tirto.id - Mohamed al-Azawi dan keluarganya sudah lama rindu dengan Ramadan yang penuh kegembiraan. Ia dan istrinya Hayfaa adalah warga Baghdad, Irak. Kepada Aljazeera mereka menceritakan bagaimana meriahnya perayaan Ramadan di Irak pada masa lalu. Saat masih kecil, mereka akan berkumpul di rumah dan bersama-sama menyantap hidangan seperti kubbab, threed (hidangan nasi spesial) dan mahalabiya (puding).
Kebiasaan di kala Ramadan yang membuat mereka makin rindu adalah mengambil stoples selai kosong, menaruh lilin di dalamnya dan membawanya berkeliling seperti lentera. Anak-anak akan mengetuk pintu rumah penduduk dan meminta permen dan manisan.
"Kami akan menyiapkan pakaian Idul Fitri selama bulan Ramadan dan meletakkannya untuk dipakai malam sebelum Idul Fitri," kata Mohamed.
"Semua anak-anak pergi ke karnaval yang dilengkapi wahana dan permainan, dan tentu saja kami mendapatkan eidiyah kami [uang yang diberikan kepada anak-anak selama Idul Fitri]."
Namun sukacita itu perlahan-lahan mulai hilang, semua mulai berubah terutama saat invasi Amerika Serikat di negara tersebut semenjak 2003, kata Hayfaa. Ada beberapa tradisi saat lebaran yang kini mulai ditinggalkan karena invasi dan perang. Saat perang, keluarga-keluarga di Irak tak dapat memasak masakan tradisional, pemerintah juga mulai mengurangi jatah kebutuhan pokok masyarakat sehingga tradisi makan bersama dalam lingkup keluarga besar pun mulai jarang dilakukan.
Tradisi lain yang mulai hilang karena perang adalah kebiasaan pergi berbuka di rumah kerabat dan pergi ke masjid. Hal itu mulai jarang dilakukan disebabkan karena ancaman bom mobil yang dapat merenggut nyawa kapan dan di mana saja bisa terjadi. Bom mobil telah membuat penduduk cemas dan takut saat berada di luar rumah dan melewati tempat-tempat umum.
“Setelah invasi AS, Anda tak dapat benar-benar merasakan kebahagiaan Ramadan ketika anggota keluarga Anda ada yang hilang dan kebanyakan keluarga tak mampu mengundang orang lain untuk berbuka puasa saat pencari nafkah (suami) mereka telah tiada,” kata Mohamed.
Selain di Irak, penduduk Suriah juga tak dapat merayakan Ramadan seperti biasanya yang sudah menjadi tradisi selama berabad-abad. Dahulu, Damaskus adalah kota yang tak “tidur” selama bulan Ramadan berlangsung. Berbagai ritual dan tradisi Ramadan dilakukan warga Suriah tanpa henti, tapi kini semua tradisi itu tinggal cerita.
Perang yang terjadi sejak 2011 merenggut sukacita penduduk Suriah. Perang berdampak besar pada setiap akses masyarakat. Keamanan dan kondisi ekonomi yang buruk karena perang memainkan penting dalam mengubah kehidupan sosial warga Suriah.
Damaskus dahulunya pernah menjadi salah satu kota teraman di Suriah. Namun, kini Damaskus sudah tak aman dan tak bersahabat. Hampir tak ada kendaraan yang ditemui di jalanan Damaskus di atas pukul 10 malam selama bulan Ramadan. Orang-orang lebih memilih untuk berdiam diri di rumah karena takut terkena peluru tajam.
Penduduk Damaskus tak lagi mendengar “meriam” Idul Fitri yang biasanya berbunyi tiga kali sehari selama bulan Ramadan. Kini berganti dengan suara tembakan dan ledakan yang hampir terjadi setiap hari di wilayah tersebut. Keluarga yang berkumpul di meja makan untuk menyantap buka puasa atau sahur semakin langka. Penduduk Damaskus juga sudah tak begitu tertarik dengan permen Ramadan.
Rumah penduduk Damaskus yang biasanya penuh dengan dekorasi Ramadan kini sudah jarang terlihat. Tak ada juga lentera yang digantung untuk menerangi jalan. Semua itu adalah tradisi Ramadan di Suriah yang kini mulai dilupakan, karena konflik yang berkecamuk.
Perang juga menghancurkan sukacita penduduk Yaman saat Ramadan. Awalnya, penduduk Yaman memiliki tradisi menghiasi rumah mereka, menyalakan lampu-lampu gantung dan membeli berbagai jenis makanan saat Ramadan tiba. Anak-anak dengan penuh sukacita keluar dari rumah dan pergi menyaksikan atraksi kembang api.
Ini adalah tahun ketiga penduduk Yaman merayakan Ramadan dalam kondisi perang. Tak ada perayaan meriah menyambut bulan Ramadan karena kelaparan dan penyakit kolera menyerang penduduk.
Laporan dari sejumlah lembaga pemberi bantuan di Yaman mengungkapkan bahwa sekitar 17 juta warga Yaman saat ini tengah menghadapi krisis pangan. Imbasnya, penduduk Yaman tak dapat berbuka puasa dengan makanan spesial selama Ramadan.
Laporan UNICEF pada 2016 menyebutkan hampir 2,2 juta anak-anak di Yaman mengalami malnutrisi dan memerlukan penanganan cepat. Sekitar 462.000 anak-anak di sana menderita malnutrisi akut. Jumlah itu naik 200 persen dibanding 2014. Sementara 1,7 juta anak-anak lainnya mengalami malnutrisi level sedang.
UNICEF mencatat bahwa wabah malnutrisi di kalangan anak-anak Yaman saat ini adalah yang terparah terjadi di Kota Hodeida, Sa`ada, Taizz, Hajjah, dan Lahej. Sa`ada misalnya, kini tercatat sebagai kawasan dengan tingkat kasus anak-anak bertubuh kerdil terparah di dunia. Di sana, sebanyak 8 dari 10 anak-anak mengalami malnutrisi dan ini tak lepas dari perang yang terjadi di negara tersebut.
Perang memang kejam, selain merenggut nyawa manusia, juga menghapus sendi-sendi sosial masyarakat, tak kecuali sukacita saat Ramadan yang memudar karena konflik.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Suhendra