tirto.id - Dorit Gaon, seorang Yahudi Yaman, menaiki bukit di Har Hamenucho, kompleks pemakaman utama di Yerusalem, pada Mei lalu. Berkas-berkas dokumen menuntun Gaon datang ke pemakaman tersebut yang diyakini menjadi peristirahatan terakhir saudara laki-lakinya yang meninggal pada 1953 silam.
Saudaranya bernama Yisrael Karwa. Setelah mencari-cari di tiap nisan dan menanyakan kepada seorang pekerja di pemakaman, ia tak kunjung menemukan pusara saudara laki-lakinya tersebut. Berbagai tanggal yang tercantum berasal dari periode yang sama sekali berbeda.
Alangkah terkejutnya saat Gaon mendengar keterangan salah seorang pekerja makam. Rupanya yang ia lihat adalah deretan kuburan baru yang berada di atas kuburan lama. Pada 1980an, kata sang penjaga makam, pemakaman tersebut masih berisi sekitar 400 kuburan anak-anak, termasuk saudara laki-lakinya, bayi lainnya, juga para janin yang gagal menjadi jabang bayi.
“Saya syok” kata Gaon kepada Haaretz.
Yisral adalah anak tertua dari pasangan Yehudit dan Yehuda Karwa yang bermigrasi ke Israel dari Yaman. Yehudit, ibunya, melahirkan Yisrael saat berusia 17 tahun. Ketika Yisrael berusia satu setengah tahun, sang ibu membawanya ke sebuah klinik bayi di desa Eshtaol karena sang anak tak sehat. Dari klinik ini, bayi lalu dikirim lagi ke Shaare Zedek Medical Centre di Yerusalem.
“Bayi saya tidak cacat atau sakit kronis,” kata Yehudit Gaon dalam sebuah surat pernyataan tertulis yang diajukan di pengadilan. “Dia terlihat tidak enak badan dan saya meminta obat agar bisa merawatnya di rumah, tapi dokter bersikeras agar saya meninggalkannya di rumah sakit.”
Sejak itu, Yisrael Karwa tak diketahui rimbanya. Kisah ini hanyalah satu dari banyaknya kasus serupa yang menimpa anak-anak Yahudi Yaman sezaman dengan Yisrael. Mereka hilang setelah orang tuanya bermigrasi ke negara Israel yang baru berdiri.
Kecemasan Yahudi-Eropa?
Di tahun-tahun awal pasca kelahiran negara Israel, banyak orang tua yang berasal dari wilayah Arab, terutama Yaman, banyak yang kehilangan bayi. Mereka tidak diberitahu nasib bayi-bayi itu secara jelas dan transparan. Biasanya hanya diberitahu bahwa anak mereka telah meninggal dunia. Namun mereka tidak menerima sertifikat kematian dan bahkan tidak diberi kesempatan melihat jenazah bayinya -- umpama para bayi itu memang meninggal.
Peristiwa eksodusnya ribuan Yahudi Yaman ke Israel erat kaitannya dengan “Operasi Karpet Ajaib”. Istilah ini diberikan saat 430 jadwal penerbangan dari Yaman ke Israel terjadi, menggunakan pesawat asal Inggris dan Amerika.
Antara tahun 1948 dan 1950, sebagian besar dari 48.818 orang Yahudi di Yaman meninggalkan negara yang bertetangga dengan Arab Saudi itu. Haaretz menyebut, hampir 1.000 orang-orang Yahudi di Yaman dan wilayah Aden meninggal dalam operasi tersebut. Termasuk ribuan anak-anak yang hilang.
Yael Tzadok, jurnalis Israel yang telah menghabiskan 20 tahun untuk menyelidiki kasus anak-anak Yahudi Yaman yang hilang, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa orang Yahudi menculik orang Yahudi lainnya dalam situasi ketika para Yahudi di seluruh penjuru dunia sedang berbondong-bondong masuk ke Israel. Tzadok juga menemukan bukti bahwa sebagian besar anak yang hilang pada periode itu berasal dari keluarga Mizrahi. Mereka diambil staf rumah sakit dan dijual atau diberikan kepada orang Ashkenazi atau keluarga Yahudi lainnya yang masih di Eropa.
Sebutan Yahudi Mizrahi merujuk orang Yahudi yang berasal dan memiliki akar sejarah panjang di negara-negara Arab. Sedangkan Ashkenazi adalah Yahudi yang telah lama tinggal di daratan tanah Eropa. Sedangkan Sefardim adalah Yahudi yang lama dan memiliki catatan sejarah panjang menetap di Jazirah Iberia, meliputi Portugal Spanyol Gibraltar dan sedikit dari Prancis.
Puluhan tahun keluarga Yahudi Yaman menanggung luka dan terus mencari keadilan atas peristiwa gelap dalam sejarah awal negara Yahudi tersebut. Dilansir dari Al Jazeera, pada akhir 2016 lalu, sekitar 200.000 dokumen tentang hilangnya ribuan bayi secara misterius di tahun-tahun awal negara Israel dipublikasikan untuk pertama kalinya.
Secara resmi, negara Israel menyimpulkan bahwa sebagian besar bayi meninggal ketika dalam masa kekacauan kelahiran negara baru Israel pada 1948 itu. Bayi-bayi ini menjadi korban pertama dari berbagai penyakit hingga kekurangan gizi akibat kondisi buruk di penampungan.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu sendiri mengatakan pembukaan ribuan dokumen tesebut menandai era baru trasnparansi informasi di masa lampau yang sempat dirahasiakan. Ia menyebut dibukanya ratusan ribu dokumen itu sebagai upaya "meluruskan sejarah tentang ketidakadilan, diskriminasi, atau sesuatu yang ditutup-tutupi". Kendati demikian, Netanyahu tidak secara terbuka mengakui soal penculikan itu.
Sejak diajak -- atau dikondisikan untuk-- pindah ke Israel pada periode setelah 1948, nasib Yahudi Yaman tidak seketika merasakan kesetaraan. Laporan BBC menjelaskan bagaimana keluarga Yahudi asal Yaman atau Arab di Israel masih dipandang sebagai warga kelas dua, layaknya imigran. Secara fisik, mereka dianggap berkulit lebih gelap dibanding para Yahudi asal Eropa.
Kenyataannya bahwa tokoh-tokoh penting berdirinya negara Israel berasal dari Yahudi Ashkenazi, atau Yahudi-Eropa, mempertajam kecurigaan. Salah satu rumor yang berkembang soal hilangnya bayi-bayi itu adalah untuk menjaga dominasi Ashkenazi.
Akar orang Yahudi di Yaman
Keberadaan orang Yahudi di Yaman sudah berlangsung lama, setidaknya sejak awal abad ke-3 Masehi bila merujuk buku The Jews of Yemen: Studies in Their History and Culture karya Joseph Tobi. Bukti yang diajukan Tobi adalah ditemukannya makam Yahudi dari Kerajaan Himyar yang pernah berdiri di Yaman.
Seiring waktu, jumlah orang Yahudi di bagian selatan Arab, terutamanya Yaman, juga semakin banyak. Tanah yang subur, memungkinkan berbagai komoditas tumbuh, dan memungkinkan kawasan itu terlibat dalam jaringan perdagangan dengan berbagai peradaban. Para Yahudi banyak yang terlibat aktif dalam perniagaan itu.
Catatan Joseph Adler, The Jewish Kingdom of Himyar (Yemen): Its Rise and Fall, turut menyebut bahwa keberadaan orang Yahudi di Yaman diterima dan hidup berdampingan dengan suku Yaman lainnya. Meski kerajaan Himyar akhirnya runtuh, namun komunitas Yahudi di Yaman masih tetap eksis dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang Yaman hingga era modern.
Situasi menjadi lain setelah Israel berdiri pada abad-20, terutama setelah "Perang 6 Hari" atau perang antara Arab-Israel. Menguatnya Israel direspons negara-negara Arab dengan bersikap keras kepada kelompok Yahudi di wilayahnya masing-masing, termasuk di Yaman.
Salah yang paling diingat adalah peristiwa Pengusiran Mawza yang terjadi antara 1679 sampai 1680. Hal itu dipicu keputusan Raja Imam al-Mahdi Ahmad yang mengirim para Yahudi ke daerah kering dan tandus di Mawza yang masih bagian dari wilayah Yaman. Alasannya: orang Yahudi telah berpihak pada pemberontakan Utsmaniyah, Turki.
Konflik Yaman yang berujung pada Perang Saudara, sejak 2015 sampai detik ini, turut menyeret kehidupan komunitas Yahudi di Yaman ke dalam situasi yang semakin sulit. Selain secara jumlah mereka sudah sangat menurun, kondisi riil kehidupannya pun benar-bener terjepit.
Laporan The New York Times pada Februari 2015 lalu terhadap keluarga Yahudi yang tersisa di Yamin menyebutkan mereka tinggal di Kota Raida yang relatif lebih aman dari kelompok bersenjata Houthi. Di sana tersisa sekitar 55 orang Yahudi. Sementara di Sana’a, ibukota Yaman, sejumlah kecil komunitas Yahudi hidup dalam status tahanan rumah.
Sebagai perbandingan, data dari Jewish Virtual Library soal populasi Yahudi di Yaman pada 1948 mencatat 55.000 jiwa. Angka itu berkurang secara perlahan namun pasti. Migrasi orang Yahudi Yaman ke Israel maupun negara lain terus terjadi secara bertahap meski jumlahnya tak semasif pada Operasi Karpet Ajaib di awal berdirinya Israel.
Pada 2015 diperkirakan hanya tersisa 100 orang Yahudi saja yang mendiami Yaman. Terakhir, muncul informasi 19 orang Yahudi Yaman dievakuasi Israel dalam sebuah operasi rahasia pada 2016 lalu. Kini diperkirakan tinggal tinggal 50 orang Yahudi saja di Yaman, menurut laporan Middle East Monitor.
Penulis: Tony Firman
Editor: Zen RS