tirto.id - Jika merujuk pada negara Timur Tengah yang paling beragam, bolehlah menengok Lebanon. Negara yang pada Juli 2016 lalu memiliki populasi 6.237.738 ini berbatasan langsung dengan Suriah di sebelah utara dan Israel di timur.
Keberagaman ini dapat dilihat dari data CIA World Factbook tahun 2014 lalu mengenai komposisi agama di negara tempat Khalil Gibran lahir. Populasi Muslim sebesar 54% (27% Syiah dan 27% Sunni) Kristen sebesar 40,5% (21% Maronit Katolik, 8% Ortodoks Yunani, 5% Melkite Katolik, 1% Protestan, 5,5% Kristen lainnya), Druze 5,6%. Sejumlah kecil lain adalah penganut Yahudi, Baha’i, Buddha, Hindu, hingga Mormon.
Menurut pemerintah, kini ada sekitar 18 aliran agama yang diakui keberadaannya di Lebanon: 4 Muslim, 12 Kristen, dan masing-masing satu untuk Druze dan Yahudi.
Di tengah pujian terhadap Lebanon sebagai salah satu contoh kerjasama lintas agama yang baik dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, tetap ada letupan-letupan dari ketegangan antar-umat beragama.
Identitas keagamaan setidaknya menjadi salah satu hal sensitif selama bergolaknya perang saudara Lebanon yang berlangsung sejak 1975 sampai 1990. Kasus serangan terhadap rumah ibadah dan komunitasnya hingga pembunuhan massal mewarnai tahun-tahun pembukaan perang sipil di Lebanon. Saat berakhirnya perang sipil, kondisi keberagaman berangsur pulih.
Namun, kemudian terjadilah perang sipil Suriah dengan latar belakang sektarian yang turut mempengaruhi Lebanon.
Dalam situasi Perang Sipil Suriah yang berlangsung sejak 2011 lalu, Lebanon pernah mendapat kiriman tiga roket dari Suriah yang menghantam daerah Hermel wilayah Lebanon Utara di Lembah Bekaa. Daerah itu diketahui memang longgar dari penjagaan yang berbatasan langsung dengan Suriah dan salah satu pusat bermukimnya warga Syiah Lebanon.
"Kami tidak khawatir, dan kami tidak takut," kata Mohammad, seorang pengusaha komputer dan penduduk Syiah yang meminta agar nama keluarganya tidak disebutkan. “Kami tidak akan bersembunyi di balik jari kita. Ini adalah perang terbuka, ini global, dan ketahanan (Hizbullah) serta kepemimpinannya akan melindungi kita.” ujarnya seperti dilansir Al Jazeera.
Kelompok Hizbullah disebut. Kendati peristiwa tersebut berlangsung pada Mei 2013 lalu, namun serangan itu diklaim menjadi yang pertama menyasar komunitas Syiah di Lebanon.
Posisi Hizbullah sendiri dalam perang sipil Suriah yang tengah berkecamuk mendukung penuh pemerintahan Bashar Al-Assad dengan membantu tentara Suriah memerangi ISIS dan kelompok pemberontak bersenjata.
Perang sipil Suriah juga memainkan konflik sektarian antara Sunni dan Syiah yang merembet hingga Lebanon. Banyak dari warga Sunni Lebanon mendukung pemberontakan di Suriah, sementara dari warga Syiah banyak yang mendukung pemerintahan Assad. Setidaknya hal ini memicu kebangkitan kekerasan sektarian di Lebanon. Aksi-aksi pembunuhan dan kerusuhan terkait perang sipil Suriah meletup di beberapa sudut kota Lebanon.
Asal-Usul Hizbullah
Hizbullah lahir pada masa perang sipil Lebanon. Tepat tanggal 16 Februari 1985 silam, Hizbullah mendeklarasikan keberadaannya dengan dibacakannya manifesto berjudul “The Hizbullah Program” oleh juru bicara Sheikh Ibrahim al-Amin di Masjid al-Ouzai di Beirut barat.
Sebelum tanggal dan tahun deklarasi tersebut, cikal bakal gerakan Hizbullah di Lebanon sudah berlangsung lama dan nama Hizbullah muncul setidaknya pada periode perang sipil Lebanon yang berlangsung dari tahun 1975 sampai 1990.
Menurut Garry C. Gambill dalam esainya berjudul "Hezbollah and the Political Ecology of Postwar Lebanon" menuturkan bahwa Hizbullah yang disponsori oleh kesuksesan revolusi Iran fokus pada pengusiran pasukan Israel dan Barat dari Lebanon pada 1982. Hal ini bersambut dengan pembentukan gerakan sipil moderat dan sekuler bernama The Amal Movement dari komunitas muslim Syiah Lebanon.
Dalam periode-periode tersebut, mereka menyasar orang-orang Barat dengan aksi-aksi penculikan dan pengeboman mobil. Menurut laporan The Atlantic, pada Februari 1985 CIA memperingatkan bahwa Hizbullah adalah ancaman terbesar bagi personel dan fasilitas AS di wilayah tersebut.
Usai perang sipil yang melanda Lebanon, Hizbullah tidak lantas turut dilucuti atau membubarkan diri. Mereka melanjutkan perjuangan gerilya melawan Israel di Lebanon selatan hingga penarikan pasukan Israel pada tahun 2000.
Praktis, pascaperang sipil Lebanon berakhir, target utama mereka berfokus pada Israel dengan cara-cara yang militan dan bersenjata. Hizbullah menjadi pemain dan kekuatan utama dalam relasi konflik Lebanon dan Israel.
Pada tanggal 12 Juli 2006 misalnya, dalam upaya membebaskan tiga orang Lebanon yang dipenjara di penjara-penjara Israel, Hizbullah melancarkan operasi militer terhadap Israel. Operasi ini menewaskan sejumlah tentara Israel dan menculik dua orang sebagai tawanan perang.
Tindakan ini kemudian memicu Israel meluncurkan serangan militer besar-besaran terhadap Hizbullah selama 34 hari, yang kemudian dikenal sebagai Perang Lebanon 2006. Menurut Amnesty Internasional, perang antara kelompok paramiliter melawan tentara Israel itu menewaskan 1.191 orang di pihak Lebanon. Sebanyak 1 juta penduduk Lebanon terpaksa mengungsi.
Serangan habis-habisan yang dilakukan Israel terhadap Lebanon dan perlawanan yang Hizbullah lakukan berakhir dengan kebuntuan. Tidak ada yang merasa kalah dan dapat dipukul mundur sepenuhnya. Baik Hizbullah yang kala itu dipimpin oleh Hassan Nasrallah dan pihak tentara Israel mengklaim sama-sama merasa menang. Sebuah pencapaian yang belum bisa dilakukan oleh milisi Arab lainnya ketika berhadapan dengan Israel.
Setelah serangan besar tersebut, rentetan serangan-serangan kecil yang melibatkan Hizbullah dengan tentara Israel masih berlangsung. Seperti pada 7 Agustus 2013 lalu. Kala itu ranjau darat yang dipasang oleh militan Hizbullah melukai empat tentara Israel.
Serangan udara terhadap konvoi iring-iringan tentara Hizbullah di Kabupaten Quneitra Suriah pada 18 Januari 2015 lalu menewaskan enam anggota Hizbullah dan satu anggota petugas IRGC. Banyak mengatakan bahwa Israel dibalik peristiwa tersebut meskipun tidak ada komentar resmi.
Hizbullah menanggapi dengan menembakkan rudal pada 28 Januari setelahnya saat konvoi tentara Israel di peternakan Shebaa di Dataran Tinggi Golan dan menewaskan dua tentara. Tentara Israel membalas dengan menembakkan peluru ke Lebanon selatan dan malah menewaskan seorang tentara penjaga perdamaian asal Spanyol yang sedang bertugas.
Karena keterlibatannya dalam serangkaian aksi militan terhadap Israel dan juga dominasi Barat yang dipandang imperialis, Hizbullah masuk dalam daftar organisasi teroris oleh negara-negara Barat, Israel, negara-negara Teluk Arab dan Liga Arab. Namun, Hizbullah sangat populer di kalangan Syiah di Lebanon.
Hubungan Hizbullah dengan kelompok Kristen di Lebanon juga cenderung stabil dan tampak masih saling mendukung. Menurut Joseph Alagha dalam buku The Shifts in Hizbullah's Ideology: Religious Ideology, Political Ideology, pada 1992, setelah perang sipil Lebanon, Hizbullah mulai terlibat dalam dialog dengan umat Kristen Lebanon. Mereka menganggap kebebasan budaya, politik, dan agama di Lebanon sebagai sesuatu yang sakral, dengan catatan: nilai-nilai tidak berlaku bagi kelompok yang memiliki hubungan dengan Israel.
Bergabungnya kelompok Kristen yang menginginkan mengangkat senjata juga direspons oleh Hizbullah. Mereka mendirikan sayap paramiliter lintas agama bernama Pasukan Perlawanan Lebanon yang melawan pendudukan Israel di tanah Lebanon. Bukan hanya orang Kristen saja yang bergabung. Sayap paramiliter yang dibentuk tahun 1997 ini juga menampung iman-iman lainnya seperti Druze hingga bahkan kelompok Sunni.
Survei yang diadakan oleh Beirut Center for Research and Information juga menunjukkan dukungan kuat dari kelompok masyarakat non-Syiah terhadap aksi Hizbullah yang berperang dengan tentara Israel selama Perang Lebanon tahun 2006. Sebesar 80,3 persen penganut Kristen yang disurvei mendukung Hizbullah. Begitu pula 79,5 persen penganut Druze dan 88,9 persen Sunni.
Hubungan dengan presiden baru Lebanon, Michel Aoun, juga positif. Penganut Kristen Maronit yang sejak 31 Oktober 2016 kemarin memimpin negeri tersebut adalah mantan jenderal militer angkatan bersenjata Lebanon yang terlibat perang sipil. Ia punya reputasi sebagai presiden yang pro-kelompok Syiah, Druze, hingga milisi Palestina.
Tak heran jika kepulangannya ke Lebanon pada 2005 setelah menjadi eksil selama 15 tahun juga disambut oleh delegasi dari Hizbullah. Ia melakukan pertemuan dengan Hassan Nasrallah selaku pemimpin tertinggi Hizbullah di Gereja Mikhayel Mar pada 2006. Michael Aoun kala itu sebagai pendiri Free Patriotic Movement (FPM) yang menandatangani nota kesepahaman dengan Hizbullah untuk mengorganisasi hubungan mereka dan membahas perlucutan senjata Hizbullah dengan berbagai syarat dan kondisi terhadap Israel.
Dengan masih meletakkan kepentingan dan tujuan yang sama, perbedaan yang tampak mencolok dari latar belakang Hizbullah dengan kelompok Kristen Maronit belum menimbulkan masalah yang menyeret pada konflik sektarian. Namun, perang sipil di Suriah telah membawa pengaruh hubungan keagamaan antara masyarakat Sunni dan Syiah di Lebanon.
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani