tirto.id - Iran dan Arab Saudi seakan ditakdirkan untuk menjalani hubungan yang keruh. Dua negara itu tak hanya dipisahkan oleh dua wajah Islam—Syiah dan Suni— tetapi juga dua kutub sikap politik yang berbeda. Sesekali keduanya bertemu di medan laga lewat kepanjangan tangan aliansinya masing-masing. Tahun ini, ketegangan dua kekuatan besar di Timur Tengah itu kembali menyeruak: terkait penyelenggaraan ibadah haji.
Sebab musabab perseteruan ini bisa ditelusuri di awal 2016 saat Arab Saudi mengeksekusi mati ulama Syiah, Syeh Nimr Baqr al-Nimr (56). Nirm dikenal sebagai corong kelompok minoritas Syiah di Arab Saudi. Kematiannya memicu demonstrasi besar-besaran di kedutaan besar Arab Saudi di ibukota Iran, Teheran.
Hubungan kedua negara yang sebelumnya “biasa-biasa saja” akhirnya kembali tegang. Arab Saudi tak hanya menutup kantor kedutaannya, namun juga menghentikan sementara misi diplomatiknya. Keputusan ini kemudian merembet pada susahnya pengabulan visa bagi para calon jemaah haji asal Iran yang akan berangkat ke tanah suci pada bulan September ini.
Menteri Kebudayaan dan Pedoman Islam Iran, Ali Jannati, berkata kepada The Washington Post pada pertengahan Mei lalu bahwa negosiasi dengan pemerintah Arab Saudi telah gagal. Padahal ia sudah berjuang selama empat bulan agar permohonan visa dan transportasi bagi warga Iran dalam penyelenggaraan ibadah haji bisa diperoleh. Pada bulan Mei itu pula dinyatakan bahwa jemaah asal Iran tak bisa berpartisipasi dalam ibadah haji tahun ini.
“Kami telah melakukan segala upaya, namun pemerintah Arab Saudi lah yang melakukan sabotase,” kata Jannati.
Kepala Pengadilan Umum di Wilayah Madinah, Syeh Dr. Saleh bin Abdulrahman bin Sulaiman Mohaimeed, membantah tudingan ini. Ia justru melempar tuduhan balik.
“Iran mempolitisir haji dan tak memprioritaskan warganya sendiri, ” katanya kepada Saudi Press Agency.
Tudingan untuk “Setan Kecil”
Iran bukannya asal marah-marah. Sikap tegas petinggi Negeri para Mullah justru atas dasar perhatian yang tinggi kepada para warganya. Pimpinan tertinggi Iran Ayatullah Ali Khameini pada Senin (5/9/2016) mengatakan bahwa pemerintah Arab Saudi adalah “pembunuh” jemaah haji. Gelar tersebut berkaitan dengan musibah kematian lebih dari 2.000 jemaah pada penyelenggaraan haji tahun 2015 lalu.
Musibah menyedihkan yang oleh media-media Indonesia dinamai dengan Tragedi Mina itu adalah yang terburuk dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji. Associated Press melaporkan korban meninggal sebanyak 2.411, sedangkan Agence France-Press menyebut angka 2.236 untuk korban yang meninggal. Sedangkan versi resmi dari pemerintah Arab Saudi menyebutkan bahwa jumlah korban meninggal jauh lebih sedikit, yakni sebanyak 769 orang, di mana 934 lainnya luka-luka.
Tragedi yang menjadi sorotan warga dunia itu terjadi di Mina, lebih tepatnya di persimpangan jalan nomor 204 dan 233 yang mengarah ke Jembatan Jamarat. Penyebabnya simpang siur, tetapi para pengamat menyebutkan jika tragedi itu karena terlalu banyak orang yang ingin melaksanakan ritual lempar jumrah, tingginya tingkat kelelahan dan panas cuaca, serta kepanikan yang melanda akibat banyak jemaah yang baru pertama kali mengikuti ibadah haji.
Kabut duka pun perlahan menyelimuti negara-negara yang warganya menjadi korban. Kebetulan, negara dengan korban paling banyak adalah Iran. Jemaah haji asal Iran yang meninggal berjumlah 464 orang. Tak pelak, kondisi ini meningkatkan tensi politik antara Iran dan Arab Saudi, yang sebetulnya kala itu sudah terpercik atas munculnya perang sipil di Suriah dan Yaman.
Berangkat dari tragedi kelam itu, Ali Khameini tak ragu untuk melempar kesalahan terbesar ada di tangan pemerintah Arab Saudi yang tak dinilai tak becus dalam menyelenggarakan haji. Apalagi Tragedi Mina terjadi selang beberapa minggu saja usai jatuhnya crane yang menewaskan lebih dari 100 jemaah haji. Ali Khameini yang marah atas tuduhan politisasi haji kemudian melabeli Arab Saudi sebagai “setan kecil”.
"Mereka [Arab Saudi] telah menyempitkan haji sebagai ritual wisata-religi, sedang menyembunyikan permusuhan dan kedengkian terhadap orang-orang Iran yang setia dan revolusioner dengan dalih 'mempolitisasi haji. Mereka sebenarnya setan kecil dan lemah yang gemetar karena takut membahayakan kepentingan dari setan besar yakni Amerika Serikat," kata Khaemeni sebagaimana dikutip BBC, Senin awal September 2016.
Tak terima dengan julukan itu, Arab Saudi lewat mufti besarnya Abdul Aziz Al Syeikh membalasnya lewat pernyataan yang dimuat di sebuah koran harian di Mekkah. Ia menganggap reaksi lempar kesalahan Khameini bukanlah sesuatu yang mengejutkan sebab orang-orang Iran adalah keturunan Majusi, orang-orang era Zoroaster di Persia (sekarang Iran) yang menyembah api.
“Kami paham jika mereka bukanlah muslim. Mereka adalah keturunan kaum Majusi. Permusuhan mereka terhadap kaum muslim, terutama golongan Sunni, sudah berlangsung sejak lama,” kata Abdul Aziz sebagaimana dikutip Associated Press.
Tak perlu waktu lama bagi Iran untuk membalas kembali pernyataan kontroversial itu. Sehari setelahnya, Javad Zarif Menteri Luar Negeri Iran berkata di akun Twitternya dengan nada satire:
“Memang, tak ada kemiripan antara Islam ala Iran dan mayoritas muslim dengan ulama ekstremis-fanatik Wahabi sekaligus ahli propaganda teror ala Arab Saudi.”
Darah yang Tertumpah di Tanah Mekkah
Perselisihan politik dan identitas Islam antar kedua negara, bahkan yang hingga menimbulkan korban jiwa, bukan lah yang pertama kali terjadi. Sebagaimana mengutip pernyataan Abdul Aziz, pertengkaran Iran yang mewakili golongan Syiah dan Arab Saudi yang mewaliki golongan Sunni, telah berlangsung lama.
Namun, khusus untuk yang terjadi di Tanah Suci, 28 tahun sebelum Tragedi Mina, Mekkah pernah menjadi saksi terbunuhnya 400 orang sebagai dampak dari kerusuhan antara jemaah haji dari golongan Syiah Iran dengan aparat keamanan Arab Saudi.
Sejak 1981 Iran telah terbiasa mengadakan demonstrasi menentang Israel dan Amerika Serikat. Aksi ini kemudian dilakukan juga oleh para jemaah haji asal Iran pada hari Jumat tanggal 31 Juli 1987 di Mekkah. Pawai yang disertai semboyan-semboyan khas Iran sebelumnya berjalan lancar, hingga massa aksi berada di ujung jalan di mana rute aksi itu dijalankan.
Tak hanya menemui kebuntuan, mereka juga mendapat hadangan dari polisi anti huru-hara Arab Saudi dan barisan Tentara Nasional. Sejumlah demonstran meminta massa aksi meneruskan pawai menuju Masjid Besar. Sayangnya, ada beberapa oknum dengan identitas tak jelas yang mulai melempari massa aksi dengan batu bata dan benda lainnya. Akhirnya kerusuhan pecah antara massa aksi melawan aparat keamanan.
Aparat keamanan Arab Saudi dikabarkan menggunakan pentungan dan tongkat listrik untuk menghalau massa, sedangkan jemaah Iran mempersenjatai diri dengan pisau dan kayu. Aparat keamanan juga dilaporkan menembaki massa aksi. Laporan ini dibantah otoritas setempat yang bersikukuh bahwa korban yang jatuh murni dikarenakan perkelahian dan penyerbuan.
Terlepas dari senjata yang dipakai atau informasi simpang siur terkait siapa yang memulai kerusuhan, dampak dari kerusuhan itu adalah ada 402 darah manusia yang tumpah mengotori Tanah Suci Mekkah. Mereka terdiri dari 275 warga Iran, 85 warga Arab Saudi termasuk dari aparat keamanan, dan 42 jemaah haji dari sejumlah negara. Sementara itu korban luka-luka mencapai 649 orang yang terdiri dari 303 warga Iran, 145 warga Arab Saudi, dan 201 warga negara lain.
Dua dekade setelahnya, Tragedi Mina yang (kebetulan) menelan banyak korban dari warga Iran kembali memanaskan tensi kedua negara. Kali ini memang belum ada korban jiwa yang jatuh dari kedua pihak, tetapi perselisihan politik yang awet tersebut telah resmi membatalkan rencana warga Iran berhaji.
Mereka yang kecewa adalah korban yang sesungguhnya. Pun dari pihak pemerintah Arab Saudi yang telah rugi secara ekonomi. Secara jumlah, delegasi asal Iran di setiap penyelenggaraan ibadah haji biasanya yang terbanyak dibanding delegasi dari negara lain.
Urusan ibadah memang perlu diberi jarak yang sejauh-jauhnya dari keriuhan, kebisingan, pun kegaduhan dunia politik. Mengutip Khaled Batarfi, kolumnis senior Saudi Gazette, yang berkata pada Al Jazeera:
“Ini (Mekkah) adalah tempat di mana para peziarah mencari ketenangan.. Juga kedamaian...”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti