tirto.id - Indonesia berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dengan menaikkan Nationally Determined Contribution (NDC). Biodiesel menjadi salah satu cara mengejar pemangkasan emisi, sembari mendorong pemakaian energi hijau.
Pada 23 September 2022, pemerintah memperbarui komitmen NDC untuk penurunan GRK di tahun 2030, dengan membidik proporsi pemangkasan emisi sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri dan 43,2% dengan dukungan internasional.
NDC adalah dokumen yang berisi komitmen dan aksi pencegahan perubahan iklim di tingkat negara yang dikomunikasikan lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Konvensi Dana Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change Fund/UNFCCC).
Terbaru, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) dalam surat edaran Nomor: 10.E/EK.05/DJE/2022/ mengumumkan pewajiban campuran bahan bakar nabati (BBN) biodisel di bahan bakar minyak (BBM) solar sebesar 35% (B35) mulai 1 Februari 2023.
“Substitusi BBM ke BBN adalah upaya strategis dalam hal penghematan devisa akibat menurunnya impor minyak solar, peningkatan nilai tambah Crude Palm Oil (CPO), membuka lapangan kerja, sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca dan meningkatkan bauran energi baru terbarukan,” tutur Direktur Bioenergi Edi Wibowo, pada 6 Januari 2023.
Edi memaparkan target penyaluran biodisel di program B35 pada 2023 dipatok sebesar 13,15 juta kiloliter (kL), yang diproyeksi menghemat devisa negara sekitar US$10,75 miliar atau Rp167,7 triliun (asumsi kurs Rp15.600/US$).
Program ini juga diharapkan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 1.653.974 orang serta pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sekitar 34,9 juta ton CO2e (setara karbon dioksida). “Dengan implementasi B35 yang akan kita mulai per 1 Februari 2023, sekali lagi Indonesia menjadi yang terdepan dalam pemanfaatan BBN jenis biodisel,” tandas Edi.
Klaim Edi tersebut memang benar adanya. Berdasarkan laporan “Statistical Review of World Energy 2022” yang dirilis oleh British Petroleum (BP), Indonesia berada di peringkat ke-3 dunia sebagai negara dengan konsumsi BBN tertinggi ketiga setelah Amerika Serikat (AS) dan Brasil.
Raksasa ekonomi Asia Pasifik, yakni China, masih kalah dengan berada di posisi keempat dunia disusul Jerman dan Prancis. Bahkan gabungan konsumsi BBN China dan Jerman masih lebih rendah dari total konsumsi BBN Indonesia.
Target Biodisel Nasional
Melansir situs EBTKE, sudah hampir 15 tahun negeri ini mengimplementasikan program biodiesel wajib, yang pertama kali diperkenalkan di tahun 2008 dengan kadar campuran biodisel sebesar 2,5%.
Keputusan tersebut dilandasi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.3 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan Bakar Lain. Lalu, keputusan tersebut diperbaharui dengan Peraturan Menteri ESDM No.12 tahun 2015.
Pada 2010 kadar campuran mulai dinaikkan ke 7,5% lalu ke 10% dan 15% pada 2011 hingga 2015. Selanjutnya per 1 Januari 2016, kadar biodisel naik ke 20% (B20). Empat tahun setelahnya, yakni 2019, pemerintah menguji coba kadar 30% (B30) dan diberlakukan efektif per 1 Januari 2020.
Merujuk ketetapan terbaru ESDM, program wajib biodisel diterapkan pada usaha mikro, usaha periklanan, usaha pertanian, transportasi dan pelayanan umum/PSO (public service obligation), transportasi non-PSO, industri dan komersial. Selanjutnya pada 2018, program mandatori B20 dijalankan masif di semua sektor.
Intensifikasi penambahan campuran untuk program wajib biodisel dijalankan untuk mengejar target peningkatan bauran EBT menjadi 23% di tahun 2025 dari hanya 11% di 2022. Kemudian di 2030 diharapkan Indonesia bisa memproduksi BBN hingga 30 juta kL.
Ironisnya, meski sudah berlangsung 1 dekade lebih, program biodisel wajib masih belum cukup membuat kapasitas terpasang BBN di perusahaan lokal terpakai optimal. Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menjabarkan bahwa kapasitas produksi biofuel per 2022 di kisaran 16,66 juta kL, dan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dari figur tersebut terlihat bahwa kapasitas produksi biodisel mengalami peningkatan yang cukup signifikan setelah pemerintah memperbarui ketetapannya dan merilis target konsumsi hampir di seluruh sektor pada tahun 2015.
Meski demikian, jumlah produksi biodisel hingga kini tak pernah mampu memaksimalkan kapasitas terpasang yang ada. Terlebih lagi, pemerintah kerap meningkatkan jumlah persentase campuran tetapi total produksi belum dapat menyentuh kapasitas terpasang.
Berdasarkan figur di atas, Aprobi mencatat pada Januari hingga November 2022, total produksi biodisel sekitar 10,77 juta kL atau 65% dari total kapasitas produksi di tahun yang sama. Sementara itu, realisasi konsumsi belum sampai 90% dengan penyerapan 9,44 juta kL.
Ini berarti pada tahun 2022 terjadi penurunan kinerja dari sisi penyerapan konsumsi dibandingkan 2020 dan 2021 yang berada di kisaran 98%.
Mantan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS) Dono Boestami menilai tantangan utama program ini terletak di aspek logistik dan infrastruktur, berupa fasilitas penyimpanan yang belum mencukupi, demikian juga fasilitas logistik.
Kemudian juga terdapat kendala pada kesiapan konsumen terutama di sektor transportasi, sebagaimana dilansir BPDP. Alasan serupa diungkap Ditjen EBTKE terkait keterbatasan fasilitas penyaluran dan kapal pengangkut dengan spesifikasi yang memenuhi syarat. Akibatnya, biaya penyaluran lebih tinggi dari biaya pengangkutan BBM.
Tantangan lain adalah program wajib biodisel sangat bergantung pada mekanisme insentif dari pungutan dan bea keluar CPO dan turunannya. Untuk diketahui, jika harga ekspor biodisel lebih rendah dibandingkan harga impor minyak solar, maka tidak ada insentif (selisih kurang Harga Indeks Pasar/HIP) yang dibayarkan ke pemerintah, dan sebaliknya.
Risiko Program Wajib Biodisel
Di lain pihak, beberapa ekonom dan pakar energi menilai pemerintah perlu mengkaji ulang program wajib biodisel B35. Meski menjadi salah satu EBT dengan pasokan tinggi di Indonesia, dampak lingkungan yang ditimbulkan juga patut diwaspadai.
Perlu diketahui campuran biodisel memakai produk turunan CPO yakni Fatty Acid Methyl Ester (FAME).
Manajer Riset Traction Energi Asia Fariz Panghegar menilai emisi biodisel berbasis CPO cukup besar jika memasukkan emisi sejak fase penanaman yakni dari alih fungsi lahan, pembibitan, pemupukan, penggunaan BBM untuk distribusi, hingga penggunaan listrik.
Risiko lingkungan selain emisi adalah pembukaan lahan sawit baru untuk memenuhi permintaan biodisel. Pemerintah telah mengantisipasi dengan kebijakan moratorium sawit melalui Inpres No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Akan tetapi, risiko ekspansi lahan tidak serta-merta hilang, karena kemungkinan terjadinya pelanggaran moratorium, terutama di kalangan petani lokal yang seporadis dan susah terdeteksi.
Tim peneliti LPEM FEB UI melakukan analisis proyeksi defisit lahan sawit dengan beberapa skenario intensifikasi:
- Jika diterapkan B20 dari 2018-2025
- Jika diterapkan B30 dari 2020-2025
- Jika diterapkan B50 dari 2021-2025
Mengacu pada tabel itu, kebutuhan lahan sawit baru tak terelakkan untuk memenuhi defisit CPO akibat peningkatan permintaan biodisel di program B35. Mempertimbangkan temuan tersebut, maka potensi pembukaan lahan baru sangat mungkin terjadi. Artinya, ada risiko terjadi deforestasi lanjutan jika program ini digencarkan secara total.
Pemerintah pun didorong mencari alternatif produk campuran selain CPO, yang lebih ramah lingkungan dengan biaya produksi efisien untuk mengatasi persoalan biodisel. Periset Traction Energi Asia merekomendasikan penggunaan minyak jelantah (used cooking oil/UCO) sebagai pengganti FAME.
Menurut studi mereka, minyak jelantah rumah tangga bisa mencapai 1,2 juta kL/tahun, atau dekat dengan temuan Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 1,6 juta kL/tahun. Dari situ bisa dihasilkan 955.000 kl biodisel atau sekitar 10% dari target pengadaan BBN 2022 (yang sebesar 10 juta kL).
Studi yang sama menemukan minyak jelantah menghasilkan emisi lebih rendah. Dalam skema B30 yang semua bahan bakunya dari CPO, emisi yang ditimbulkan mencapai 70,88 juta ton CO2e. Sementara itu, campuran 10% UCO hanya memicu emisi 69 juta ton CO2e dan menurun ke 48,9 juta ton CO2e.
Mengacu pada temuan di atas, ada baiknya pemerintah mengkaji ulang program wajib biodisel B35, khususnya di tingkat teknis, agar sesuai dengan daya suplai CPO sehingga tak memicu ekspansi berlebihan perkebunan terutama di tengah moratorium lahan sawit.
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono