Menuju konten utama
SEMA Nomor 2 Tahun 2023

Polemik Kebijakan MA Melarang Hakim Memutus Nikah Beda Agama

SEMA Nomor 2 Tahun 2023 dinilai tidak memberikan perlindungan hukum yang adil bagi pasangan yang ingin menikah beda agama.

Polemik Kebijakan MA Melarang Hakim Memutus Nikah Beda Agama
Ilustrasi Pernikahan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Rahadian agak banyak menjeda pembicaraan setelah diceritakan ihwal kebijakan baru Mahkamah Agung (MA) soal pernikahan pasangan beda agama. Ia bingung dan tampak banyak berpikir tentang sesuatu yang mengisi kepalanya.

Pria muslim berusia 26 tahun ini memang telah memiliki hubungan asmara dengan wanita beragama Kristen hampir tiga tahun lamanya. Meski belum ada rencana dalam waktu dekat untuk mempersunting kekasihnya, tapi rencana besar itu telah jadi mimpi yang mereka berdua sering pertimbangkan.

“Aduh kalau begini agak rumit juga ya,” kata Rahadian sambil tertawa hambar saat ditemui reporter Tirto di kediamannya di Kota Bogor, Kamis (20/7/2023).

Desainer grafis di salah satu agensi digital itu bercerita, dari beberapa berita yang ia pernah baca, pernikahan beda agama masih bisa diwujudkan melalui permohonan di pengadilan negeri. Namun dengan adanya kebijakan baru dari MA saat ini, Rahadian memilih berserah dengan takdir yang menunggunya di masa depan.

Dead end, nggak sih kalau gini?” ucapnya sambil menggaruk kepala.

Keresahan Rahadian barangkali bergema pada banyak pasangan kekasih berbeda agama yang punya mimpi menikah secara legal di negeri ini. Namun justru makin bingung dan merasa tak menentu pasca munculnya kebijakan MA soal pernikahan pasangan beda agama baru-baru ini.

MA mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 (SEMA) yang melarang hakim pengadilan mencatatkan pernikahan beda agama. SEMA tersebut mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 Huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua pasal tersebut menegaskan, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. SEMA tersebut dikeluarkan pada 17 Juli 2023 dan ditandatangani oleh Ketua MA, Muhammad Syarifuddin.

Dinilai Produk Diskriminasi dan Kemunduran Hukum

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menilai, SEMA No. 2/2023 bermasalah dari segi substansi dan prosedural. Advokat yang pernah mendampingi klien menguji UU Perkawinan terkait perkawinan beda agama ini menyatakan, hadirnya SEMA No. 2/2023 menabrak Undang-Undang Pasal 35 huruf a UU 23/2006 tentang Adminduk yang menetapkan pelaksanaan perkawinan beda agama harus mendapatkan penetapan dari pengadilan.

Sebagai informasi, beberapa Pengadilan Negeri (PN) sebelum keluarnya SEMA No. 2/2023 tercatat pernah mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan berbeda agama mengacu pada pasal tersebut.

“SEMA ini bukan peraturan perundang-undangan, tapi dia berani menghajar undang-undang. Ini secara substansi bermasalah,” ungkap Zico dihubungi reporter Tirto, Kamis (20/7/2023).

Selain itu, Zico menyatakan, SEMA ini akan mengintervensi independensi hakim pengadilan. Menurutnya, SEMA memang bisa dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, namun biasanya hanya berkaitan dengan hal teknis pelaksanaan pengadilan.

“Namun SEMA kali ini sudah menyasar substansi yang artinya meminta hakim memutuskan mengikuti SEMA ini,” sambung Zico.

Hakim pengadilan, kata Zico, akan tunduk dengan kebijakan SEMA karena itu berasal dari lembaga di atasnya. Ia menilai, adanya SEMA ini sekaligus menjadi taktik dari MA agar tidak dapat diperkarakan di mana-mana.

“SEMA ini nggak bisa digugat, nggak bisa diuji dan mengikat kepada hakim dan mereka akan patuh. Pasti nggak dikasih, jadi sekarang ditutup sama sekali pintu orang nikah beda agama secara legal di Indonesia,” jelasnya.

Lewat SEMA ini, Zico menilai, negara tidak memberikan perlindungan hukum yang adil bagi pasangan yang ingin menikah beda agama. “Ini diskriminasi total sih. Negara ini nggak mengakui orang-orang yang nikah beda agama,” tambah Zico.

Setali tiga uang, Direktur Program Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) Ahmad Nurcholis menyampaikan, SEMA No. 2/2023 akan membuat para hakim progresif terpaksa merunduk kepada kebijakan MA. Padahal, kata Nurcholis, banyak PN yang telah mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama yang didasari pertimbangan kebijakan hukum dan aspek sosiologis.

“Saya kira akan jadi preseden buruk bagi kemajuan bangsa. Kan, kalau kita berdiskusi dengan teman-teman ahli hukum, tidak semata-mata membuat aturan tapi berangkat dari realita sosial di masyarakat harusnya,” kata Nurcholis ketika dihubungi reporter Tirto.

Nurcholis melaporkan, ICRP mencatat ada 1.425 pasangan di Indonesia yang melangsungkan pernikahan beda agama dalam kurun waktu 2005 hingga 2022. Ia menilai, pernikahan beda agama perlu dihormati sesuai asas kebhinekaan negara ini yang menjunjung perbedaan. Namun, hadirnya SEMA No. 2/2023 dinilai Nurcholis sebagai suatu kemunduran.

“Sementara menikah itu adalah tujuan mulia. Seakan-akan negara membiarkan warganya kumpul kebo,” tambah Nurcholis.

Sementara itu, Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan menyatakan, secara substantif SEMA No 2 Tahun 2023 tidak kompatibel dengan kebhinekaan Indonesia dan bangunan negara Pancasila. Menurutnya, fakta objektif keberagamaan identitas warga negara –termasuk dari segi agama – seharusnya semakin mendorong perangkat penyelenggaraan negara pada cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan yang lebih baik.

“SEMA tersebut menegaskan fakta memburuknya situasi demokrasi Indonesia, yang dalam lima tahun terakhir mengalami defisit. Defisit bukan hanya menimpa cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, tapi juga yudikatif,” ujar Halili.

Ia menambahkan, SEMA tersebut merupakan kemunduran dan menutup ruang bagi progresivitas dunia peradilan dalam menjamin hak-hak warga negara dari latar belakang yang beraneka ragam.

“Sebelumnya, beberapa Pengadilan Negeri telah menunjukkan kemajuan dalam menjamin hak-hak warga negara dengan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama, seperti yang dilakukan oleh PN Jakarta Selatan dan PN Yogyakarta,” jelasnya.

Beberapa PN memang mulai mengabulkan permohonan pernikahan beda agama yang didasarkan pada UU Adminduk, putusan MA nomor 1400/K/Pdt/1986, dan alasan sosiologis. Seperti di PN Surabaya, PN Yogyakarta, PN Tangerang, dan teranyar di PN Jakarta Pusat pada akhir Juni 2023 yang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama pasangan JEA yang beragama Kristen dan SW penganut agama Islam.

Ada Intervensi Politik?

Pakar hukum tata negara dari STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menilai, SEMA No 2/2023 ini tak bisa dilepaskan dari kunjungan Wakil Ketua MPR, Yandri Susanto yang menemui Ketua MA pada 10 Juli 2023 atau sepekan sebelum kebijakan ini keluar. Bivitri menyatakan, keluarnya SEMA merupakan intervensi politik yang lahir pasca pertemuan dua pejabat tersebut.

“SEMA ini untuk meminta hakim-hakim ini disetop mengeluarkan penetapan untuk memperbolehkan pencatatan pernikahan beda agama. Jadi menurut saya SEMA ini adalah intervensi politik terhadap hakim-hakim,” ujar Bivitri dihubungi reporter Tirto.

Bivitri menjelaskan, SEMA menjadi peraturan hukum yang bisa dipertanyakan. Hal ini lantaran prosesnya yang cuma dilakukan pada internal Mahkamah Agung saja. “Jadi tidak ada partisipasi publik dan sebagainya, jadi kalau diintervensi secara politik bisa saja dikeluarkan begitu saja,” sambung Bivitri.

SEMA ini juga dinilainya akan semakin mempersulit pasangan yang ingin menikah beda agama secara legal. Bivitri menilai, dengan begitu bisa lahir permasalahan sosial baru yang dapat mendorong masyarakat melakukan penyelundupan hukum.

“Dan barangkali juga bisa memainkan agama, jadinya kan nggak ada cara lain selain orang mengaku ngaku pindah agama hanya untuk sekadar bisa menikah dulu, jadinya menimbulkan masalah baru,” ujarnya.

Maka saat ini, kata Bivitri, satu-satunya pilihan pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan beda agama hanya dengan cara melangsungkan perkawinan di luar negeri, kemudian mencatatkan perkawinan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau dengan pindah agama sementara hanya untuk menikah.

“Seharusnya produk hukum tidak boleh mendorong ada model penyelundupan hukum dan menimbulkan masalah sosial baru,” jelas Bivitri.

Sebelumnya, persamuhan antara Yandri Susanto dan Ketua MA didasari atas keberatan Yandri terhadap putusan beberapa PN yang mengabulkan permohonan pernikahan pasangan berbeda agama. Politikus PAN itu meminta kebijakan tegas dari MA agar dapat membatalkan putusan tersebut yang dinilainya menuai polemik di masyarakat.

Pasca keluarnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023, Yandri menyatakan rasa terima kasih kepada MA atas kebijakan tersebut.

“Alhamdulillah, saya ucapkan terima kasih kepada MA. Kita semua berharap, dengan keluarnya putusan tersebut, mulai hari ini dan seterusnya tidak terjadi lagi multitafsir dari para hakim dan masyarakat terkait perkawinan beda agama,” ujar Yandri dalam keterangannya, Rabu (18/7/2023).

Penjelasan MA terkait SEMA Nomor 2 Tahun 2023

Terkait polemik ini, juru bicara Mahkamah Agung, Suharto menyatakan, mencermati adanya dua atau lebih undang-undang yang terkesan bertentangan, paling bijak adalah menggunakan asas-asas perundang-undangan.

SEMA No 2/2023, kata Suharto, pada dasarnya memberikan petunjuk kepada pengadilan di bawah MA dengan bersandarkan pada Pasal 2 UU Perkawinan ayat 1 yang menyebutkan perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

Suharto menyatakan, SEMA ini isinya memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.

“Tujuannya jelas untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dan itu juga merujuk pada ketentuan Undang Undang. Itu sesuai fungsi MA,” kata Suharto dikonfirmasi pada Rabu (18/7/2023).

Baca juga artikel terkait MENIKAH BEDA AGAMA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz