Menuju konten utama

Blokade Saudi Memperparah Bencana Kelaparan di Yaman

Blokade Saudi menghalangi impor dan pengiriman bantuan untuk warga sipil di Yaman. Penderita kelaparan akut dan wabah kolera meningkat tajam.

Blokade Saudi Memperparah Bencana Kelaparan di Yaman
Seorang anak laki-laki yang kekurangan nutrisi tergeletak lemah di distrik al-Tuhaita, Hodaida, Yaman. REUTERS/Abduljabbar Zeyad

tirto.id - Taie Al-Nahari bersimpuh di atas pasir, persis di depan rumahnya di Desa Al-Qaza, Kota Al-Hudayah, Yaman. Ia hanya mengenakan celana yang sudah kusut dan penuh tambalan. Tubuhnya dibiarkan telanjang sebab tak punya uang untuk membeli baju. Tulang-tulang iga, pundak, dan tangan terlihat menonjol akibat bencana kelaparan terburuk yang kini sedang mendera Yaman.

Dulu Al-Nahari berprofesi sebagai nelayan. Dapurnya rutin mengepul untuk mengisi perut keluarga kecilnya. Segalanya berubah pada 2015, saat jet-jet Saudi membombardir kampung halamannya, termasuk kapal-kapal nelayan yang berani dilayarkan. Al-Nahari terpaksa pindah haluan dengan menjadi seorang pembuat sapu dengan bayaran $1 per hari. Gajinya kecil, hanya cukup membeli tepung dan sejumput makanan pokok lain.

“Kami bangkrut, kami tidak punya uang yang cukup, tak ada makanan, tak ada yang dimakan, tak ada orang yang bisa dimintai pekerjaan,” ungkapnya pada Guardian dua pekan yang lalu.

Baca juga: Perang Mengubah Tradisi Ramadan di Timur Tengah

Al-Nahari tinggal di kota yang paling rajin kena bombardir. Tetangga-tetangganya bernasib serupa. Fatima, misalnya, yang harus merawat dua cucunya di Desa Al-Mujelis, Ali (11) dan Mohammad (4). Keduanya kena thallasemia, penyakit kelainan darah yang penyebarannya menurun secara genetik. Krisis pangan membuat kondisi keduanya makin buruk. Fatima menganggur karena kebun mangga tempatnya biasa bekerja rata dihantam bom.

“Sekarang kami menjual sapu dan membeli sedikit tepung untuk kami makan dengan air,” katanya. “Pilihan kami ada dua: mati dibom atau kelaparan. Cucu saya membutuhkan perawatan, dan terlepas dari itu semua, mereka juga butuh makan makanan sehat. Kedua cucuku bahkan tidak tahu rasa susu itu seperti apa.”

Seperti halnya konflik-konflik lain yang menyapu Timur Tengah hingga Afrika Utara, krisis di Yaman berawal dari gerakan Arab Spring. Pada November 2011 protes menentang kediktatoran Presiden Ali Abdullah Saleh muncul di jalanan ibu kota Sanaa dan kota-kota besar lainnya. Saleh telah memegang tampuk kekuasaan selama kurang lebih dua dekade, dan dirasa cukup oleh orang-orang pro-demokrasi di Yaman.

Baca juga: Tensi Panas Iran-Saudi di Balik Rencana Pembunuhan PM Lebanon

Pada 25 Februari 2012 menjadi hari terakhir bagi Saleh untuk berkantor di istana kepresidenan, dan Abdrabbuh Mansur Hadi naik ke singgasana dengan tanggung jawab berat: menyatukan Yaman yang terpecah dan mendorong negaranya agar lebih demokratis. Namun, dalam catatan Washington Post, beberapa tahun setelahnya Yaman justru jatuh ke kubangan pengangguran, kelangkaan pangan, dan wabah korupsi. Serangan dari Al-Qaeda cabang Yaman meningkat, sementara di Selatan gerakan pemberontak Houti kian menguat.

Pemberontak Houti disokong kalangan Syiah (sebagian juga Sunni). Kelompok bersenjata yang dibekingi Iran yang berseberangan dengan Saudi ini memberontak terhadap Pemerintah Yaman sejak 2004. Mereka berhasil menunggangi Arab Spring untuk menjalin dukungan dari massa dan mampu menduduki Kota Sanaa pada 2014. Pada Januari 2015 mereka juga sukses menguasai kompleks kepresidenan dan memaksa Mansur Hadi kabur ke Kota Aden.

Infografik Yaman Yang Terlupakan

Saudi, yang merasa mewakili dunia Sunni, ketar-ketir melihat manuver Houti. Apalagi Yaman berbatasan langsung dengan Saudi. Raja Salman mengintervensi huru-hara di Yaman pertama kali pada Maret 2015 dengan menggandeng delapan negara mayoritas Sunni lain. Selama dua tahun berikutnya Saudi dan koalisinya meluncurkan serangan udara berbasis rudal yang ekstensif dan mengenai penduduk sipil dari segala usia.

Baca juga: Jutaan Warga Yaman Hadapi Krisis Pangan Saat Ramadan

Dalam riset mandiri Guardian yang dipublikasikan setahun yang lalu, selama Maret 2015 hingga Agustus 2016, ada total 8.600 serangan Saudi dan koalisinya ke Yaman. Sebanyak 3.577 serangan di antaranya menghantam instansi militer, sementara 3.158 serangan berada di area non-militer. Serangan di area non-militer tersebut meluluhlantakkan rumah, sekolah, rumah sakit, pasar, masjid, dan area berkumpulnya warga sipil lainnya.

Menurut catatan PBB, jumlah korban perang Yaman kini mencapai lebih dari 10.000 (hampir 4.000 di antaranya adalah warga sipil) sementara 40.000 lainnya luka-luka. Meski pemerintah berhasil mengamankan Kota Aden, Pemberontak Houti masih berkuasa di wilayah Utara. Kelompok lain yang turut memperkeruh suasana adalah Al-Qaeda dan sempalan ISIS yang menyasar area-area padat penduduk di Yaman sebelah Selatan.

Saudi tak hanya melancarkan serangan militer, tapi memakai taktik blokade barang-barang penting agar tak ada suplai ke Yaman. Alasannya untuk menekan pemberontak Houti, tapi yang terdampak justru meluas ke masyarakat sipil. Bahan pokok langka, masyarakat banyak yang mengandalkan pengganjal perut dan air bersih dari lembaga-lembaga kemanusiaan internasional—yang sayangnya juga kesulitan membawa segala yang dibutuhkan ke Yaman akibat blokade Saudi.

Baca juga: Ada Iran dan Korut di Balik Rudal yang Membidik Mekkah

Selama ini Yaman mengimpor hampir 90 persen makanannya, yang rata-rata dikirim melalui laut. Akibat perang, banyak perusahaan pengiriman yang menghentikan pasokannya. Blokade juga membuat kapal yang datang kerap diterpa delay hingga berhari-hari. Lahan pertanian dan perkebunan di Yaman banyak yang hancur. Orang-orang takut menggarapnya karena terancam serangan udara. Pertanian Yaman selama ini mayoritas hanya untuk ditanami qat, tumbuhan untuk dikunyah kaum adam di kala senggang.

Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB melaporkan bahwa 20,7 juta warga Yaman perlu bantuan kemanusiaan dan setengahnya dalam kondisi sangat amat membutuhkan. Kelangkaan makanan melanda 17 juta atau 60 persen warga Yaman, sementara 7 juta di antaranya sedang berada di ambang bencana kelaparan.

Secara geografis 90 persen wilayah Yaman digolongkan sebagai area tandus dan padang pasir. Air, tanpa perlu konflik pun, biasanya terbatas karena menurut data New Agriculturist Yaman termasuk salah satu negara dengan ketersediaan air per kapita terendah di dunia. Sebanyak 15,7 juta orang Yaman kini menderita krisis air bersih dan sanitasi yang tak layak. Musim kemarau kemarin otomatis menjadi ujian terberat bagi warga Yaman.

Baca juga: Bayi-Bayi yang Hilang dan Nasib Pahit Yahudi di Yaman

Akibat orang-orang dipaksa mengonsumsi air seadanya, wabah kolera meningkat tajam. Merujuk laporan Palang Merah Internasional, per November 2017 ada kurang lebih 900.000 warga Yaman yang terpapar kolera. Angkanya naik dari Juni kemarin yakni 246.000 kasus, di mana 1.500 di antaranya meninggal dunia. Totalnya meningkat menjadi 540.000 kasus pada Agustus, sebanyak 2.000-an di antaranya akhirnya meninggal.

Anak-anak dan perempuan jadi korban terparah. Melalui Associated Press dan dikutip Washington Post, lembaga kemanusiaan internasional Save the Children pekan lalu merilis data bahwa 130 anak-anak Yaman meninggal per harinya. Total yang telah terenggut nyawanya sepanjang 2017 ini mencapai kurang lebih 50.000 anak. Data UNICEF lebih mencengangkan: 1 balita di Yaman meninggal tiap 10 menit akibat penyebab atau penyakit yang sesungguhnya dapat dicegah (preventable causes).

Baca juga: Keterlibatan Jerman di Tengah Krisis dan Konflik Yaman

Pada 2016 tak kalah buruknya. 4,5 juta anak-anak dan perempuan hamil atau yang sedang menyusui dilaporkan mengalami kekurangan gizi. Jumlahnya naik tajam, yakni 148 persen sejak akhir 2014. Ada 1,8 juta di antaranya menderita gizi buruk sedang (Moderate Acute Malnutrition). Sementara itu yang menderita gizi buruk akut (Severe Acute Aalnutrition) mencapai 463.000 anak. Angkanya meningkat lebih drastis lagi, yakni 200 persen sejak 2014.

Setelah protes internasional mengemuka, sebagaimana kabar Guardian, Saudi membuka blokadenya di sejumlah pelabuhan di Yaman. Pemerintah Saudi mengatakan akan mengizinkan bantuan internasional untuk memasuki tiga kota dekat pantai yang dikuasai pemerintah. Namun, lembaga pemberi bantuan dan PBB menyatakan bahwa kebijakan tersebut tak cukup untuk menanggulangi bencana kemanusiaan di Yaman—dengan kata lain, justru akan menyeret lebih banyak korban.

Baca juga artikel terkait KONFLIK YAMAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf