tirto.id - Sejumlah tempat pembuangan sampah (TPS) di wilayah Yogyakarta kini dihiasi selembar spanduk berwarna kuning mencolok. Spanduk itu memuat pesan agar warga hanya membuang sampah organik di TPS itu.
Pesan tersebut merupakan kelanjutan dari Surat Edaran Walikota Jogja No. 660/6123/SE/2022 tentang Gerakan Zero Sampah Anorganik yang terbit akhir Desember 2022. Mulai Januari lalu, edaran tersebut mulai diterapkan.
Setelah sebulan pelaksanaan, kebijakan itu berhasil mengurangi sampah sekira 20 ton per hari. Menurut data berat sampah dari Dinas Lingkungan Hidup (DLHK) DI Yogyakarta, sampah di Kota Yogyakarta berkurang dari 309 ton per hari pada Desember 2022, menjadi 281 ton per hari di Januari 2023.
Kendati demikian, pengurangan tersebut belum signifikan. Bila dibandingkan dengan produksi sampah pada Januari 2022, seberat 275 ton per hari, produksi sampah pada awal 2023 justru terbilang meningkat.
Di beberapa TPS pun warga masih diperbolehkan membuang sampah anorganik.
Bejo, petugas TPS di Jalan Munggur yang tak jauh dari DLHK Kota Yogyakarta, menerangkan masih ada warga yang membuang sampah anorganik di wilayahnya. Alhasil, petugas sampah di depo itu masih melakukan pemilahan.
Sedikit perubahan yang terlihat dari TPS itu adalah perihal pencatatan. Ada pencatatan identitas bagi penduduk Kabupaten Bantul atau Kabupaten Sleman yang membuang sampah di TPS wilayah Kota Yogyakarta.
Selebihnya, berat sampah yang dihasilkan di wilayah Sleman, Bantul dan Yogyakarta tetap meningkat. Pada Januari 2023, ketiga daerah itu menghasilkan 764 ton per hari—naik 26 ton jika dibandingkan rata-rata berat sampah pada 2022.
Sejumlah sampah itulah yang terus dikirim ke TPA Piyungan hingga overload.
Jito, Kepala Balai Pengelolaan Sampah DLHK DIY menegaskan hal yang sama. Di tengah situasi lahan yang semakin menyempit, ia menyadari Tempat Pembungan Akhir (TPA) Piyungan tak akan bertahan lama jika terus menerima sampah berskala besar.
“Sebenarnya Piyungan ini, kan, dibangun tahun 1995, operasi 1996. Tapi umur pakainya sebenarnya sampai 2012,” jelas Jito ketika diwawancara kontributor Tirto, Jumat (25/2/2023).
Sementara itu, optimalisasi TPA Piyungan hanya sebatas perluasan lahan. Jito berkata bahwa persoalan sampah semestinya bukan tanggung jawab pemerintah sepenuhnya. Masyarakat, kata Jito, juga harus berupaya mengelola sampahnya sendiri.
“Yang namanya sampah, itu tanggung jawab utamanya di penghasil sampah,” kata Jito. “Untuk menguranginya ya mulai dari rumah.”
Sinkronisasi antara Provinsi dan Kabupaten-Kota
Meski Kota Jogja telah mencanangkan gerakan sampah zero anorganik, sampah di kabupaten lain tetap membeludak. Kabupaten Sleman tetap menjadi wilayah dengan produksi sampah terbesar dibanding kabupaten dan kota lainnya.
Pada Januari 2023, Sleman menghasilkan 323 ton sampah per hari, sementara Kota Yogyakarta memproduksi 281 ton per hari. Pada 2022 juga menunjukkan riwayat yang sama: Sleman sebagai penghasil sampah terbesar, sebanyak 290 ton per hari—hampir 30 ton lebih banyak daripada Yogyakarta.
Nur Azizah, kandidat doktor Australian National University, menyebut hal di atas sebagai ketidaksinambungan tata kelola sampah antara kabupaten dan kota serta provinsi.
Dosen yang kini meneliti tata kelola sampah di DIY itu menjelaskan, kesinambungan menjadi sulit, sebab persoalan hulu dan hilir sampah tak ditangani oleh satu instansi yang sama. Padahal, sebelum 2015, persoalan hulu dan hilir sampah di DIY dikelola oleh satu lembaga, yaitu Sekber Kartamantul. Menurutnya, koordinasi antara kabupaten dan kota kala itu lebih mudah.
“Tapi setelah bagian TPA-nya diambil pemerintah provinsi, persoalan koordinasi jadi tantangan tersendiri. Misalkan pemerintah provinsi (TPA Piyungan) ada pembatasan, tapi kabupaten atau kota tidak membangun TPS 3R yang difasilitasi recovery material facilities—yang bisa memilah sampah—tetap saja overload, tidak ada perubahan volume sampah yang masuk ke TPA,” jelas Azizah.
Azizah juga mempertanyakan kesiapan industri pendauran ulang yang ada di DIY. Pasalnya Azizah menemukan, hanya sedikit pilahan sampah yang akhirnya dikelola di DIY. “Pabrik (daur ulang) yang paling dekat itu Klaten atau Solo, atau ya Jawa Timur,” imbuh Azizah.
Kurangnya Dana
Selain problem sinkronisasi, Azizah menyatakan minimnya APBD provinsi untuk pengelolaan TPA Piyungan. Sepenuturan Azizah, dana penanganan sampah TPST Piyungan berkisar Rp8-9 miliar dari 2018 hingga 2020.
Dana tersebut, bagi Azizah, masih amat sedikit jika metode sanitary landfill benar-benar hendak diterapkan di TPA Piyungan. “Untuk luasan TPA Piyungan itu, 3-4 bulan sudah habis dananya,” tegas Azizah.
Kenaikan anggaran baru terjadi belakangan. Berdasarkan Pergub Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Penjabaran APBD di 2022, anggaran penanganan sampah untuk TPA regional meningkat hingga Rp27 miliar.
Sementara itu, tambah Azizah, ada banyak daerah lain yang terlihat lebih serius dalam menganggarkan dananya untuk sampah. TPA Benowo, yang mengelola 1.500 ton sampah per hari–dua kali lipat dari jumlah sampah Piyungan–menganggarkan Rp280 hingga 290 miliar per tahun
Bagaimana Warga Bertahan dari Gempuran Sampah?
Sementara tata kelola sampah di DIY masih semrawut, masyarakat tak punya banyak pilihan. Sufyan, pedagang angkringan di bilangan Munggur, merasa sulit untuk melakukan pemilahan dan pengolahan sampah secara mandiri. Meski telah mendapatkan sosialisasi, Sufyan masih membuang sampah di TPS di dekat rumahnya.
Pasalnya, selepas subuh hingga sekira pukul delapan malam, Sufyan harus menjaga angkringan yang persis berada di depan rumahnya. Karena itu, ia merasa tak punya waktu untuk memilah-milah sampah seperti Surat Edaran Walikota.
Menurut Yoshi Fajar, arsitek sekaligus peneliti kampung kota, fenomena yang dialami Sufyan memang lumrah terjadi di perkotaan. Dan fenomena itu juga terkait erat dengan tata ruang perkotaan yang semakin sempit.
Sebelum perumahan berjamuran di kota-kota, menurut Yoshi, beberapa elemen warga sebetulnya telah memiliki mekanisme pengolahan sampahnya sendiri.
Yoshi mencontohkan warga kampung-kampung kota yang berada di Bantaran Kali Code. Di daerah tersebut, warga mengelola sampah dengan berbagai cara, mulai dari menjual, menimbun hingga membakar.
Cara kelola itu mereka lakukan bukan hanya untuk memperoleh manfaat ekonomi. Dalam beberapa kasus, warga Kali Code menimbun sampah di pinggir sungai hingga terbentuk sedimentasi. Pengelolaan sampah yang mereka lakukan, karenanya, menjadi sebentuk cara untuk mengakuisisi ruang.
Yoshi juga menambahkan, mekanisme tersebut tercipta akibat produk tak ramah lingkungan yang terus menggempur mereka. Karena itu, bagi Yoshi, warga tersebut bukanlah penghasil, melainkan pihak yang terdampak oleh sampah.
“Pada dasarnya semua orang di kampung kota itu pemulung,” terang Yoshi kepada kontributor Tirto. “Kalau soal gaya hidup, semisal memilah sampah, itu sudah selesai lah kalau di masyarakat, terutama yang kelas bawah.”
Penulis: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Editor: Abdul Aziz