Menuju konten utama

Koperasi Moeha Jati, Pemulihan Ekonomi Korban Pelanggaran HAM 65

Lewat koperasi yang namanya diambil dari penyintas Tragedi 1965, para korban pelanggaran HAM Berat mencoba bangkit di bidang ekonomi, berusaha mandiri.

Koperasi Moeha Jati, Pemulihan Ekonomi Korban Pelanggaran HAM 65
Simbah-simbah saat menjual kerajinannya di pasar rakyat. (FOTO/Dina T Wijaya)

tirto.id - Sri Moeha Jati. Namanya kini hidup lagi, abadi menjadi nama sebuah koperasi mandiri yang didirikan oleh para keluarga penyintas pelanggaran HAM Berat sekitar Tragedi 1965.

Tanggal 29 November 2024, bersamaan dengan peringatan Hari Perempuan Pembela HAM Internasional, Koperasi Moeha Jati Mandiri diresmikan sebagai tonggak baru pemberdayaan ekonomi para penyintas.

Ia adalah perempuan pejuang yang menginspirasi anak cucu penyintas Tragedi 1965 melakukan gerakan-gerakan untuk mengadvokasi simbah-simbah, sebutan akrab para penyintas lansia.

Sosok ini berpulang pada Desember 2021. Di masa tuanya, perempuan yang tak sempat mendapat gelar dokter akibat Tragedi 1965 itu tetap menebar semangat bagi sesama penyintas. Ia berkeliling membawa tensimeter untuk mengecek kesehatan kerabatnya.

Sri terkenal ulet dan tegas. Mendorong para korban dan keluarganya untuk mandiri dan bangkit dari kondisi sulit, terlebih secara ekonomi. Ia tak patah arang, berkeliling menjual beras hingga membuat aneka makanan bersama simbah-simbah lain dari Gunungkidul untuk dipasarkan ke kota.

Didirikannya koperasi ini pun berangkat dari spirit Sri Moeha Jati. Koperasi ini menjadi pionir unit usaha yang diinisiasi oleh korban pelanggaran HAM di Indonesia.

“Mungkin beliau sudah tidak ada, tapi beliau akan selalu hidup dalam hati kami, dalam hati generasi kedua-ketiga dalam mengemban, melanjutkan perjuangan beliau untuk bergerak dalam kemanusiaan,” ujar Astri, salah seorang pendamping simbah dan keluarga korban dari Fopperham (Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia) Yogyakarta dalam momen peluncuran koperasi siang itu (29/11/2024)

Kemandirian Ekonomi sebagai Jalan Pemulihan

Pemulihan dan pemberdayaan ekonomi paguyuban korban dan keluarga korban pelanggaran HAM Berat tahun 1965 digawangi dengan pendirian koperasi pemasaran. Mereka merintis usaha kelompok yang menampung berbagai macam produk buatan simbah-simbah dan keluarganya, didampingin Fopperham.

Fopperham merupakan organisasi berbasis relawan yang bekerja untuk kepentingan masyarakat korban pelanggaran HAM tahun 1965 dengan fokus pada penguatan korban.

Pada 13 Oktober 2024, Petrus Panditian yang akrab disapa Andi, ditunjuk menjadi Ketua Koperasi Moeha Jati Mandiri. Andi yang merupakan generasi kedua dari penyintas, mengatakan koperasi ini sebagai wadah pemulihan dan pemenuhan hak ekonomi korban.

Menurutnya, inisiasi ini bermula dari suatu malam di Bantul Kreatif Exspo yang diselenggarakan selama sebelas hari di Taman Gabusan, Bantul.

Di sana, paguyuban penyintas di Bantul mendapat ruang untuk memasarkan produk-produk mereka seperti tape, telur asin, abon ayam, roti kembang waru, beragam kerajinan seperti tas batik, tas dari bahan daur ulang sampah, aneka kerajinan kayu, stagen, blangkon, hingga kerajinan logam. Bazar ini pelan-pelan menumbuhkan semangat anggota Moeha Jati Mandiri membangun jaringan ekonomi yang saling memberdayakan.

“Koperasi ini kami dedikasikan untuk kelompok rentan, kami punya visi yaitu agar dengan koperasi pemasaran Moeha Jati Mandiri ini, produk-produk dari kelompok rentan bisa kami kelola untuk kesejahteraan kelompok maupun mitra,” tutur Petrus Panditian.

Newsplus Koperasi Moeha Jati Mandiri

Kerajinan Logam Karya Simbah Hardjono. (FOTO/Dina T Wijaya)

Pembangunan Moeha Jati Mandiri membantu menambah modal usaha paguyuban. Moeha Jati Mandiri melakukan inventaris produk dari anggota sehingga terkumpul sejumlah data usaha, kemudian dipasarkan ke masyarakat umum untuk menigkatkan omzet penjualan. Sekarang, koperasi ini memiliki 9 anggota dari generasi kedua dan ketiga simbah-simbah.

“Ini adalah koperasi yang pertama kali berhasil didirikan oleh korban atau paguyuban korban bersama-sama dengan pendampingnya. Mudah-mudahan bisa ditiru dan ditularkan oleh korban atau paguyuban korban pelanggaran HAM berat yang ada di tempat-tempat lain,” kata Antonius PS Wibowo, Wakil Ketua LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dalam momen peluncuran koperasi.

Tantangan Pemulihan dan Tanggung jawab Negara

Diskriminasi terhadap korban pelanggaran HAM, terlebih pada masa rezim Orde Baru, membatasi mereka untuk mengakses lapangan pekerjaan. Cap Eks Tapol (ET) di Kartu Tanda Penduduk, misalnya, membuat mereka tak bisa bekerja sebagai PNS, polisi, dan tentara.

Ketidakadilan yang dialami korban pelanggaran HAM merembes ke banyak aspek kehidupan, tak terkecuali perekonomian korban dan keluarga yang kerap dipinggirkan.

Januari 2023 lalu Jokowi mengakui 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Indonesia. Pengakuan tersebut diucapkan dalam konferensi pers di Istana Merdeka usai menerima laporan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM). Tim ini sebelumnya dibentuk melalui Keppres no 17 Tahun 2022.

Salah satu dari 12 kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu yang diakui ialah Peristiwa 1965. Sepanjang 1965-1966, dari hasil penyelidikan Komnas HAM, sekitar 32.774 orang diketahui telah hilang.

Sejumlah besar orang yang dituduh komunis direnggut haknya: mengalami penangkapan, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, perkosaan, kekerasan seksual, kerja paksa, pembunuhan, hingga penghilangan paksa. Sementara itu, beberapa riset menyatakan bahwa korban lebih dari 1,5-3 juta orang.

Hampir 60 tahun berlalu, pengungkapan, pemulihan, dan pemenuhan hak-hak korban yang masih hidup masih menempuh jalan panjang. Salah satu tugas Tim PPHAM kala itu adalah mengusulkan rekomendasi pemulihan bagi para korban dari negara. Namun tugas ini sekonyong-konyong mandek, selepas pergantian pemerintahan tahun ini, bersamaan dengan habisnya masa berlaku Keppres tersebut.

Hal inilah yang disinggung Abdul Haris Semendawai, Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM yang hadir dalam sarasehan dan peluncuran Koperasi Moeha Jati Mandiri.

Semendawai menuturkan bahwa Komnas HAM telah menyerahkan laporan sekitar tiga ribu nama korban untuk mendapatkan pemulihan dari pemerintah, yang diteken lewat Inpres nomor 2 tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Namun, proses tersebut berhenti pasca pemilu, sehingga baru sekitar 700 korban yang mendapatkan pemulihan.

“Jadi kami berharap di tahun 2024 jumlah korban yang akan memperoleh pemulihan akan lebih banyak lagi. Karena pemulihan di 2023 itu kan sebenarnya awal, sehingga jumlah yang bisa dilayani masih sangat terbatas. Kami berharap waktu itu untuk pemulihan di 2024 akan lebih banyak lagi. Tapi sayangnya karena ada pemilu, sehingga Menkopolhukam diganti,” terangnya.

Semendawai berharap proses pemulihan dan pemenuhan hak korban oleh negara mendapat tindak lanjut oleh pemerintahan sekarang. Pasalnya, hingga hari ini belum ada pernyataan resmi dari Presiden Prabowo Subianto, baik pada masa kampanye maupun setelah kemenangan.

Semendawai menyatakan pihaknya telah menyampaikan perlunya program penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu menggunakan mekanisme non yudisial. Selain mendorong program baru, ia juga menyebut Keppres Nomor 17 Tahun 2022 juga harus diperbarui.

“Belum ada penjelasan yang pasti bagaimana program untuk pelanggaran HAM berat ini. Namun kami dari Komnas HAM mendorong pemerintahan Prabowo untuk memperhatikan korban-korban PHB (Pelanggaran HAM Berat) ini,” kata Semendawai saat diwawancarai terpisah seusai acara.

Newsplus Koperasi Moeha Jati Mandiri

Suasana Pasar Rakyat Moeha Jati. (FOTO/Dina T Wijaya)

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu melalui pendekatan rekonsiliasi sebelumnya digaung-gaungkan pada masa Presiden Jokowi. Beleid itu mendapat kritik dari para aktivis, sebab seolah menegasikan penyelesaian yudisial dan tak ada pelurusan sejarah. Hak atas pemulihan ini tak sekadar berhenti pada upaya keluarga dan pendamping korban, tetapi juga tanggung jawab dan kewajiban negara.

Hasto Atmojo Suroyo, mantan komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode sebelumnya, mengungkapkan esensi dari penanganan pada korban itu sebenarnya adalah pemulihan psikososial. Hasto menginisiasi layanan psikososial sebagai langkah penting, sebab mencangkup pemulihan kondisi sosial, ekonomi, maupun spiritual bagi korban.

Tak ayal pengembangan ekonomi menjadi salah satu kemandirian yang perlu dibangun. Hasto menyebut, pengorganisasian kelompok korban dengan membentuk usaha koperasi Moeha Jati Mandiri adalah wujud self-reliance, korban mampu bangkit untuk menata kehidupannya pasca peristiwa kelam masa lalu.

“Jadi berhimpun bukan sebagai anggota masyarakat biasa, tapi yang berhimpun ini adalah korban. Dan negara harus mengenali bahwa ini adalah korban yang mampu survive, mampu bangkit untuk memperbaiki nasibnya, untuk memperbaiki ekonominya, kondisi sosialnya, dan kondisi spiritual,” tegasnya.

Dalam kapasitasnya memenuhi rekomendasi penyelesaian non yudisial, 19 kementerian ditugaskan untuk memberi layanan prioritas guna melaksanakan pemulihan hak korban. Dalam hal ini, Menteri Koperasi dan UKM, juga diminta memberikan fasilitas akses pembiayaan usaha, memberikan pelatihan dan pendampingan pada koperasi serta usaha mikro, kecil, menengah.

Purnama Setiawan dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) DIY yang turut menjadi narasumber dalam sarasehan siang itu, mengatakan pihaknya siap memfasilitasi.

“Ada apapun nanti permasalahan terkait usaha atau pemasaran, kalau pemasaran kami bantu dengan Sibakul,” terangnya.

Ia berharap Koperasi Moeha Jati Mandiri akan terus berkembang dengan kolaborasi dukungan serta komitmen pengembangan dari simbah-simbah dan generasi penerus.

Paguyuban simbah-simbah dan keluarganya pun berharap koperasi dapat menjadi daya upaya membangkitkan mental dan ekonomi secara mandiri. Moeha Jati Mandiri menjadi ikhtiar dalam memperkuat perjuangan paguyuban.

“Kami optimistis ke depannya kami semangat untuk memajukan koperasi ini, memperbaiki. Jadi kami membutuhkan saran, agar dalam mengelola ini benar-benar baik, profesional, dan ke depannya koperasi ini bisa membantu meningkatkan kesejahteraan,” pungkas Andi.

Selaras dengan nama Moeha Jati yang menyiratkan semangat dan kekuatan. “Moeha” artinya seseorang yang mempunyai karakter cerdas, berani dan pantang menyerah. Sedangkan “Jati” adalah pohon yang tekstur kayunya kuat, berkualitas tinggi, dan banyak kegunaannya.

Siang itu, pemotongan pita dan pembukaan pasar rakyat di Gedung Keuangan Negara Yogyakarta menjadi momen bersejarah, korban pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dan kelompok rentan mampu berdiri di atas kakinya sendiri.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM BERAT atau tulisan lainnya dari Dina T Wijaya

tirto.id - News
Kontributor: Dina T Wijaya
Penulis: Dina T Wijaya
Editor: Irfan Teguh Pribadi