tirto.id - Sebuah surat dilayangkan oleh Lembaga Adat Baduy kepada Bupati Lebak pada awal Juni 2023. Surat ini dibubuhi cap jari oleh tiga perwakilan Pemangku Adat Baduy – Wakil Jaro Tangtu, Tanggungan Jaro 12, dan Wakil Jaro Warega. Singkatnya mereka meminta pemerintah daerah memutus aliran sinyal internet atau mengalihkannya dari Tanah Ulayat Baduy.
Sebagaimana tertuang pada isi surat tersebut, tetua adat masyarakat Baduy meminta daerah mereka menjadi area tanpa internet (blank spot area), karena khawatir efek negatifnya dapat mempengaruhi moral dan akhlak generasi muda masyarakat Baduy.
Masyarakat Baduy sendiri secara administratif terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Baduy terletak di sebelah Barat Pulau Jawa, di sekitar Pegunungan Kendeng.
Jaro Pamarentah atau Kepala Desa Kanekes, Saija menyatakan, permintaan ini utamanya datang dari tetua adat Baduy Dalam (orang tangtu) yang masih sangat mengedepankan aturan adat dari leluhur mereka. Aturan tersebut misalnya, pelarangan penggunaan kendaraan dan alat elektronik bagi masyarakat Baduy Dalam – juga bagi pengunjung – yang datang ke wilayah mereka.
“Banyak hal yang dilarang memang, seperti tidak harus ada bebunyian. Soalnya para kolot mengadakan banyak yang tidak boleh (dilakukan) Baduy Dalam atau di kampungnya dan banyak perlindungan yang dijaga,” kata Saija saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (13/6/2023).
Masyarakat adat Baduy memang dikenal dengan banyaknya pikukuh atau larangan adat yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Baduy. Namun Saija menyatakan, memang larangan adat tersebut lebih ketat dijalani di Baduy Dalam. Sementara masyarakat adat Baduy Luar (orang panamping) lebih dominan merespons pemanfaatan perkembangan teknologi informasi untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Secara keseluruhan, masyarakat adat Baduy menempati 67 kampung. Sebanyak 64 kampung merupakan wilayah Baduy Luar, sementara 3 kampung lainnya yaitu Kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik dihuni oleh orang Baduy Dalam.
Saija menuturkan, tetua adat Baduy Dalam mempercayai, besarnya arus informasi dan efek negatif yang dibawa internet dapat mengundang karma. Terlebih, kata Saija, ada saja pengunjung yang masih curi-curi menggunakan ponsel pintar di wilayah Baduy Dalam, alias melanggar hukum adat mereka.
“Gejala karma bisa mendatangkan yang sakit yang kualat seperti itu, gejala-gejala yang seperti itu, itu yang Baduy Dalam harus cegah dan melakukan penyucian sendiri,” jelas Saija.
Desa Kanekes memang dikelilingi oleh 3 buah tower pemancar sinyal. Tower tersebut terletak di Cijahe (perbatasan Kecamatan Bojongmanik dengan Kampung Baduy Dalam), di Ciboleger (perbatasan Desa Bojong Menteng dengan Kampung Baduy Luar), dan di Sobang. Saija menegaskan, masyarakat adat Baduy bukan menolak perkembangan teknologi, namun melakukan filtrasi yang sesuai dan bermanfaat untuk adat mereka.
Di sisi lain, aktivis dan pemerhati masyarakat Baduy, Uday Suhada menyatakan, perubahan sosial di masyarakat adat Baduy sangat terasa nyata sejak menjamurnya internet di wilayah desa Kanekes. Uday menilai, nilai-nilai budaya lokal semakin terkikis di kalangan generasi muda Baduy, terutama di wilayah Baduy Luar.
“Yang mengkhawatirkan adalah tidak adanya kontrol terhadap content yang mereka akses. Mayoritas mereka adalah pengguna medsos, bahkan menjadi YouTuber, Tiktok, Instagram dan sebagainya,” kata Uday dihubungi reporter Tirto, Senin (12/6/2023).
Uday mengklaim, berdasarkan informasi yang ia peroleh dari Kominfo Lebak, dari 6.000 nomor telepon atas nama warga Desa Kanekes, hanya 30 persen saja yang digunakan untuk berkomunikasi dan bisnis, selebihnya digunakan untuk bermedia sosial.
“Karena itu kita harus menghormati sikap (permintaan tetua adat) tersebut. Kita harus membantu menjaga eksistensi tradisi adat mereka dengan segala kekayaan budayanya,” ujar Uday.
Alasan Moral
Dosen Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad) Ira Indrawardana menyatakan, banyak tempat di dalam masyarakat Kanekes yang disakralkan berdasarkan sistem keyakinan mereka. Oleh karena itu, atas banyaknya larangan adat yang berlaku di sana, masyarakat Baduy sering dianggap oleh masyarakat awam memiliki kekhasan akan kekolotan pada pandangan hidupnya.
“(Padahal) secara perilaku sosial mereka juga memiliki sikap tenggang rasa dan pengertian pada perbedaan yang datang dari budaya dan masyarakat luar Kanekes,” ujar Ira dihubungi reporter Tirto.
Menurut Ira, kekhawatiran tentang pengaruh konten negatif dari internet benar-benar dialami oleh penduduk Desa Kanekes. Terlepas dari pengaruh konten negatif, kata Ira, secara hukum adat saja sebenarnya sudah sejak lama masyarakat adat Baduy ini menolak masuknya peralatan elektronik.
“Nampaknya usulan para tetua adat dalam melarang masuknya jaringan internet ke dalam wilayah teritorial Kanekes sangatlah wajar dan sesuai dengan hukum adat mereka dalam mengantisipasi keajegan hukum adat dan konsistensi mereka dalam menjaga wilayah kabuyutan mereka dari pengaruh-pengaruh luar,” jelas Ira.
Dalam perspektif masyarakat adat Baduy, andaikan pusat dunia (pancer bumi) ini rusak akibat pengaruh budaya atau perkembangan yang merusak moral generasi muda, maka dapat berdampak pada kerusakan dunia atau ketidakharmonisan alam.
Maka pemerintah perlu memahami dan melihat usulan penolakan itu dari sudut pandang emik bukan etik semata. Emik disini, Ira menjelaskan, adalah sudut pandang dari masyarakat adat itu sendiri. Dengan begitu kita dapat memahami, permintaan tetua adat Baduy mencuat dalam rangka menjaga keharmonisan dan keseimbangan kehidupan antara manusia dan alam sekitar.
“Ketika masyarakat Kanekes menjaga kelestarian alam minimal di kawasan mereka, maka sekian biota flora dan fauna serta ekosistem mereka terjaga dan akan berdampak positif pada kelestarian,” tambah Ira.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Profesor Semiarto Aji Purwanto menyampaikan, permintaan masyarakat adat Baduy agar jaringan internet di wilayah mereka dicabut merupakan tindakan yang diambil berdasarkan alasan moral.
Antropolog ini menjelaskan, masyarakat adat Baduy tentu memegang standar moral yang berbeda dengan masyarakat umum. Preferensi baik dan buruk mereka bisa jadi berbeda, menyesuaikan adat yang berlaku di sana.
“Di sini timbul konfliknya. Kita merasa internet suatu kemajuan suatu hal bagus yang bisa dinikmati semua warga negara. Saat kita bilang ‘semua warga negara’ itu masalah, seakan-akan semua warga negara punya pandangan yang sama terhadap internet, nah Baduy tidak begitu,” ujar Aji kepada reporter Tirto.
Kendati memiliki standar moral berbeda, masyarakat adat Baduy tentu sama seperti masyarakat umum yang menyepakati hal-hal yang berlaku universal. “Seperti melarang kejahatan, menyakiti orang lain, membantu sesama, itu hal yang pasti sama. Namun soal teknologi dan adat hidup tentu berbeda,” sambung Aji.
Hak Perkenan Masyarakat Adat
Persoalan lainnya, kata Aji, pembangunan infrastruktur di Tanah Air cenderung meminggirkan hak perkenan (consent) dari masyarakat adat yang wilayahnya terdampak pembangunan tersebut.
Pembangunan – seperti hadirnya internet di tengah-tengah kehidupan masyarakat adat – menurut Aji dapat mengundang apa yang disebutnya sebagai unintended consequences. Hal ini merupakan suatu bentuk hasil tak terduga, yang biasanya negatif, dari perencanaan yang semula dianggap membawa manfaat.
“Jadi kalau mengintroduksikan suatu hal mesti diingat ujungnya bisa jadi tidak seperti hal yang kita harapkan. Jadi ini yang seringkali tidak dianggap perhatian, perubahan budaya terjadi secara harmful pada masyarakat adat,” kata Aji.
Aji menyatakan, masyarakat adat Baduy berhak memiliki perkenan untuk menentukan teknologi dan perkembangan yang mereka perlukan sesuai adat yang berlaku. Buktinya, kata Aji, ada beberapa masyarakat Baduy Luar yang mampu mendatangkan penghasilan ekonomi karena memanfaatkan internet.
“Consent menjadi penting. Hak-hak informasi apa yang mereka tahu dan mau tahu itu mereka berhak memilih. Begitupun internet, tidak semuanya harus memakai internet, namun di setiap masyarakat adat ada saja yang sudah kosmopolitan sehingga mampu beradaptasi dengan teknologi,” tambah Aji.
Dengan adanya permintaan dari masyarakat adat Baduy tersebut, Aji berpesan agar pemerintah dapat menghormati apa yang diputuskan oleh para tetua adat Baduy. Negara, kata Aji, harus hadir untuk melindungi kebudayaan masyarakat adat dari hal-hal yang dapat mencederainya seperti hegemoni pasar dan kapitalisme.
Jika mengacu pada Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 Pasal 3, ditegaskan bahwa masyarakat adat berhak menikmati hak mereka sebagai manusia dan kebebasan yang bersifat mendasar tanpa halangan atau diskriminasi, termasuk untuk bebas dari diskriminasi terhadap anggota masyarakat adat laki-laki maupun perempuan.
Sayangnya Indonesia, negeri dengan sedikitnya 2.422 komunitas adat yang tersebar di 31 provinsi ini, belum meratifikasi konvensi tersebut. Padahal, sudah sepatutnya masyarakat adat berhak menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap agenda pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan di atas wilayah mereka.
Respons Pemerintah
Sekretaris Daerah (Sekda) Lebak Budi Santoso menyatakan, pihaknya tengah menyusun surat permohonan tokoh adat Baduy yang akan diteruskan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), sebagai pihak yang berwenang terkait pengaturan sinyal seluler dan internet.
Budi menyatakan, pihaknya menghormati permintaan dari masyarakat adat Baduy untuk menjaga adat kebudayaan mereka.
“Pada prinsipnya pemerintah daerah selalu merespons apa yang disampaikan oleh warga adat Baduy yang bertujuan untuk melindungi tradisi dan kearifan lokal suku adat baduy. Apalagi yang diminta khusus untuk wilayah Baduy Dalam, artinya tidak mengganggu aktivitas ekonomi warga Baduy Luar,” kata Budi kepada reporter Tirto.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo, Usman Kansong menegaskan, pihaknya belum menerima surat permohonan dari masyarakat adat Baduy soal pencabutan sinyal internet.
Namun, ia mengaku sudah mendengar kabar tersebut dan secara informal telah melakukan pembicaraan dengan perusahaan penyedia operator seluler terkait di wilayah tersebut.
“Jadi sinyal itu yang mengoperasikan operator seluler bukan Kominfo, jadi kita harus rundingkan karena ini kan permintaan masyarakat adat dan ini di Baduy Dalam saja utamanya,” ucap Usman dihubungi reporter Tirto.
Usman menyatakan pihaknya menghormati permohonan tetua adat Baduy dan akan segera mendiskusikan keputusan apa yang terbaik, agar tradisi adat di Baduy tetap dapat berjalan sesuai kebudayaan mereka.
“Jadi kita diskusi lalu sepakati langkah kita seperti apa. Apakah akan dicabut, dialihkan sinyalnya, atau seperti apa,” tutup Usman.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz