Menuju konten utama

Membaca Etgar Keret, Melihat Orang Israel secara Manusiawi

Etgar Keret dikenal piawai meramu potret kenyataan yang brutal, kebaikan hati dan penyimpangan-penyimpangan manusia, humor gelap, serta unsur-unsur fantastik, dan membungkus hal-hal tersebut dalam kapsul bahasa sehari-hari.

Membaca Etgar Keret, Melihat Orang Israel secara Manusiawi
Etgar Keret Etgar Keret [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Sebuah keluarga tiga orang, ibu, ayah dan anak laki-laki berusia tujuh tahun, sedang berkendara ke utara Tel Aviv, Israel, ketika sirene penanda serangan udara memekik. Mobil ditepikan dan mereka buru-buru keluar. Si ibu menelungkup di tanah, sedangkan si anak menggenggam tangan ayahnya dan berkata, "Ayah, aku agak gugup."

"Bagaimana kalau kita mencoba permainan roti apit pastrami?" balas si ayah. "Ibumu dan aku menjadi roti, kau menjadi sepotong pastrami, dan kita harus menyusun roti apit pastrami secepat mungkin. Ayo, mula-mula, kau harus berbaring di atas ibumu."

Si anak tengkurap di atas punggung ibunya dan memeluk perempuan itu. Si ayah menelungkup di atas anaknya, dengan tangan yang menempel pada tanah untuk menahan bobotnya.

"Rasanya menyenangkan," kata si anak sambil tersenyum.

"Menjadi pastrami memang yang terbaik," balas si ibu dari bawah.

"Pastrami!" ujar ketiganya bergantian, dalam suara yang gemetar.

Si anak melihat sekawanan semut menaiki badan ibunya dan, dalam suara yang tetap gemetar, ia bersorak: “Pastrami yang disemuti!” Ayah dan ibunya turut serta. Kemudian mereka mendengar bunyi rudal yang meledak. Keras, tapi jauh. Hari itu mereka tak tergores sedikit pun, tapi di tempat rudal itu mendarat, mungkin ada roti apit pastrami lain, keluarga lain, yang hancur-lebur.

Si ayah adalah Etgar Keret, seorang penulis, dan ia mengisahkan kejadian itu dalam buku terbarunya, Seven Good Years (2015). Beberapa bulan lalu, terjemahan bahasa Indonesia memoar tersebut diterbitkan oleh Bentang Pustaka.

Anda tahu, tidak ada waktu dan tempat yang aman di Israel dan Palestina. Keriaan Bar Mitzvah atau perjamuan buka-puasa Ramadan bisa seketika berubah jadi neraka karena kedatangan pembom bunuh diri atau tentara Israel Defense Force (IDF). Doa Sabbath atau salat Jumat berjamaah yang hikmat selalu mungkin dikoyak-koyak dentum roket.

Bahaya dan duka dan pelbagai keganjilan khas kawasan yang dilanda perang senantiasa membayangi kehidupan Keret, dan itulah sumber terbesar tulisan-tulisannya, baik nonfiksi seperti yang terhimpun dalam Seven Good Years maupun fiksi seperti dalam buku-buku kumpulan cerita pendeknya, mulai dari Pipelines (1992) hingga Suddenly, a Knock on the Door (2012).

Bayangkan sebuah diagram Venn. Lingkaran A berisi buku-buku yang perlu dibaca karena informasi atau gagasan yang dikandungnya dan lingkaran B ditempati karya-karya yang penting karena mutu penulisannya. Kedua lingkaran itu beririsan dan menciptakan ruang C yang kecil; di ruang itulah karya-karya Etgar Keret sepatutnya ditempatkan.

Pada 2006, novelis Gary Shteyngart menyebut The Nimrod Flipout “karya sastra terbaik yang berasal dari Israel dalam lima ribu tahun terakhir, lebih baik daripada Kitab Imamat (Leviticus) dan nyaris sama lucunya.”

Sebagaimana Kurt Vonnegut yang menginspirasinya, Keret dikenal piawai meramu potret kenyataan yang brutal, kebaikan hati dan penyimpangan-penyimpangan manusia, humor gelap, serta unsur-unsur fantastik, dan membungkus hal-hal tersebut dalam kapsul bahasa sehari-hari.

Suddenly, a Knock on the Door, misalnya, menampilkan kisah perempuan yang membuka risleting di tubuh pacarnya dan menemukan seorang pria Jerman Kristen pemabuk yang kelakuannya kurang beradab dan burungnya belum disunat; kisah penulis yang ditodong dan dipaksa bercerita oleh teroris; kisah seekor ikan yang berbicara dan mengabulkan permintaan; dan lain-lain yang tak kalah ajaib.

Di dalam karya-karya yang sering dilabeli “sureal” dan “absurd” oleh para pembacanya itu, kenyataan dan khayalan tidak dipisahkan oleh tembok, melainkan jembatan yang memungkinkan bagian-bagian dari kedua sisi itu menyeberang dan bertukar tempat.

“Pengalaman subjektif kita bisa saja sureal sekaligus jujur sebagaimana ia seringkali terkesan realistik tetapi palsu. Aku menulis cerita-cerita yang subjektif, dan ketika menuliskannya, yang penting bagiku adalah apakah mereka mewakili hal-hal yang kurasakan dan kupikirkan, bukan apakah mereka benar secara ilmiah,” ujar Keret dalam wawancaranya dengan Rebecca Sacks dari Paris Review pada 2012.

Dan Sacks, dalam pembukaan wawancara tersebut, menyatakan bahwa inti karya-karya Keret adalah welas asih yang mendalam.

Rakyat Israel, Anda tahu, muskil diringkus ke dalam sebuah kotak berlabel “kaum yang senang menciptakan kerusakan di muka Bumi” atau “golongan yang hendak menjerumuskanmu ke lubang biawak.” Mereka beragam sebagaimana rakyat Indonesia atau Botswana atau Kepulauan Solomon, atau umat Islam, beragam.

Di luar kaum beringas gila perang yang kini menguasai pemerintahan, di negeri itu ada pula kelompok-kelompok progresif yang berpihak pada kemanusiaan. Etgar Keret ialah bagian dari golongan kedua. Selain karya-karya fiksi, ia juga menulis banyak esai yang mengkritik pemerintah Israel.

Sejumlah teman Keret khawatir dan memperingatkan dia agar bersuara tak kelewat keras. “Kau punya anak kecil,” kata salah seorang dari mereka. “Kadang, lebih baik berlaku pintar ketimbang benar.”

“Aku tidak pernah merasa benar,” tulis Keret. “Dan aku juga tak bisa kelewat pintar, tapi aku bersedia bertarung demi hakku menyampaikan pendapat dengan keganasan yang menyamai keganasan IDF di Gaza. Pertempuran ini bukan soal pendapat pribadiku, yang bisa saja keliru atau menyedihkan, melainkan untuk tanah air yang kudiami dan kucintai.”

Keret juga aktif menjalin persahabatan dengan penulis-penulis Palestina. Izzat Ghazzawi menerjemahkan (ke dalam bahasa Arab) dan menerbitkan kumpulan cerita pendek Keret, The Bus Driver Who Wanted to Be God, di Ramallah, Palestina, pada 2003.

Bersama Samir El-Youssef, penulis Palestina yang ia jumpai di Zurich, Swiss, ia mengerjakan kumpulan cerita Gaza Blues.

“Dengan buku itu, orang-orang Yahudi akan membaca karyaku dan orang-orang Arab yang tak bakal mau mengambil buku pengarang Israel mungkin akan membaca cerita-ceritamu. Kita bisa mencoba memanusiakan kedua sisi dalam situasi yang amat mudah untuk menjadikannya tidak manusiawi,” ujar El-Youssef kepada Keret.

Etgar Keret ialah satu-satunya penulis Israel yang bukunya beredar di Palestina. Para pembacanya di negeri itu, meski mungkin tak banyak, bisa memahami sisi lain dari konflik panjang yang menggilas kehidupan mereka. Sebaliknya, orang-orang Israel dapat mendengar suara Palestina lewat El-Youssef.

Dialog kultural semacam itu tentu penting untuk mempromosikan perdamaian. Namun, Anda tahu, tak semua pihak menyambutnya secara antusias. Pemerintah Israel dan Hamas, misalnya, boleh jadi akan merasa rugi bila kebencian yang mereka semai dan rawat di tanah masing-masing terbakar habis karena rakyat kedua belah pihak telah saling memahami.

Baca juga artikel terkait ETGAR KERET atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Humaniora
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti