Menuju konten utama
Newsplus

'Jumbo' dan Bukti Bahwa Seni Sejati Tak Mudah Tergantikan AI

Film animasi ini menunjukkan bahwa nilai seni sejati, yang melibatkan proses kreatif mendalam, storytelling, dan keunikan personal, tidak tergantikan AI.

'Jumbo' dan Bukti Bahwa Seni Sejati Tak Mudah Tergantikan AI
Film Jumbo. youtube/Visinema Pictures

tirto.id - Di tengah meningkatnya dominasi kecerdasan buatan (AI) dalam industri kreatif, film animasi masih menunjukkan kemampuannya untuk tetap relevan dan bahkan bersaing secara langsung. Meskipun AI mampu menciptakan visual, suara, dan alur cerita secara otomatis, film animasi buatan manusia tetap menawarkan sesuatu yang tak tergantikan: sentuhan emosional, imajinasi bebas, dan nilai artistik yang mendalam.

Film animasi Indonesia berjudul ‘Jumbo’ karya dari Visinema Animation berhasil menjawab itu semua dengan mencatatkan kesuksesan luar biasa di dalam negeri. Film yang disutradarai Ryan Adriandhy ini menjadi film animasi terlaris sepanjang masa dengan lebih dari 1,6 juta penonton per 10 April 2025, hanya dalam waktu seminggu lebih sejak rilis pada 31 Maret 2025.

"Kesuksesan ini menunjukkan bahwa animasi buatan manusia masih memiliki daya tarik yang kuat, bahkan di tengah tren pemanfaatan AI dan pengaruh studio animasi global seperti Studio Ghibli," ujar Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT), Institute Heru Sutadi, kepada Tirto, Kamis (10/4/2025).

Menurut Heru, Jumbo berhasil menarik perhatian penonton bukan hanya karena visualnya yang memukau, tetapi juga karena cerita yang hangat, universal, dan penuh makna. Film ini menawarkan nostalgia, nilai-nilai seperti persahabatan, keberanian, dan kepercayaan diri, yang resonan dengan penonton dari segala usia. Jumbo mengadopsi pendekatan serupa, tapi dengan sentuhan lokal yang kuat, seperti setting kampung dan karakter yang relatable bagi penonton Indonesia.

“Seperti kita ketahui, AI, meskipun mampu menghasilkan animasi dengan cepat dan efisien, seringkali kekurangan 'jiwa' atau emosi yang autentik,” ujar dia.

Film animasi ini menunjukkan bahwa nilai seni sejati, yang melibatkan proses kreatif mendalam, storytelling, dan keunikan personal, tidak mudah tergantikan oleh AI. Ditambah lagi, film Jumbo didorong oleh dukungan kuat dari masyarakat Indonesia, yang bangga melihat karya animasi lokal bersaing di level tinggi.

Pakar Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI), Firman Kurniawan, mengatakan untuk mendapatkan sebuah karya, film animasi seperti Jumbo memang tak perlu khawatir untuk bersaing dengan AI. Karena sebetulnya, apa yang bisa dilakukan oleh AI hari ini, masih terbatas pada kemampuan teknis.

“AI sebatas itu, tapi bahwa ide yang sifatnya abstrak itu belum bisa dihasilkan oleh AI. AI tidak mempunyai gagasan, tidak mempunyai kehendak untuk menciptakan sebuah jalan cerita tertentu, nah itu keterbatasan AI,” jelas dia saat dihubungi Tirto, Kamis (10/4/2025).

Kendati terbatas, AI sendiri, kata Firman, memang terlihat canggih. Ketika seseorang mampu memberikan prompt ide gagasannya, maka AI akan menerjemahkannya menjadi karya yang sangat menarik. AI, dalam hal ini, secara tidak langsung memadukan ide gagasan yang ada di pikirannya manusia yang kemudian akan diwujudkan AI.

“Tapi memang AI tidak selalu lebih unggul, tidak selalu lebih pasti akan menang, belum tentu, karena di balik sebuah karya itu kan ada gagasannya, itu AI belum menjangkau sampai di situ,” ujar dia.

Peluang & Tantangan Pekerja Seni

Oleh karenanya, kesuksesan film animasi Jumbo ini dinilai dapat membuka jalan bagi industri animasi Indonesia untuk berkembang. Ini bisa menjadi standar baru dan inspirasi untuk investor dan studio lain. Jumbo menunjukkan bahwa ada pasar untuk animasi berkualitas tinggi buatan lokal, yang bisa mendorong lebih banyak pendanaan untuk proyek serupa.

“Hal ini berarti peluang kerja untuk animator, desainer visual, dan ilustrator bisa meningkat, terutama jika industri terus mendukung talenta lokal,” ujar Heru Sutadi dari ICT.

Meski begitu, kata Heru, ancaman AI tetap nyata bagi para pekerja seni. Ada kekhawatiran bahwa pemerintah dan industri mungkin lebih memilih AI untuk efisiensi dan penghematan biaya, yang bisa mengurangi peluang kerja untuk animator manusia. Bahkan animasi otomatis, yang bisa menggantikan beberapa tugas kreatif tradisional.

Misalnya, dalam Pemilu 2024 lalu, pemanfaatan Generative AI memang banyak dilakukan, termasuk dalam pembuatan versi animasi kandidat presiden-wakil presiden. Pasangan calon (paslon) nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang kini terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, mempromosikan konten-konten dan bahan kampanye dengan foto animasi yang terkesan “gemoy”.

“Namun, AI seharusnya menjadi alat pendukung, bukan pengganti, kreativitas manusia,” imbuh dia.

Tantangan lain adalah kesejahteraan pekerja kreatif. Ada kekhawatiran tentang gaji animator Jumbo, mengingat proyek besar ini melibatkan ratusan orang selama lima tahun. Jika industri tidak bisa menjamin penghasilan yang layak, banyak talenta berbakat mungkin beralih ke proyek freelance atau industri lain, seperti gaming.

Maka, masa depan pekerja visual, desainer, dan ilustrator di Indonesia ini sebenarnya akan bergantung pada kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan teknologi, memperkuat industri lokal, dan mendapatkan dukungan yang lebih baik dari pemerintah dan investor.

YOGYAKARTA KOMIK WEEKS 2022

Pengunjung mengamati karya yang dipamerkan saat Pameran Yogyakarta Komik Weeks 2022 bertajuk Aksi Transisi di Jogja National Museum, Yogyakarta, Rabu (2/11/2022).ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/aww.

“Kesuksesan Jumbo adalah langkah awal yang positif, tetapi tantangan seperti kompetisi dengan AI dan isu kesejahteraan tetap perlu diatasi untuk memastikan industri animasi Indonesia terus berkembang,” jelas dia.

Sepaham dengan Heru Sutadi, Direktur Regulasi dan Etika Indonesia AI Society (IAIS), Henke Yunkins, juga mengakui bahwa kemajuan AI membawa kerumitan tersendiri bagi para pekerja industri kreatif. Walau AI dapat membuka peluang baru, namun AI juga dapat mengancam mata pencaharian para seniman, desainer, dan ilustrator.

Sebab, saat ini, otomatisasi karya seni menggunakan AI perkembangannya sangat cepat. Bahkan, teranyar, para periset dari beberapa universitas di Amerika dapat menciptakan animasi Tom & Jerry durasi satu menit yang sekilas cukup baik kualitasnya, hanya dengan prompting (dengan menggunakan teknik Test-Time Training).

“Bisa dilihat kalau perkembangan-perkembangan seperti ini dapat menjadi tantangan/ancaman nyata terhadap para pekerja industri kreatif,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (10/4/2025).

Secara pribadi, Henke sendiri tidak punya jawaban pasti bagaimana masa depan para pekerja kreatif di tengah pesatnya kemajuan teknologi AI di industri kreatif. Karena menurutnya, jawaban seperti reskilling dan adaptasi tidak tepat dan tidak cukup, sebab masalah yang dihadapi bukan hanya soal kekurangan keahlian individu, melainkan juga masalah struktur dan dinamika pasar yang bersifat sistemik (konsentrasi kekuasaan dan modal pada pemain besar, ketidakpastian model kerja dan ekonomi.)

“Maka, salah satu yang harus dilakukan adalah mencari cara bagaimana balancing atau menyeimbangkan pemakaian AI di industri kreatif,” jelas dia.

Namun, menurutnya itu semua tidak mudah karena industri melibatkan bisnis, dan dalam bisnis yang utama adalah profit making. Proses ini juga akan melibatkan tantangan struktural: penyesuaian terhadap model bisnis baru, pergeseran dalam nilai-nilai seni di komunitas dan masyarakat umum, dan kemungkinan terjadinya eksploitasi tenaga kreatif yang selama ini mengandalkan keunikan dan sentuhan manusia.

Dan jika kembali lagi ke poin utama, melihat dari keberhasilan film animasi Jumbo, karya-karya Studio Ghibli yang legendaris, dan juga ‘Nezha 2’ yang menjadi film animasi dengan rekor penjualan tertinggi (2,1 miliar dolar AS), manusia masih tetap menjadi peran utamanya.

Kesuksesan karya-karya tersebut menunjukan bahwa kreativitas manusia, narasi yang mendalam dan unik, dan juga dedikasi terhadap detail tetap menjadi kunci dalam menghasilkan karya yang benar-benar menginspirasi dan berdampak.

Baca juga artikel terkait FILM ANIMASI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Farida Susanty