Menuju konten utama
Mozaik

Mufti Yerusalem, Hitler, dan Cita-cita Palestina Merdeka

Meski menolak Zionisme, Amin al-Husseini bukanlah sosok yang memengaruhi, apalagi menggagas kebijakan Hitler tentang "Solusi Akhir Masalah Yahudi di Eropa".

Mufti Yerusalem, Hitler, dan Cita-cita Palestina Merdeka
Header Mozaik Amin al-Husseini. tirto.id/Fuad

tirto.id - Amin al-Husseini adalah Mufti Agung Yerusalem yang menjabat pada tahun-tahun genting menjelang migrasi ratusan ribu kaum Yahudi Eropa ke Palestina. Ia sumber inspirasi rakyat Palestina dalam melawan agresi Israel sekaligus objek kecurigaan publik Barat karena hubungannya dengan pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler.

Dalam World Zionist Congress di Yerusalem pada 2015 lalu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengaitkan Mufti Agung Yerusalem itu dengan Holocaust dan menyebutnya sebagai tokoh di balik keputusan Hitler membantai enam juta umat Yahudi.

Al-Nadi al-Arabi, Benih Perlawanan

Sayyid Muhammad Amin bin Taher al-Husseini lahir di Yerusalem pada 1896 di tengah keluarga bangsawan--setahun menjelang Zionisme, gerakan nasionalis Yahudi yang ingin mendirikan Tanah Air di Palestina, digagas. Secara turun-temurun keluarga besarnya memegang jabatan mufti di Yerusalem.

Seturut Yehuda Taggar dalam "The Mufti of Jerusalem and Palestine Arab Politics 1930-1937" (PDF, 1973:10), sejak abad ke-13 keluarga al-Husseini sudah tercatat dalam kronik Yerusalem, bukan sebagai mufti melainkan penyewa tanah di Sharafat, sebuah desa yang berjarak enam kilometer dari Yerusalem.

Awalnya jabatan Mufti Yerusalem dipegang klan Jarallah. Pada 1890 ketika mufti terakhir dari keluarga itu mangkat dan kerabatnya tidak ada yang memenuhi kualifikasi, kakek Amin al-Husseini yang bernama Mustafa al-Husseini diminta untuk menggantikannya.

Setamat sekolah dasar di tanah kelahirannya, ia pergi ke Kairo dan melanjutkan pendidikan di Dar ad-Da’wah wa al-Irsyad milik Rashid Rida, tokoh muslim reformis asal Lebanon sekaligus pendukung Pan-Islamisme. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 1914, ia hengkang dari Mesir dan masuk sekolah militer di Istanbul.

Tak lama setelah Palestina jatuh ke tangan Inggris pada akhir 1917, ia mendirikan al-Nadi al-Arabi, organisasi yang mengadvokasi kemerdekaan negara-negara Arab dan berupaya membendung propaganda Zionisme. Kala itu, gerakan yang didirikan Theodor Herzl tengah giat mengampanyekan migrasi diaspora Yahudi ke Palestina.

Menurut Amin al-Husseini, Zionisme adalah ancaman bagi bangsa Arab dan umat Islam, sebab Israel, negara yang dicita-citakan gerakan tersebut, akan membuldoser Masjid al-Aqsa hingga rata dengan tanah. Meski begitu, al-Nadi al-Arabi tidak terlalu radikal dan bahkan lebih pro-Inggris dibanding organisasi lain, misalnya al-Muntada al-Adabi.

Pada peringatan Paskah yang bersamaan dengan Hari Nabi Musa tahun 1920, kerusuhan anti-Yahudi meletus di Yerusalem. Sumber-sumber Yahudi menyebut sejumlah organisasi khususnya al-Nadi al-Arabi berada di baliknya. Amin al-Husseini pun dituding mendalangi peristiwa itu. Ia diadili secara in absentia dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.

Namun, eksekusi terhadapnya tidak pernah dilakukan. Komisioner Tinggi untuk Palestina Sir Herbert Samuel memberikan amnesti dengan alasan Amin al-Husseini mungkin bermanfaat bagi masa depan Inggris di Palestina. Setahun kemudian, ia bahkan dilantik menjadi Mufti Agung Yerusalem. Usianya saat itu 26 tahun.

Berubah Haluan dan Menjadi Pelarian

Selain menjabat Mufti Agung Yerusalem, Amin al-Husseini juga Presiden Supreme Muslim Council (SMC) dan Kepala Komisi Wakaf. Melalui tiga jabatan itu, ia menggalang dukungan negara-negara Arab dan umat muslim sedunia agar memberi perhatian lebih pada Palestina.

Pada 1923, delegasi SMC bertandang ke Hijaz (Makkah dan Madinah) dan India untuk mengumpulkan donasi bagi perbaikan Masjid al-Aqsha dan Qubbah al-Shakhrah (Dome of Rock) yang porak-poranda akibat Perang Dunia I.

Setahun kemudian mereka berkunjung ke Kuwait, Bahrain, dan Iraq, di samping ke Hijaz untuk kedua kalinya. Dari kedua kunjungan itu para delegasi berhasil mengumpulkan sumbangan hingga 85.000 Pound.

Amin al-Husseini makin menyedot perhatian dunia setelah terlibat dalam Kongres Khalifah di Mesir dan Kongres Islam di Makkah pada 1926. Demikian pula saat ia memediasi King Hussein dan Ibnu Saud, membuka jalan bagi rekonsiliasi antara dua kelompok diaspora politik Suriah di Mesir pada 1926-1927, dan menyelenggarakan Konferensi Islam pada 1931 di mana ia terpilih sebagai presiden.

Sejak 1930, saat kiprahnya di dunia internasional makin diakui, Inggris menyadari pentingnya menekan pengaruh Amin al-Husseini. Terlebih, sebagaimana disampaikan Mr. E. Mills, Sekretaris Utama di Palestina, Mufti Agung Yerusalem itu kerap menjadi "biang masalah" isu-isu seputar relasi kelompok Yahudi dan Arab.

Ketika Inggris enggan mengevaluasi dukungannya terhadap pendirian tanah air bangsa Yahudi sebagai konsekuensi Deklarasi Balfour, Amin al-Husseini makin kritis dan berani. Puncaknya, setelah Inggris mengizinkan 400 ribu imigran Yahudi membanjiri Palestina pada 1936, Amin al-Husseini dan rakyat Palestina melakukan pemberontakan.

Pemberontakan yang dikenal dengan al-Tsawrah al-Kubra atau Pemberontakan Besar itu berlangsung hingga 1939. Selain kemerdekaan, para pemberontak juga menuntut agar Inggris menghentikan migrasi umat Yahudi ke Palestina dan mengakhiri dukungan terhadap Zionisme.

Akibat pemberontakan itu, Amin al-Husseini yang pernah diyakini akan membawa manfaat bagi masa depan Inggris di Palestina, berbalik menjadi buruan mereka. Ketika keadaan makin sulit, ia mengungsi ke Lebanon, Iraq, dan Iran, sebelum diundang oleh Kementerian Luar Negeri Jerman untuk melakukan pertemuan resmi dengan Adolf Hitler.

Dalam perjalanannya ke Berlin, Amin al-Husseini singgah selama sebulan di Roma dan bertemu Perdana Menteri Italia Benito Mussolini. Il Duce memberikan dukungan kepada Mufti Agung Yerusalem itu dan mengatakan bahwa jika orang-orang Yahudi menginginkan sebuah negara maka mereka harus mendirikannya di Amerika.

Kolaborator Nazi, Penggagas Holocaust?

Di satu sisi, naiknya Adolf Hitler sebagai Kanselir Jerman pada 1933 adalah mimpi buruk bagi orang-orang Yahudi. Di sisi lain, kenyataan tersebut membuat cita-cita kaum Zionis untuk memulangkan diaspora Yahudi ke Palestina dan propaganda mereka tentang pendirian tanah air bangsa Yahudi makin relevan.

Tak sampai dua bulan sejak pelantikannya, Hitler meresmikan kamp konsentrasi untuk warga Yahudi di Dachau, sekira 15 kilometer dari Munich. Ia juga memboikot bisnis mereka, melarang mereka menduduki jabatan sipil dan militer, mencabut kewarganegaraan, mengeluarkan anak-anak mereka dari sekolah, dan mengirimnya ke kamp konsentrasi.

Ketika Hitler dan Amin al-Husseini bertemu pada 28 November 1941 di Berlin, Pemerintah Jerman sudah menjalankan kebijakan Anti-Semit selama hampir satu dekade. Sebab itu, meski penolakannya terhadap Zionisme tidak berubah, ia bukanlah sosok yang memengaruhi, apalagi menggagas kebijakan Hitler tentang "Solusi Akhir Masalah Yahudi di Eropa".

Lain itu, sebagaimana ditulis Jeffrey Herf dalam "Haj Amin al-Husseini, the Nazis and the Holocaust: The Origins, Nature, and Aftereffects of Collaboration” (2016:8), Amin al-Husseini hanyalah pencari suaka. Ia tidak memiliki kapasitas untuk ikut campur urusan dalam dan luar negeri Jerman. Diizinkan tinggal saja cukup baginya.

Infografik Mozaik Amin al-Husseini

Infografik Mozaik Amin al-Husseini. tirto.id/Fuad

Dalam pertemuan tersebut Amin al-Husseini menyampaikan bahwa Hitler dan dirinya memiliki musuh bersama, yakni Inggris, Yahudi, dan Komunis. Karena itu, ia meminta Hitler untuk secara terbuka menyatakan sikapnya yang kontra terhadap Zionisme dan pendirian tanah air bangsa Yahudi di Palestina.

Hitler menjawab permintaan Mufti Agung Yerusalem itu bahwa Jerman tidak akan berkompromi dalam perang melawan kaum Yahudi, termasuk terhadap pendirian tanah air mereka di Palestina. Saat itu, kata Hitler, Jerman sedang dalam perjuangan hidup dan mati melawan "dua benteng kekuatan Yahudi", yakni Inggris dan Soviet Rusia.

Amin al-Husseini menyatakan dirinya berniat memobilisasi bangsa Arab, baik yang berada di Palestina maupun negara-negara lain di Timur Tengah, untuk memberontak terhadap Inggris. Namun, Hitler menyarankan untuk menyebarkan propaganda Anti-Yahudi di negara-negara Arab yang tengah dikuasai Inggris.

Ketika Jerman kalah dalam Perang Dunia II, Amin al-Husseini sempat mengajukan suaka kepada pemerintah Switzerland. Setelah permintaannya ditolak, ia dibawa ke Prancis dan diperlakukan sebagai tahanan politik. Pada 1947 ia berhasil terbang ke Mesir setelah pemerintah negeri itu setuju untuk memberinya suaka.

Dari luar negeri, Amin al-Husseini terus memperjuangkan negaranya. Namun, pasca perang antara Israel dan negara-negara Arab yakni Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir, Irak, dan Arab Saudi pada 1948 yang berujung pada kemenangan di pihak Israel, namanya perlahan redup.

Pada 4 Juli 1974, Amin al-Husseini mengembuskan napas terakhirnya di Beirut. Permintaannya untuk dikuburkan di kompleks Masjid al-Aqsa tidak dapat dilaksanakan sebab tidak mendapat persetujuan dari Pemerintah Israel.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Firdaus Agung

tirto.id - Politik
Kontributor: Firdaus Agung
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi