tirto.id - Partai politik di luar parlemen tak mau ketinggalan dengan parpol yang saat ini eksis di Senayan. Menghadapi Pemilu 2024 yang semakin dekat, partai non-parlemen melakukan sejumlah manuver politik untuk mengerek elektabilitas mereka. Salah satunya dengan menggaet bakal capres-cawapres yang bermunculkan. Tujuan mereka tentu adalah efek ekor jas.
Terbaru misalnya Partai Ummat. Parpol baru yang didirikan Amien Rais ini berupaya mendekati Anies Baswedan, bakal capres dari Koalisi Perubahan yang terdiri dari Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan PKS. Eks gubernur DKI itu diundang ke rakernas pertama mereka yang akan digelar pertengahan Februari ini.
Ketua Umum DPP Partai Ummat, Ridho Rahmadi membenarkan bila partainya mengundang Anies ke acara rakernas. Ia bahkan menyerahkan langsung undangan sekaligus silaturahmi dengan menemui Anies di Pendopo Anies Baswedan yang berlokasi di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Jumat (3/2/2023).
“Kami bermaksud mengundang Pak Anies untuk berkenan hadir di agenda rakernas pertama kami, sekaligus kami meminta Pak Anies untuk dapat memberikan pandangan-pandangan tentang Indonesia ke depan di hadapan lebih dari seribu kader Partai Ummat dari seluruh Indonesia,” kata Ridho dalam keterangan yang diterima Tirto, Minggu (5/2/2023).
Anies yang menerima undangan pun sempat berdiskusi dengan Ridho tentang situasi politik nasional. Ridho yang juga menantu eks Ketua MPR, Amien Rais itu menceritakan sejarah dan proses Partai Ummat menjadi peserta Pemilu 2024. Anies langsung mengaku bersedia hadir.
“Alhamdulillah dan terima kasih atas undangan Mas Ridho, dan Insyaallah nanti saya jadwalkan hadir,” jawab Anies.
Respons positif Anies tersebut disambut gembira kader Partai Ummat. Ketua Umum Permata Ummat, organisasi perempuan Partai Ummat, Euis Fety Fatayaty mengaku senang dengan kesediaan Anies hadir. Mereka berharap Anies bisa dideklarasikan sebagai bakal capres dari Partai Ummat.
“Hampir semua kader perempuan yang ada di struktur partai dan di Permata Ummat se-Indonesia menginginkan agar Anies Baswedan nantinya dapat disahkan sebagai capres pilihan Partai Ummat,” kata Euis dalam keterangan tertulis.
Hal yang hampir mirip juga dilakukan partai non-parlemen lainnya. Misalnya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan menawarkan bakal pasangan calon Ganjar Pranowo dan Yenny Wahid. Ganjar adalah gubernur Jawa Tengah yang namanya selalu di tiga teratas yang dirilis sejumlah lembaga survei. Sementara Yenny merupakan putri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gusdur.
Manuver PSI ini bahkan membuat PDI Perjuangan, partai di mana Ganjar berasal kesal. Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie pun langsung meminta maaf kepada Megawati karena telah menjadikan kader PDIP sebagai bakal capres di Pemilu 2024.
Grace menyadari bahwa partai yang dimaksud Megawati 'mendompleng' kader PDIP adalah PSI.
“Kami paham bahwa apa yang disampaikan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri dalam pidato di acara HUT ke-50 PDIP ditujukan ke PSI. Untuk itu, dalam kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, PSI meminta maaf kepada Ibu Mega,” kata Grace dalam video singkat yang dibagikan pada Rabu (11/1/2023).
Grace mengklaim partainya diisi oleh anak muda yang masih belajar. Sehingga meminta hal itu dimaklumi oleh pengurus PDIP yang dianggapnya sudah senior dalam berpolitik. “PSI partai muda, kami masih awam dan naif. Kami kurang memahami mekanisme rekrutmen di PDIP," terangnya.
Ia juga memuji PDIP sebagai partai penghasil kader unggulan dengan melahirkan dua pemimpin yang dianggap unggulan oleh PDIP, seperti Joko Widodo dan Ganjar Pranowo.
Mengejar Efek Ekor Jas
Peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai, aksi Partai Ummat dan PSI tidak lepas dari keinginan kedua parpol untuk mendapatkan elektabilitas dari figur kandidat capres potensial. Ia sebut partai berharap agar pemilih mau melihat mereka dan akan memilih pada Pemilu 2024.
“Strategi ini adalah pilihan rasional dan adaptif mengingat parpol non-parlemen terus berupaya membangun eksistensi dan popularitas. Maka dengan ikut tren soal nominasi capres, parpol non-parlemen bisa ikut naik pula,” kata Wasisto, Rabu (8/2/2023).
Wasisto menuturkan, target dari kegiatan tergantung pada isu yang digaungkan bersama dengan kandidat bakal capres terkait. Namun ia meyakini bahwa salah satu target adalah meraup suara.
Lantas, apakah partai non-parlemen bisa mendapatkan efek elektoral secara signifikan dari strategi tersebut? Wasisto menilai, masalah perolehan elektabilitas dari kandidat bergantung pada kedekatan partai nonparlemen dengan kandidat capres.
Wasisto menuturkan, kasus PSI dan Partai Ummat bisa dikategorikan serupa, tapi tak sama. Ia beralasan, Partai Ummat lebih beruntung karena kedekatan Anies dengan Ketua Majelis Syuro Partai Ummat, Amien Rais.
Kedekatan politik Anies dan Amien Rais telah dibangun sejak Pilkada 2017. Hal ini membuat Partai Ummat berkemungkinan besar menerima efek elektoral. Sementara dalam kasus PSI dan Ganjar, kata Wasisto, belum bisa diasosiasikan dekat antara Ganjar dan PSI.
“AR [Amien Rais] setidaknya sudah memiliki kedekatan AB [Anies] setidaknya dalam kampanye Pilgub DKI 2017 dan serangkaian aksi populisme Islam. Hal tersebut yang bisa membuat sinergisitas simbol antara Partai Ummat dengan AB,” kata Wasisto.
“Namun GP [Ganjar Pranowo], saya belum yakin dekat secara personal dengan beberapa elite PSI. Meskipun ada beberapa elite PSI yang juga tergabung dengan Teman Ganjar misalnya saja Dedek Prayudi,” tutur Wasisto.
Wasisto mengatakan bahwa langkah politik seperti PSI maupun Partai Ummat bisa terjadi di masa depan. Namun, semua kembali pada kedekatan antara partai politik dengan kandidat potensial yang dijadikan target.
“Kembali lagi pada faktor kedekatan personal dulu. Itu yang jadi kunci sebenarnya karena pada dasarnya parpol non-parlemen belum bisa menawarkan tambahan prosentase suara agar bisa kuorum memenuhi ambang batas pemilu presiden, jadi kedekatan itu jadi faktor penting,” kata Wasisto.
Sementara itu, analis dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah menilai, aksi PSI maupun Partai Ummat adalah hal wajar dalam politik. Hal itu lumrah dan terbukti dari segi teori politik dikenal sebagai bandwagon effect.
“Jadi teori ini (bandwagon effect) menceritakan tentang kelompok-kelompok politik termasuk partai politik utamanya adalah mereka yang baru yang belum dikenal secara masif, belum dikenal secara luas akan menggunakan popularitas tokoh-tokoh politik maupun tokoh-tokoh publik untuk kemudian dijadikan sebagai sandaran agar mereka bisa meningkat elektabilitasnya, termasuk juga popularitasnya,” kata Dedi kepada Tirto.
Dedi menuturkan, aksi PSI terkait Ganjar-Yenny adalah hal yang dikategorikan sama dalam teori bandwagon effect sebagaimana yang dilakukan Partai Ummat. Akan tetapi, Partai Ummat memiliki dampak lebih baik karena Partai Ummat sudah tegas ingin meraup suara pemilih Anies. Ia menduga, aksi Partai Ummat ingin meraup pemilih di luar partai koalisi besar di Koalisi Perubahan.
Bagi Dedi, aksi PSI maupun Ummat akan lebih baik daripada partai lain yang tidak bergerak sama sekali.
“Jika dibandingkan dengan partai politik yang diam gitu, tidak mengusung ke sana kemari dengan dalih bahwa mereka bukan partai-parlemen, tidak bisa mengusung sehingga mereka tidak juga memunculkan figur-figur yang kira-kira sedang ramai untuk disukai oleh publik, maka cara-cara yang dilakukan PSI dan Partai Ummat ini cukup masuk akal dan perlu, tetapi itu hanya sebatas untuk meningkatkan popularitas, tidak lantas kemudian signifikan,” kata Dedi.
Pada kasus Partai Ummat, kata dia, mereka akan mendapat efek besar jika partai besutan Amien Rais itu memberikan panggung kepada Anies. Pertama, konsolidasi Partai Ummat akan lebih kuat. Kedua, Partai Ummat akan mendapat promosi kepada publik tentang aktivitas mereka di masa depan.
“Artinya apa? Anies Baswedan dijadikan pemantik supaya kelompok-kelompok yang tadi di awal saya sebutkan, yang mereka bukan Nasdem, bukan Demokrat dan juga bukan PKS punya potensi untuk memilih umat berdasarkan karena umat mengusung Anies Baswedan,” kata Dedi.
“Jadi tetap saja muaranya adalah muara dari Anies Baswedan, lalu dampaknya akan pergi ke partai,” kata Dedi.
Dedi menilai, manuver politik seperti PSI dan Partai Ummat akan ditiru partai lain. Hal itu tidak lepas dari kebutuhan partai lain pada figur capres potensial tersebut. Ia pun menilai, partai kecil juga akan melakukan hal yang sama seperti PSI dan Partai Ummat karena mereka butuh untuk lolos parlemen.
Ia pun menduga, aksi tersebut bisa dilakukan sebelum maupun setelah pendaftaran. “Partai yang afiliasi gerakan politiknya jelas, maka pebih cepat lebih baik, jelas dalam artian target pasar partai, [Partai] Ummat misalnya tentu mengejar karakter pemilih muslim dan kelompok gerakan politik, PSI menjadi antitesa Ummat," kata Dedi.
Dedi menambahkan, “Sementara partai dengan sebaran umum seperti Perindo, PKN dan lainnya, bisa lebih lambat hingga benar-benar sudah dipastikan siapa yang akan bertarung.”
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz