. Di Afganistan misalnya, konflik yang terjadi sepanjang Januari-September 2017 telah menyebabkan 700 anak terbunuh.

Di Kongo, sekitar 850.000 anak harus pergi meninggalkan rumahnya karena perang. Menurut laporan UNICEF, hampir sebagian dari anak-anak itu kini menderita gizi buruk.

Anak-anak Rohingya pun tak ketinggalan. Kekerasan yang terjadi di wilayah Myanmar itu telah memaksa anak-anak Rohingga pergi meninggalkan kampungnya menuju ke perbatasan guna mencari tempat yang aman di wilayah Bangladesh. Meski demikian, anak-anak ini juga kerap mengalami kekerasan di kamp pengungsian. Mulai dari pemerkosaan hingga terjebak sindikat penjualan manusia.

Sedangkan anak-anak di Yaman adalah salah satu yang paling menderita karena perang. Lebih dari 5.000 anak meninggal karena perang, 11 juta anak kini membutuhkan bantuan kemanusiaan, 1,8 juta anak mengalami gizi buruk dan 385.000 berisiko meninggal karena gizi buruk jika tak segera dibantu.

Perang tak hanya membuat anak-anak menderita secara fisik namun juga secara psikologis lantaran trauma dengan berbagai kekerasan dan terpisah dari keluarga. Meski sudah banyak korban, nyatanya perang atau konflik hingga kini tak pernah surut, malah terus berkecamuk di berbagai wilayah.

Baca juga artikel terkait ANAK-ANAK atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf