tirto.id - "Saya punya pengalaman pribadi yang dalam dan bersahabat dengan insan pers sejak menjadi wali kota, menjadi gubernur dan menjadi presiden. Saya ke sana kemari, runtang-runtung, saya jalan bareng ke kampung, ke pasar, ke desa, ke nelayan dengan rekan-rekan wartawan dan terbukti insan pers telah membuka harapan orang biasa seperti saya bisa menjadi presiden.”
Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo saat membacakan pidato Hari Pers Nasional 2023 di Medan, Sumatera Utara, Kamis (9/2/2023). Jokowi tidak hanya menceritakan pengalaman bahagianya yang bisa menjadi presiden karena peran pers, tetapi juga mengucapkan terima kasih atas kehadiran pers.
Jokowi menilai pers telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan negara. Ia pun menyebut kontribusi tersebut sudah dilakukan sejak lama.
“Sejak awal awak media berkontribusi besar dalam menyuarakan ajakan perjuangan kemerdekaan, menyuarakan inovasi-inovasi pembangunan dan menjadi penopang utama demokratisasi,” kata Jokowi.
Jokowi menyinggung sejumlah masalah yang kini dihadapi media. Salah satu hal yang ikut disinggung Jokowi dalam Hari Pers Nasional 2023 adalah upaya menghadapi Pemilu 2024. Jokowi meminta media untuk tetap teguh pada idealisme, objektif, dan tidak terjebak pada polarisasi politik.
Jokowi berharap, media mampu mendorong pelaksanaan Pemilu 2024 secara jujur, adil dan mengedepankan pemberitaan untuk kepentingan bangsa.
“Media massa harus tetap menjadi pilar demokrasi yang keempat dan menjadi referensi utama bagi masyarakat dalam mendapatkan informasi,” kata Jokowi.
Pernyataan Jokowi tersebut tidak bisa kita lepaskan dari bagaimana posisi media yang menempelnya sejak di Kota Solo sebagai wali kota. Jokowi semakin diperhatikan media hingga berhasil menang pada Pilkada DKI 2012.
Jokowi pun mendapat dukungan dari Partai Nasdem yang dipimpin oleh Surya Paloh, yang notabene salah satu pemilik media nasional Media Indonesia. Ia juga mendapat dukungan resmi dari media Kompas Gramedia, The Jakarta Post pada Pemilu 2014.
Pada Pemilu 2019, Jokowi tidak hanya kembali didukung oleh Partai Nasdem. Partai Perindo yang dinakhodai bos MNC Group, Hary Tanoesoedibjo juga mendukung Jokowi.
Analis komunikasi politik dan media dari Universitas Multimedia Nusantara, Silvanus Alvin mengapresiasi sikap Jokowi yang tidak lupa soal peran media dengan menyebut berperan membesarkan namanya. Akan tetapi, Alvin menekankan, media hanya sebagai penguat dari narasi yang ada.
“Media pers itu hanyalah medium yang berperan sebagai amplifier atau penguat efek. Media pers juga bukan medium sulap yang bisa menjadikan seorang individu kemudian jadi presiden secara tiba-tiba,” kata Alvin, Kamis (9/2/2023).
Media, kata Alvin, memang memainkan posisi sentral dalam ranah komunikasi politik. Media kerap dipandang publik atau masyarakat umum sebagai institusi yang dapat menentukan benar atau salah.
Dalam kasus Jokowi, Alvin menilai, media tidak datang dan meliput begitu saja, melainkan posisi Jokowi yang memiliki news value sejak awal. “Jadi tidak bisa siapa saja karena sering diliput media atau sering tampil bisa melejit karier politiknya menjadi presiden,” kata Alvin.
Alvin menjelaskan bahwa ada sejumlah syarat ketika seseorang bisa diliput. Pertama, news value. Hal ini dilihat dari perkataan dan sikap Jokowi yang kerap menjadi sound-bite yang menarik bagi media sehingga jadi media darling.
Kedua, kata dia, Jokowi adalah anomali politik. Ia menonjolkan kesederhanaan yang seakan merefleksi masyarakat Indonesia apa adanya semasa wali kota hingga ke gubernur sehingga media terus mengikuti perkembangan ini.
Ketiga, dari sisi media relations, Jokowi punya hubungan personal yang baik dengan para wartawan yang sehari-hari meliput dirinya. Hal itu dilihat dari cara Jokowi memanggil nama kecil si wartawan hingga mengundang para wartawan ke acara nikahan 3 anaknya. Ketika wartawan itu diingat, kata Alvin, pewarta akan tersanjung dan merasa diapresiasi sehingga imbal baliknya juga positif.
Keempat, Jokowi menjalin hubungan baik dengan para pemimpin redaksi, termasuk para pimpinan parpol yang memiliki media tertentu. Ada media-media tertentu di Indonesia yang sudah bersikap terhadap tokoh politik tertentu.
“Nah Jokowi ini rasanya tidak pernah bersebrangan dengan ideologi media manapun sehingga tidak ada batasan dari sisi media untuk meliput Jokowi," kata Alvin.
Alvin tidak memungkiri ada korelasi afiliasi parpol dengan media dan Jokowi memiliki saling keterkaitan. Jika dilihat dari level literasi politik dan cabang ilmu sosial lainnya, Alvin tidak menafikan bahwa sudah banyak penelitian yang dipublikasi terkait konglomerasi media.
“Sudah jadi rahasia umum bahwa media tertentu punya afiliasi partai sehingga publik tidak terlalu mudah dipersuasi. Berbeda dari Jokowi yang membawa kesan sederhana dan orisinalitas,” kata Alvin.
Ia mencontohkan eks Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama yang menjadi media darling kala itu. Apa yang dilakukan Basuki saat itu akan diliput baik dan buruk pandangannya dengan pihak lain. Salah satu hal ikonik adalah soal politik marah-marah yang kini diikuti politikus lain.
“Nah pemilik media sulit sekali menyamakan diri jadi Jokowi karena mereka sudah ada label elite. Bahwa yang dilakukan hanya manajemen impresi di ranah politik. Bahasa umumnnya hanya pencitraan. Kembali ke elemen dasar dari sebuah berita yang patut diberitakan dan dibaca adalah yang punya news value,” kata Alvin.
“Kembali ke pernyataan Jokowi, semua orang jika diliput media bisa jadi presiden bila orang tersebut punya news value tinggi,” kata Alvin menambahkan.
Di sisi lain, kata Alvin, media harus independen di Pemilu 2024. Ia menilai media harus menjaga iklim bangsa sebagaimana pesan Jokowi. Ia menilai, media tidak boleh berpihak.
Sementara itu, Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin mengingatkan, Jokowi bisa menjadi besar karena media bukan faktor dia sebagai orang biasa, tetapi sebagai masyarakat yang memegang mandat jabatan.
Media, kata Ade, hadir dalam rangka menyampaikan informasi kegiatan Jokowi selaku pejabat publik. Akan tetapi, Ade menilai, posisi Jokowi juga tidak lepas dari partai yang memiliki afiliasi media saat mendukungnya hingga menjadi presiden.
“Sehingga dalam konteks itu, media hadir untuk memberikan informasi kepada publik tentang orang yang akan memikul tanggung jawab itu. Meskipun kita tidak menutup mata bahwa ada beberapa media yang secara kepemilikan dekat dengan partai politik,” kata Ade.
Ade tidak memungkiri bahwa media mampu membuat seseorang bisa mendapatkan jabatan tinggi di pemerintahan. Namun, pers punya tanggung jawab untuk bertugas sebagai lembaga kontrol sosial atas tindakan seseorang saat menjadi pejabat.
“Sangat bisa, semakin jabatan seseorang tinggi dan memiliki kepentingan publik, media melakukan tugasnya sebagai lembaga kontrol sosial, konsekuensinya pejabat publik tersebut akan sering menjadi pokok berita dan terkenal/menjadi besar," kata Ade.
Ade menilai, media harus lebih independen dalam menghadapi Pemilu 2024. Ia paham ada parpol yang memiliki afiliasi dengan pemilik media. Namun, media harus tetap independen karena mereka menggunakan frekuensi publik.
Ia berharap media tetap independen dan lembaga yang berkaitan dengan pers bisa menindak jika ada pelanggaran etik jurnalistik.
“Media harus menjaga independensinya apabila ingin tetap mendapatkan kepercayaan publik. Dewan Pers dan KPI harus aktif melakukan pengawasan dan penindakan apabila didapati media melanggar kode etik,” kata Ade.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz