Menuju konten utama

Kontroversi Penghancuran Rumoh Geudong & Potensi Konflik Sosial

Direktur PASKA Aceh, Farida Haryani sebut penghancuran sisa-sisa fisik Rumoh Geudong adalah pembodohan pada publik.

Kontroversi Penghancuran Rumoh Geudong & Potensi Konflik Sosial
Korban kekerasan HAM Aceh menghadiri Hari Kebenaran dan Martabat korban di Rumoh Geudong, 24 Maret 2017. FOTO/Reza Idria

tirto.id - Aceh dibangun dari nestapa --juga ingatan-- penuh perjuangan dan luka. Rumoh Geudong, merupakan salah satu luka yang tergores dalam tinta sejarah Aceh. Bangunan yang terletak di Gampong Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie ini, merupakan saksi bisu atas kekejaman sebuah era di masa lampau. Suatu penanda yang seharusnya mengingatkan, negeri ini punya pekerjaan rumah untuk tak mengulang catatan kelam.

Namun pekerjaan rumah tersebut tampaknya makin menumpuk. Sisa-sisa fisik dari bangunan Rumoh Geudong, kini telah rata dengan tanah. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pidie memutuskan untuk menghancurkan sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong pada Rabu, 21 Juni 2023. Bangunan yang menyimpan kenangan pedih – sekaligus bukti fisik — pernah terjadinya kejahatan luar biasa pada masyarakat Aceh itu, tinggal nama semata.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyesalkan keputusan Pemkab Pidie menghancurkan sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong. Penghancuran bangunan tersebut dinilai memunculkan pertanyaan terkait keseriusan negara dalam upaya menuliskan ulang sejarah Indonesia, serta memorialisasi pelanggaran HAM berat di Aceh.

“Situs ini telah menjadi monumen peringatan karena memiliki nilai budaya, sejarah, dan simbolik yang sangat besar, yaitu menjadi pengingat akan penderitaan yang dialami rakyat Aceh selama konflik bersenjata dan agar kejadian serupa tidak terulang kembali,” kata Usman dalam keterangannya, Kamis (22/6/2023).

Rumoh Geudong merupakan salah satu bekas Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) di Sektor A-Pidie selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998). Ketika status DOM dicabut pada 20 Agustus 1998, Rumoh Geudong dibakar massa. Menyisakan sebuah tangga batu dan beberapa sisa-sisa fisik bangunan yang luluh lantak bekas terlalap api.

Usman berpendapat, Rumoh Geudong merupakan tempat penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan pembunuhan yang paling diingat dan dikenang oleh rakyat Aceh. Maka merobohkannya, juga merupakan suatu tindakan penghancuran pada bukti-bukti penting terkait pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Seharusnya monumen ini dirawat, bukan dihancurkan,” ujar Usman.

Laporan Komnas HAM pada 2018 menyimpulkan, di Rumoh Geudong dan Pos Sattis lainnya telah terjadi dugaan pelanggaran HAM berat berdasarkan bukti yang cukup. Kopassus TNI AD, mengacu catatan Komnas HAM, merupakan pelaksana lapangan di setiap sektor Pos Sattis.

Kejahatan tersebut dilakukan dalam bentuk perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara penyiksaan, pembunuhan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, serta penghilangan orang secara paksa.

Hal senada diungkapkan Direktur YLBHI - LBH Banda Aceh, Syahrul. Ia menegaskan, pemerintah secara terang benderang telah menghancurkan, merusak dan menghilangkan situs penting yang semestinya bisa menjadi barang bukti untuk kebutuhan yudisial kasus tersebut.

“Ini salah satu sikap sistematis dan terencana negara dalam memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat,” kata Syahrul dalam keterangannya.

Kaitan dengan Rencana Kedatangan Presiden

Syahrul mencurigai, penghancuran sisa-sisa fisik Rumoh Geudong tersebut berkaitan dengan rencana kedatangan Presiden Joko Widodo dalam kick off pelaksanaan rekomendasi Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat (PKPHAM), yang akan digelar di lokasi tersebut pada 27 Juni 2023.

Menurut Syahrul, Tim TPPHAM yang dibentuk justru melanggengkan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh. Penyelesaian seharusnya dilakukan lewat pengadilan HAM atau secara yudisial berdasarkan rekomendasi Komnas HAM.

Upaya pemerintah menyelesaikannya dengan cara non-yudisial menjadi sorotan karena terkesan menjauhkan upaya penetapan pelaku. Apalagi bukti fisik berupa sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong juga ikut diratakan.

“Seharusnya pemerintah justru mengedepankan adanya peradilan HAM untuk memeriksa kasus-kasus yang telah terjadi. Hal ini sejalan dengan upaya Komnas HAM yang telah melakukan penyelidikan untuk kasus-kasus tersebut,” sambung Syahrul.

Untuk diketahui, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan pro-justitia Pos Sattis Rumoh Geudong serta melaporkan temuannya kepada Jaksa Agung untuk penyelesaian kasus ini. Namun hingga saat ini belum ada langkah penyelesaian kasus ini secara yudisial.

Di sisi lain, TPPHAM dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu. Adapun kegiatan kick off di Kabupaten Pidie pada akhir Juni nanti, merupakan bagian dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat.

Penjabat Bupati Pidie, Wahyudi Adisiswanto menyatakan, pemusnahan sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong memang berkaitan dengan rencana kedatangan Jokowi. Ia tak mempersoalkan penghancuran sisa-sisa fisik bangunan Rumoh Geudong karena diklaimnya bukan sebuah situs sejarah.

“Justru saya melihat ada motivasi yang salah ketika kita membiarkan ada kenangan-kenangan luka. Ini bukan situs sejarah,” kata Wahyudi dikutip dari Sinarpidie.co, Kamis (22/6/2023).

Mantan Kepala BIN Daerah Nusa Tenggara Barat tersebut juga mengklaim, penghancuran sisa-sisa fisik ini didorong atas permintaan sebagian korban. Wahyudi menilai langkah ini diambil agar tidak mewarisi dendam.

“Jadi, kenangan inilah yang ingin kita lupakan. Jangan lupa, ini bukan situs sejarah,” kata dia.

Sebaliknya, Direktur Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat (PASKA) Aceh, Farida Haryani menegaskan, penghancuran sisa-sisa fisik Rumoh Geudong adalah pembodohan pada publik. Menurutnya, sejarah --yang kelam sekalipun-- tidak bisa dihapuskan. Namun dari sejarah pedih tersebut justru menandakan, bahwa kekejaman itu tidak boleh terulang.

“Justru seharusnya karena itu ada peristiwa kelam pembunuhan, maka tidak boleh dimusnahkan. Kalau dimusnahkan apa bedanya tempat itu dengan kebun lain. Anak cucu yang datang ke situ hanya akan melihat kebun yang tidak beda dengan kebun biasa,” kata Farida dihubungi reporter Tirto, Jumat (23/6/2023).

Farida, yang juga aktif melakukan upaya pendataan dan pendampingan kasus Rumoh Geudong, menepis anggapan bahwa korban sepakat agar sisa bangunan tersebut diratakan.

“Itu statement salah besar. Kalau mengajak korban jangan satu-satu, ajak semuanya. Harus dikumpulkan dan dilibatkan. Lantas kalau ada pembangunan atas nama masyarakat, janganlah disebut itu atas nama korban,” sambung Farida.

Kedatangan Presiden Jokowi, kata Farida, jangan sampai menghalalkan segala cara agar terlihat adanya situasi yang terkendali.

“Jangan seperti orang kebakaran jenggot semuanya harus dibikin lancar dan bagus. Bupati harus belajar sejarah dan itu sudah melanggar aturan UUPA Aceh. Jangan mentang-mentang presiden datang jadi semena-mena,” tegasnya.

Potensi Konflik Sosial atas Nama Pemulihan

Farida juga menilai upaya pemulihan hak-hak korban yang dilakukan pemerintah atau pemkab belum memiliki keseriusan. “Korban menunggu hampir 40 tahun agar hak pemulihannya dipenuhi negara. Jadi bantuan jangan cuma diproyekan. Kembalikan harkat dan martabat masyarakat Aceh,” ujar Farida.

Dari data korban yang menerima pemulihan saja, kata Farida, masih banyak yang tidak terakomodasi. Ia menilai korban konflik di Aceh bisa mencapai ribuan jiwa. Penetapan korban yang asal tebang pilih bisa menimbulkan konflik sosial ke depan, akibat kecemburuan antar-masyarakat.

“Jumlah kami ribuan. Jadi tolong kami jangan diadu dombakan. Negara harus bertanggung jawab dan membuat kriteria korban,” kata Farida.

Setali tiga uang, Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna menyatakan, masih ada masalah dalam penetapan data korban yang digunakan oleh Tim PPHAM.

Menurut Nana, sapaan akrabnya, jumlah asli korban Rumoh Geudong sejatinya telah direkomendasikan oleh Komnas HAM, berdasarkan hasil BAP dengan para korban. Namun dalam rekomendasi Tim PPHAM, hanya sebagian korban yang tercantum, bahkan ditemukan nama yang tidak terdaftar dalam rekomendasi data korban Komnas HAM.

“Amanat di Keppres 17/2022 isinya menyatakan Tim PPHAM mengambil data dari BAP Komnas HAM. Namun yang diambil tidak semua, saya tidak tahu, apa dengan begini bisa disebut tim ini melawan surat Kepres atau perintah presiden,” ujar Nana dihubungi reporter Tirto, Jumat (23/6/2023).

Beberapa upaya pemulihan yang telah ada, kata Nana, juga belum terpenuhi. Misalnya buku berobat dari LPSK, ini belum dimiliki oleh seluruh korban karena syarat dan ketentuan harus memiliki SKKPHAM. Ditambah masa berobat yang terbatas, dengan sistem yang belum mapan. Sementara untuk luka batin (psikologis), belum ada sama sekali mekanisme pemulihan yang disediakan.

“Tapi yang pasti di lapangan, korban berpotensi saling ribut, saling marah karena terjadi perbedaan. Sebagian korban dapat, sebagian tidak, meski sama-sama sudah di BAP Komnas HAM,” sambung Nana.

Nana menyatakan, total data korban konflik Aceh yang terdapat dalam rekomendasi pemulihan Tim PPHAM ada sekitar 88 korban. Data ini meliputi korban Tragedi Simpang KKA (10 orang), Rumoh Geudong (54 orang), dan Jambo Keupok (24 orang). Padahal, data korban konflik Aceh bisa sangat jauh lebih banyak dari penetapan itu.

“Pemerintah perlu memiliki mekanisme verifikasi. Sehingga data, baik yang bersumber dari Komnas HAM, komunitas korban, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) pendamping dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dapat dipakai dalam upaya pemulihan,” ujar Nana.

Adapun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, mendata 5.193 korban yang direkomendasikan ke tim PPHAM pada awal tahun ini.

Country Manager Indonesia AJAR, Mulki Makmun menilai, data dari KKR Aceh saja belum mengakomodasi banyaknya korban konflik Aceh. Namun, kata Mulki, jumlah tersebut seharusnya dipertimbangkan tim PPHAM untuk proses pemulihan korban.

Menurut Mulki, sebagian korban beberapa waktu ini, ada yang telah menerima bantuan dari pemerintah menjelang kedatangan Jokowi ke Kabupaten Pidie. Menurutnya, sikap ini justru mempertajam kecemburuan sosial di kalangan masyarakat.

“Bayangkan Anda korban, saya juga korban. Anda dapat bantuan bahan bangunan satu truk, saya tidak. Ini yang menjadi terlihat penanganan korban hanya sekadar seremonial,” kata Mulki kepada reporter Tirto.

Hadirnya tim PPHAM di Aceh untuk menyelesaikan pemenuhan hak korban, perlu dilakukan dengan komprehensif. Hal tersebut perlu diawali dengan verifikasi data jumlah korban konflik Aceh, yang perlu dikaji mempertimbangkan rekomendasi lintas sektor. Ini menjadi penting, agar terbentuknya tim PPHAM tidak sebatas menelurkan janji dan formalitas – atau konflik – lagi, lagi, dan lagi.

Baca juga artikel terkait KASUS HAM BERAT atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz