tirto.id - Pada Sabtu (4/11/2017), para penonton kanal berita Al Arabiya dikejutkan dengan kemunculan Saad al-Hariri di layar kaca. Ia mengenakan setelan jas rapi seperti biasa. Sembari tetap berusaha tegar, Hariri menyampaikan kabar bahwa dirinya resmi mengundurkan diri dari posisi Perdana Menteri Lebanon.
Kabar tersebut mengejutkan publik di Timur Tengah, juga dunia internasional, apalagi terkait dengan alasan utama pengunduran diri tersebut. Hariri mengatakan bahwa belum lama ini ia diperingatkan oleh sejumlah agen intelijen Barat yang mengatakan ada pihak yang sedang merencakan upaya pembunuhan terhadapnya, demikian laporan koran Saudi Asharq al-Aswat sebagaimana dilansir oleh Reuters.
Hariri lahir di Riyadh, Saudi, pada tanggal 18 April 1970. Keluarganya punya hubungan yang erat dengan Saudi. Setelah hidup di luar negeri selama tiga tahun, Hariri kembali ke Lebanon pada bulan Agustus 2014. Ia kemudian mendirikan kelompok politik baru bernama Tayyar Al-Mustaqbal atau Gerakan Masa depan. Popularitas yang baik membuat Hariri sukses menduduki kursi perdana menteri pada bulan November 2016.
Selama menjabat, Hariri dikenal kritis terhadap pemerintah Iran yang disebutnya mengguncang kestabilan kawasan Timur Tengah karena rajin menebarkan rasa takut. Ia khawatir dunia Arab akan hancur jika sikap yang demikian diawet-awetkan oleh rezim Syiah yang menjadi musuh ideologis Arab Saudi tersebut. Dengan demikian kritiknya juga tertuju kepada Hizbullah, kelompok militan di Lebanon yang dana dan gerakan bersenjatanya dibekingi oleh Iran.
Baca juga: Jejak Permusuhan Iran dan Arab Saudi
Iran dan Hizbullah dituduh Hariri sebagai dalang di balik perencanaan pembunuhan terhadapnya. Hal ini dibantah oleh Mayor Jenderal Abbas Ibrahim, Kepala Keamanan Umum Lebanon mengatakan dirinya tak tahu menahu soal rencana pembunuhan terhadap tokoh politik penting di negaranya. Militer juga tak menyampaikan rencana serupa kepada media massa.
Namun, Hariri lebih percaya pada sumber pribadinya yang dianggap punya bukti kuat. Sebelum pergi dari Lebanon, Hariri sempat beberapa kali berkunjung ke Saudi untuk meningkatkan hubungan bilateral antar kedua negara.
Para hari Jum'at (3/11/2017) ia kembali terbang ke Riyadh, namun tak jelas untuk kepentingan apa. Sehari setelahnya rasa penasaran publik terjawab dengan kabar pengunduran dirinya. Asharq al-Aswat juga melaporkan bahwa Hariri memutuskan akan tetap berada di luar Lebanon akibat ancaman keamanan personal.
Baca juga: Hizbullah di Lebanon dan Rembetan Konflik Sektarian Suriah
Kekhawatiran Hariri barangkali tak berlebihan. Masih dalam siaran televisi Al Arabiya, ia juga menyinggung soal akhir tragis yang dialami ayahnya, Rafic Hariri. Rafic Hariri menjabat sebagai Perdana Menteri Lebanon untuk periode 1992-1998 dan 2000-2004. Ia dikenal sebagai sosok yang merekonstruksi Beirut setelah dilanda perang sipil selama 15 tahun. Namun, pada 14 Februari 2005 sebuah serangan bom menghabisi nyawanya.
Kala itu Rafic sedang berada dalam mobil iring-iringan di dekat Hotel St. George di Beirut. Tiba-tiba bom dengan kekuatan setara dengan 1.800 kilogram TNT meledak, menghasilkan getaran yang cukup merusak gedung di sekitarnya, dan menyeret nyawa Rafic beserta 22 orang lain termasuk pengawal pribadinya. Laporan investigasi yang dirilis setahun setelahnya mengindikasikan jika sumber ledakan berasal dari lelaki muda yang jadi pelaku bom bunuh diri.
Dua laporan lain yang dipublikasikan tahun 2014 oleh Komisi Penyelidikan Independen PBB mengindikasikan bahwa pemerintah Suriah menjadi otak pembunuhan Rafic. Pengacara yang ditugaskan untuk mempersekusi pelaku lain mengaku menerima bukti-bukti terkait telepon Presiden Suriah Bashar al-Assad. Assad selama ini diketahui membangun aliansi dengan Iran terutama selama perang sipil akibat ada gerakan massa yang ingin dirinya turun.
Sementara itu laporan investigasi Canadian Broadcasting Corporation menyarankan bahwa tim investigasi khusus PBB menemukan bukti bahwa yang bertanggung jawab atas peristiwa pemboman Rafic adalah Hizbullah. PBB dan forum tribunal khusus Lebanon kemudian mewacanakan penangkapan utnuk empat anggota Hizbullah. Namun, Hizbullah mengelak dan membelokkan tuduhan ke agen intelijen Israel Mossad.
Membara Hingga ke Yaman
Iran dan Saudi adalah dua raksasa wakil Syiah dan Sunni di Timur Tengah. Pengaruh dan perseteruan keduanya tidak terjadi secara langsung, namun dengan cara mendanai pergerakan kelompok-kelompok bersenjata yang sesuai dengan idealisme masing-masing.
Selain Hizbullah, Iran juga membekingi kelompok Houthi di Yaman. Houthi, yang menjadi basis milisi aliran Syiah di Yaman dan juga didukung sebagian masyarakat Sunni, terbilang sukses sebab pada 2014-2015 berhasil mengambil alih pemerintahan ibukota Sanaa.
Akibat mengacaukan kestabilan kawasan—dibumbui dengan motif politis—Militer Arab Saudi dan delapan negara mayoritas Sunni lain menggempur kantong pertahanan Houthi sejak Maret 2015 hingga September 2017. Serangan ini dilakukan karena Houthi juga berkali-kali mengirimkan rudal jarak jauhnya hingga melewati perbatasan Saudi.
Pada Sabtu (4/11/2017) misalnya, Houthi meluncurkan rudal balistik jarak jauh yang mampu menjangkau target yang jaraknya lebih dari 800 kilometer, melewati perbatasan Saudi, dan meledak di Riyadh.
Rudal tersebut, sebagaimana dikabarkan Al Jazeera, bernama Burkan 2-H jenis Scud. Kebetulan rudal mendarat di area bandara internasional Raja Khalid dan awak media dapat menyaksikan asap tebal membumbung ke udara. Mereka bersyukur rudal tak jatuh di kompleks bandara yang sesak oleh warga sipil karena pasukan Saudi menggunakan rudal Patriot untuk menangkisnya.
Tak ada korban jiwa, namun otoritas Saudi marah besar. Sebagaimana diberitakan The National, mengutip pers rilis dari Saudi Press Agency, pada Senin (6/11/2017) Kerajaan Saudi merilis 40 pimpinan Houthi yang akan diburu. Ke-40 target tersebut diklaim sebagai perancang, pengeksekusi, dan pendukung aksi bersenjata Houthi. Di dalam rilisnya, Saudi juga dengan eksplisit menyebut bahwa Iran mendukung pendukung Houthi, plus Hizbullah sebagai aliansi yang sama-sama berstatus sebagai “organisasi teroris”.
Baca juga: Tensi Tinggi Syiah-Sunni di Tanah Suci
Dalam laporan Al Arabiya, Menteri Saudi Urusan Teluk Thamer al-Shabhan menegaskan bahwa Lebanon telah mendeklarasikan perang dengan Arab Saudi sebab membiarkan agresi kelompok Hizbullah terhadap kerajaan di mana Iran juga turut mendanainya.
Raja Saudi Salman bin Abdulaziz Al-Saud juga sudah tahu tentang kasus yang menimpa Saad Hariri dan meminta pemerintah Lebanon untuk waspada dengan pergerakan kelompok milisinya. Thamer menambahkan kecaman bahwa Hizbullah selama ini menyelundupkan narkoba ke Saudi dan melatih generasi mudanya untuk menjadi anggota penerus organisasi tersebut di masa depan. Lebanon, kata Thamer, telah “diculik oleh kelompok milisi dan di belakangnya ada Iran.”
Beberapa analis politik memprediksi situasi di Timur Tengah ke depannya akan makin terpolarisasi. Situasinya kian menarik karena banyak peristiwa besar yang sedang terjadi di Saudi.
Pangeran Muhammad bin Salman, yang digadang-gadang akan meneruskan estafet kepemimpinan Raja Salman, sedang berupaya melakukan reformasi sosial untuk mengubah wajah negaranya yang teramat konservatif menjadi lebih moderat demi pertumbuhan ekonomi non-minyak Arab di masa depan.
Dua hari yang lalu sebuah lembaga baru yang dibentuk otoritas Saudi untuk menangani korupsi menangkap 11 pangeran, empat menteri, dan belasan mantan menteri yang diduga korup. Salah satu sosok yang ditangkap adalah Pangeran Al-Walid bin Talal, salah satu pengusaha dan investor terkaya di dunia.
Baca juga: Membaca Arah Reformasi Sosial di Arab Saudi
Pangeran Muhammad diduga berada di balik manuver tak biasa ini. Muhammad dianggap sedang mengonsolidasikan kekuatan politik sebelum nanti benar-benar menerima mandat untuk memimpin Kerajaan Arab Saudi.
Kabar terbaru yang menarik perhatian publik dan media massa adalah kunjungan mendadak Presiden Mahmud Abbas ke Riyadh pada Senin (6/11/2017) untuk bertemu dengan Raja Salman dan Pangeran Muhammad. Media sosial lumayan heboh menyampaikan kabar ini sebab Abbas baru saja mengunjungi Kota Sharm el-Sheikh di Sinai.
Di kesempatan tersebut ia bertemu dengan Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi untuk mendiskusikan perjanjian damai dengan Israel dan perkembangan terbaru dari kesepakatan rekonsiliasi dengan Hamas yang ditandatangani di Kairo bulan lalu.
Warganet ada yang menyindir apakah Abbas akan mengikuti langkah Hariri yakni mengundurkan diri dari jabatannya sekarang. Namun apa yang akan dibicarakan maupun kesepakatan yang terjalin antara Saudi dan Palestina masih belum terang.
Palestina mendapat dukungan dari Hizbullah maupun Houthi. Namun Presiden Mahmud Abbas juga salah satu pihak yang mengecam serangan Houthi ke Riyadh. Sebagaimana dilaporkan Midde East Eye, Abbas mendukung sepenuhnya pemerintahan Saudi serta kebijakan yang diambil dalam rangka melindungi keamanan rakyatnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf