tirto.id - Dua bocah laki-laki dan perempuan masing-masing digendong oleh ayah mereka dalam foto jepretan Nuccio Di Nuzzo di Bandara Internasional Chicago O'Hare. Mereka terlihat membawa poster. Laki-laki yang memanggul bocah perempuan berjilbab memegang poster “empathy,” dan si bocah membawa karton "love love.” Sedangkan ayah yang satunya lagi dengan bocah berkipah menenteng poster “We’ve seen this before never again” dan "Hate has no home here.”
Mereka adalah bagian dari gelombang protes masyarakat AS terhadap kebijakan Donald Trump yang melarang perjalanan warga dari beberapa negara berpenduduk muslim ke Amerika Serikat. Diwartakan CNN, sosok mereka diketahui bernama Yildirim, dan anak perempuan berusia 7 tahun yang digendongnya adalah Meryem. Si bocah laki-laki berusia9 tahun bernama Adin, dan ayahnya bernama Jordan Bendat-Appell.
Yildirim mengungkapkan bahwa ia juga mengobrol tentang kesamaan makanan halal dengan Jordan Bendat-Appell, ayah Adin yang diketahui sebagai seorang Rabbi Yahudi.
Yildirim tinggal di Chicago. Ia berasal dari Turki dan telah tinggal di Amerika Serikat sejak 2002. Dia mengajukan permohonan kewarganegaraan tahun lalu ketika Trump menjadi kandidat presiden dengan setumpuk tawaran kebijakan yang diskriminatif. Rabbi Bendat-Appell yang juga tinggal di daerah Chicago merasa dirinya tak boleh tinggal diam atas diskriminasi dan penindasan ini.
“Kami merasa bahwa orang-orang Yahudi memiliki kewajiban berdiri bersama yang tertindas. Sejarah penganiayaan yang kami alami telah mengajarkan bahwa kita tidak harus diam dalam menghadapi ketidakadilan,” tuturnya.
Dua keluarga yang fotonya menjadi viral di seluruh dunia ini rencananya akan bertemu kembali untuk makan malam Shabbat bersama.
Interaksi sosial Yahudi dan Islam di Amerika Serikat memang sangat mungkin terjadi, mengingat banyak orang Yahudi dan Islam memiliki sejarah kebersamaan yang panjang. Alih-alih saling mengencangkan urat leher dan dipenuhi rasa curiga serta kebencian seperti tergambar di benak sebagian masyarakat Indonesia tentang Yahudi, di sana berbagai kegiatan lintas-agama dan solidaritas Yahudi-Islam adalah hal lazim.
Terlebih sejak Donald Trump dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2017 kemarin.
Ketika masjid Victoria Islamic Centre terbakar pada Sabtu (28/1) lalu dan umat muslim tidak dapat beribadah, sekelompok orang Yahudi memberikan kunci sinagognya agar umat Islam bisa menggunakannya untuk bersembahyang.
Kepala sinagog Bnai Israel, Robert Loeb mengatakan “Semua orang tau kita di sini, saya tahu beberapa anggota masjid, dan kami berempati. Saat dilanda bencana seperti ini terjadi, kita harus hadapi bersama-sama.”
Salah satu pendiri masjid, Shahid Hashmi mengatakan “anggota komunitas Yahudi datang ke rumah saya dan memberi saya kunci rumah ibadah mereka.”
Sumbangan dari kampanye penggalangan dana secara online deras mengalir. Hingga berita yang dilansir The Independent itu diturunkan, sudah terkumpul $900 ribu. Omar Rachid yang menciptakan kampanye online lewat GoFundMe mengatakan “Hati kami dipenuhi dengan rasa syukur atas dukungan luar biasa yang kami terima dari curahan kasih, kata-kata baik, pelukan, membantu turun tangan dan kontribusi keuangan adalah contoh dari semangat Amerika sejati.”
Surat kabar Haaretz asal Israel juga menurunkan laporan mengenai koalisi warga Yahudi dan Muslim dalam menentang tindak kejahatan kebencian. Sekitar 200 orang berkumpul pada Rabu (2/2) waktu setempat di Capitol Hill, Washington DC. Kelompok ini berisi para pemimpin Yahudi dan Muslim di Amerika. Mereka menyebut diri sebagai Dewan Penasehat Muslim Yahudi, sebuah kelompok baru hasil kerjasama antara Komite Yahudi Amerika dan Masyarakat Islam Amerika Utara.
Pesan yang dibawa oleh para anggota dengan latar belakang imam, rabi, eksekutif bisnis, politisi, dan aktivis ini menyerukan agar tindak kejahatan kebencian diatasi di tingkat lokal dan tingkat nasional. Baik Muslim maupun Yahudi diketahui sama-sama telah menjadi sasaran target kebencian.
Dalam seminggu terakhir, Pusat Komunitas Yahudi di AS dievakuasi untuk ketiga kalinya karena ancaman bom. Sementara itu, warga dan komunitas Muslim di AS menghadapi krisis politik terkait perintah Presiden Donald Trump yang melarang warga dari tujuh negara dengan mayoritas Muslim memasuki negeri Paman Sam.
Ada lembaga-lembaga lain seperti Center for Muslim-Jewish Engagement yang telah berdiri sejak 2002. Lembaga ini didirikan oleh tokoh-tokoh agama Yahudi dan Muslim untuk membangun ikatan positif dalam hubungan antar-agama. Kelompok ini juga mengkaji studi teks-teks lintas agama terutamanya dari Yahudi dan Islam.
Ada beberpa studi terkait keberadaan orang-orang Yahudi di Amerika Serikat. Namun, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada orang-orang Yahudi bersama orang-orang Eropa yang bermigrasi dan mengkoloni daratan Amerika.
National Humanities Center dibawah naungan Brandeis University mempublikasikan penelitiannya mengenai migrasi dan akulturasi orang-orang Yahudi bersama orang-orang Eropa lainnya ke Amerika. Disebutkan bahwa sejarah Yahudi di Amerika dimulai pada 1492 ketika terjadi peristiwa pengusiran Yahudi dari Spanyol.
Pengusiran Yahudi dari Spanyol terkait dengan peristiwa Inkuisisi Spanyol yang digagas oleh pasangan monarki Katolik Raja Ferdinand II dan istrinya Ratu Isabella. Mereka mendirikan pengadilan gereja dengan dalih demi memelihara ortodoksi Katolik di Spanyol. Hal ini termasuk “menertibkan” dan mengadili perkara-perkara yang dianggap sesat. Kampanye penegakan Inkuisisi Spanyol inilah yang kemudian menyebabkan peningkatan sentimen anti-Yahudi, juga anti-Muslim.
Beberapa dari orang Yahudi yang memilih keluar dari Spanyol mengungsi ke Belanda yang bercorak Calvinis dalam mempraktikkan Kekristenan. Seabad kemudian, ratusan dari keturunan mereka melanjutkan migrasi menyeberangi lautan ke Recife di Brasil, sebuah wilayah koloni Belanda di Amerika Selatan.
Saat Portugis mengambil alih wilayah koloni Belanda di Brasil ini pada 1654, orang-orang Yahudi kembali tersebar. Sebuah kapal yang memuat sekitar 23 orang Yahudi meminta izin kepada Belanda untuk menetap di New Amsterdam. Nama ini merujuk pada wilayah koloni Belanda di Amerika Utara dan menjadi awal kehidupan komunal Yahudi.
Sementara Joellyn Zollman, profesor yang berkutat pada studi sejarah Yahudi menjelaskan dalam artikelnya berjudul "Jewish Immigration to America: Three Waves," bahwa komunitas Yahudi di Amerika juga sebagian besar diidentifikasikan sebagai Yahudi Ashkenazi, salah satu dari tiga varian suku Yahudi yang ada. Yahudi Ashkenazi merujuk daerah asal mereka sebelum datang ke Amerika, yakni dari Jerman dan Eropa Timur.
Yahudi Jerman mulai datang ke Amerika dalam jumlah yang signifikan pada tahun 1840an. Mereka umumnya bermigrasi karena penganiayaan, pembatasan hukum, kesulitan ekonomi, ditambah kegagalan gerakan Yahudi Jerman untuk mengadvokasi dan melakukan reformasi kesetaraan disana. Mereka memandang Amerika sebagai obat, selain tempat peluang ekonomi dan sosial yang baik.
Tercatat sekitar 250.000 orang Yahudi berbahasa Jerman datang ke Amerika menyusul pecahnya Perang Dunia Pertama. Imigran ini mendirikan permukiman di kota-kota kecil baik di wilayah Midwest, West, dan South. Mereka menggantungkan hidup dengan berdagang selama menetap di rute-rute kota yang disinggahi.
Mereka membentuk komunitas Yahudi yang kuat dan mendorong Reformasi Yudaisme di Amerika. Salah satu tokoh terkenalnya adalah Isaac Mayer Wise seorang Rabbi asal Austria yang mengagitasi reformasi dalam pelayanan peribadatan jemaah Yahudi. Ia memperkenalkan bangku-bangku keluarga di sinagog, formasi paduan suara dengan gender dicampur, dan banyak lainnya. Para imigran Yahudi juga mendirikan lembaga-lembaga Yahudi seperti Komite Yahudi Amerika dan Dewan Nasional Perempuan Yahudi.
Gelombang ketiga datang dari Eropa Timur sekitar tahun 1880an. Mereka datang terutama karena faktor kelebihan penduduk, undang-undang yang menindas, dan kemiskinan. Mereka berbondong-bondong keluar menyeberang ke Amerika karena prospek kemajuan ekonomi dan sosial. Tercatat, lebih dari 2 juta orang Yahudi dari Rusia, Austria-Hungaria, dan Rumania menginjakkan kaki di Amerika Serikat.
Para imigran ini cenderung menetap di lingkungan miskin sempit dan kumuh di kota-kota besar seperti New York, Philadelphia, Boston, Baltimore, dan Chicago. Para imigran banyak ditemukan bekerja di pabrik-pabrik, terutama di industri garmen, juga di bidang manufaktur cerutu, produksi pangan, dan konstruksi.
Akibat iklim kondisi seperti ini, pekerja Yahudi mendukung perjuangan gerakan buruh untuk kondisi kerja yang lebih baik. Budaya Yiddish merebak dalam bentuk drama, jurnalisme, dan prosa, yang umum berkembang di lingkungan imigran Yahudi Amerika. Nasib kehidupan para pekerja imigran adalah tema budayanya.
Kedatangan gelombang terakhir Yahudi dari Eropa Timur ini kemudian juga membentuk formasi religiusitas terbesar dari Yahudi Amerika. Migrasi besar-besaran orang Yahudi ke Amerika Serikat berakhir pada 1924.
Populasi Yahudi di Amerika Serikat sendiri menurut data PEW Research 2013 diperkirakan sebesar 6,7 juta baik dewasa maupun anak-anak. Angka ini adalah jumlah keseluruhan Yahudi, baik yang masih memeluk agama Yahudi maupun yang hanya berdarah Yahudi dan berkeyakinan lain.
Orang Islam jumlahnya memang tak sebesar orang Yahudi. Menurut data PEW Research 2016 lalu, umat Muslim di Amerika Serikat sebanyak 3,3 juta orang.
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani