Menuju konten utama
Pelanggaran HAM Berat

Eksil 65 Butuh Pengungkapan Kebenaran, Bukan Sekadar Urusan Visa

Pengungkapan kebenaran adalah hal yang paling utama bagi para eksil yang kini tinggal di luar negeri.

Eksil 65 Butuh Pengungkapan Kebenaran, Bukan Sekadar Urusan Visa
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, dan Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda Mayerfas saat pertemuan dengan para eksil di Belanda, dipantau secara virtual di Jakarta, Minggu (27/8/2023). (ANTARA/HO-Kemenkumham)

tirto.id - Memakai kemeja batik berbalut jaket hitam, suara Sungkono makin tinggi dengan telunjuk mengacung ke udara. Ia tengah menuntut keseriusan Pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu –terutama pada momen itu– kepada para eksil peristiwa 1965.

“Kayaknya kami dulu tuh (seperti) dianggap melakukan kejahatan, sekarang itu (seakan) dimaafkan,” kata Sungkono bercerita pada Minggu (27/8/2023).

Ia bercerita dalam acara pertemuan antara para eksil dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD serta Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly yang berlangsung di Amsterdam, Belanda.

Sungkono merupakan salah satu eksil yang dulunya merupakan mahasiswa ikatan dinas (Mahid) yang mendapat tugas belajar di Eropa. Ia kuliah di jurusan teknik mesin Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa, Rusia pada 1962. Sungkono tidak bisa kembali ke tanah air setelah menjalani skrining pada 1966 saat masa Orde Baru.

“Lah, ini kan saya sudah menyelesaikan studi saya, kan, harusnya pulang, karena waktu itu Pak Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan bilang, ‘kalian belajarlah sebaik-baiknya cepat kalau tamat pulang, kalian kita tunggu’,” kata Sungkono bercerita.

Dalam acara tersebut hadir puluhan mantan mahasiswa ikatan dinas yang mendapatkan tugas belajar pada sekitar 1962-1963, dan tidak bisa kembali ke Indonesia setelah pemerintahan Sukarno tumbang. Mereka datang dari berbagai kota di Eropa, seperti Amsterdam, Frankfurt dan Berlin (Jerman), dan Praha (Ceko). Ada juga yang hadir secara daring dari Paris (Perancis) dan Stockholm (Swedia).

Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari program pemulihan hak-hak korban 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kepada para eksil peristiwa 1965, pemerintah menggratiskan permohonan visa dan izin tinggal bagi eksil yang selama ini tinggal di luar negeri.

Bagi Sungkono, bukan soal kemudahan layanan imigrasi yang ia inginkan. Ia justru menuntut keseriusan pemerintah untuk mengungkap kebenaran dan meminta maaf secara resmi kepada para korban.

“Yang pokok untuk saya, yang saya tuntut apa? Keadilan. Bukan soal-soal teknis tadi, visa apa semua itu, saya tidak terpikir sekarang. Yang saya pikirkan, bagaimana tanggung jawab negara kepada kami yang dulu tugas kami belajar dengan tekun, kok diperlakukan begitu dengan sewenang-wenang,” tegas Sungkono.

Menuntut Maaf dan Penghapusan Stigma

Sungkono menuntut janji Presiden Joko Widodo yang menyatakan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan adil. Sungkono juga menyayangkan, belum ada ucapan maaf yang keluar sedikit pun dari Pemerintah Indonesia kepada mereka.

“Suatu negara kok tanpa mengatakan minta maaf? Ini satu pertanyaan bagi saya, bukan hanya pertanyaan, ini saya tuntut (permintaan maaf)” ucap Sungkono.

Salah seorang eksil lainnya, Sri Budiarti Tanruang atau Ning, menegaskan bahwa pengungkapan kebenaran adalah hal yang paling utama. Tanpa hal tersebut, Indonesia dinilai tidak akan maju.

“Pak Jokowi mengatakan kita mengakui, kita menyesalkan, kita berusaha memulihkan, kita mau mencegah. Apa pak? Yang kita akui opo? Yang kita sesali opo? Yang kita pulihkan opo? Yang mau kita cegah apa?” ucap Ning dalam kesempatan yang sama.

Para eksil juga mempersoalkan Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang hingga kini masih berlaku. Ning menuturkan, imbas peristiwa 1965 tersebut, dirinya masih dicap sebagai seorang komunis atau PKI. Stempel tersebut seakan-akan menjadi stigma yang melekat bagi para eksil yang ditelantarkan negara.

“Saya merasakan yang namanya stigma, yang namanya kebencian, kalau saya salah tingkah mereka bilang dasar Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Tahun 2015 saya masih dimaki 'dasar tante ini Gerwani' hanya karena saya berbeda pikiran. Jadi, ini pak. Pengungkapan kebenaran (penting),” ujar Ning.

Kegiatan serupa juga digelar bersama para eksil yang berada di Praha, Ceko, keesokan harinya, Senin (28/8/2023). Menkopolhukam Mahfud MD dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly memberikan peluang repatriasi bagi para eksil korban peristiwa 1965 di sana.

Salah satu eksil yang hadir, Siswartono Sarodjo atau Sis, menyatakan selama 30 tahun masyarakat Indonesia didoktrin setiap hari bahwa para mahasiswa ikatan dinas (Mahid) melawan pemerintah dan belajar di negara komunis.

Kepada Mahfud dan Yasonna, Ia mengaku masih mendapatkan stigma negatif, bahkan dari keluarganya di Tanah Air. Suatu ketika, Sis mengutarakan keinginan agar bisa disemayamkan di Indonesia jika kelak wafat. Namun, salah seorang keluarganya justru menjawab enteng. Seakan-akan, stigma buruk sebagai pembangkang negara melekat padanya.

“Dia jawab, ‘lho mas, di Eropa kan biasa kremasi itu. Tabur saja di laut nanti kan sampai ke Indonesia.’ Itu jawaban mereka,” ujar Sis kecewa.

Sis menegaskan, stigma buruk merupakan masalah bangsa yang harus dipikirkan pemerintah. Ia berharap ada kejelasan dan jaminan keamanan kepada para eksil dan keluarga mereka, jika kembali tinggal di Indonesia.

Negara Tidak Mengakui Kesalahan

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyatakan, dengan tidak adanya permintaan maaf dari negara secara resmi, berarti negara tidak mengakui adanya kesalahan. Hal ini menimbulkan indikasi bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu berpotensi terulang kembali.

“Permintaan maaf adalah salah satu bentuk reparasi yang wajib diberikan oleh negara kepada korban pelanggaran HAM berat atas penderitaan yang mereka tanggung dan alami, termasuk kepada para eksil korban 65,” kata Usman dihubungi reporter Tirto, Rabu (30/8/2023).

Ia menyesalkan sikap pemerintah yang tak terbesit melakukan permintaan maaf kepada para korban HAM berat masa lalu. Siapa pun pemerintahannya saat ini, kata Usman, pemimpin negara tetap harus bertanggung jawab menuntaskan kasus pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu.

“Negara tidak sekadar mengakui, namun harus pula mengungkapkan fakta-fakta mengenai pelanggaran HAM yang terjadi pada 1965. Ini termasuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi kejadian-kejadian serta mengungkapkan kebenaran kepada publik,” tutur Usman.

Ia menambahkan, para eksil korban 1965 seharusnya diberikan kompensasi yang layak atas penderitaan yang mereka alami selama mereka tidak bisa pulang. Selain itu, restitusi terhadap harta benda yang ditinggalkan atau dirampas juga sepatutnya dipertimbangkan.

Sementara itu, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina Rumpia menilai, pemberian kemudahan visa dan izin tinggal kepada korban eksil 1965 hanyalah solusi atas permasalahan administrasi tanpa menyentuh ranah substansi.

“Pada dasarnya pengakuan tanpa dibarengi dengan permintaan maaf, pertanggungjawaban dan akuntabilitas Negara dalam menyelesaikan kasus, itu hanya semu dan tidak dapat memberikan keadilan bagi korban,” kata Jane dihubungi reporter Tirto, Rabu (30/8/2023).

Jane menambahkan, negara wajib melakukan pengungkapan kebenaran melalui pelurusan sejarah dan rehabilitasi. Negara dapat memainkan peranan dari kewajibannya untuk memelihara ingatan (state duty to preserve memory) sebagai sebuah kewajiban seperti yang ditegaskan dalam resolusi Majelis Umum PBB No. 56/83 tentang Kewajiban Negara atas Tindakan Pelanggaran Hukum Internasional pada 12 Desember 2001.

“Pelurusan sejarah sebagai bagian dari upaya pengungkapan kebenaran turut hadir sebagai manifestasi atas pemenuhan hak atas keadilan antar generasi guna memutus rantai trauma terhadap generasi muda di masa mendatang, termasuk pula upaya memutus akar konflik dan menjamin ketidak-berulangan,” terang Jane.

Perlunya Pelurusan Sejarah

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri menegaskan, pelurusan sejarah merupakan bagian yang penting dalam penanganan korban HAM berat masa lalu. “Karena narasi yang dibangun dan dominan narasi negara yang berpihak pada pelaku dan mengabaikan narasi korban,” ujar Gufron kepada reporter Tirto, Rabu (30/8/2023).

Sejumlah sejarawan, pendidik, akademisi, pegiat seni dan budaya, aktivis, dan warga masyarakat pada Selasa, 29 Agustus 2023, mendeklarasikan kemerdekaan untuk klarifikasi kesejarahan, kebenaran, dan keadilan atas kejahatan kemanusiaan.

Bertempat di Kantor Amnesty International Indonesia, mereka mendesak pemerintah mengungkap kebenaran dan tegaknya keadilan atas sejarah kekerasan politik masa lalu dari pengalaman dan narasi korban sejak 1965 sampai periode reformasi.

Peneliti sejarah perempuan, Ita Fatia Nadia menyatakan, sejarah resmi negara saat ini, menutupi hakikat kekerasan politik masa lalu dan melegitimasi penyimpangan kekuasaan negara, dan patut dikoreksi.

“Melalui deklarasi ini, kami menyatakan bahwa negara harus segera dan tanpa syarat menunaikan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya untuk melakukan penulisan ulang sejarah demi mengungkapkan kebenaran, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menegakkan keadilan, sebagai tanggung jawab negara atas kejahatan kemanusiaan masa lalu,” ucap Ita dalam konferensi pers yang diikuti reporter Tirto secara daring, Selasa (29/8/2023).

Dalam kesempatan yang sama, sejarawan Andi Achdian mengungkapkan, saat ini negara dijadikan satu-satunya sumber kebenaran dalam penulisan sejarah dan dia menyebutnya sebagai suatu hal yang bermasalah. Sejarah versi saat ini, membuat korban pelanggaran HAM – dalam narasi sejarah tersebut – dicap sebagai pemberontak, perusuh, pengkhianat, dan sebagainya.

“Jadi kita membiarkan orang tetap hidup dalam trauma di dalam tradisi narasi sejarah yang terus kita pakai sampai sekarang,” kata Andi.

Di sisi lain, mantan Ketua Komnas HAM, Marzuki Darusman menilai, upaya yang kini tengah dilakukan pemerintah Jokowi merupakan suatu kesempatan yang menjanjikan. Namun, upaya tersebut memerlukan komitmen dengan juga menulis ulang sejarah, terutama mengenai 12 peristiwa yang sudah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu oleh pemerintah Jokowi.

“Antara Januari sampai Februari 2024 (periode Presiden Jokowi), di situ pintu gerbangnya. Semakin cepat (penulisan sejarah) dikeluarkan, semakin mungkin ini mempunyai daya hidup yang melampaui kemungkinan itu nanti ditutup kembali,” pesan Marzuki.

Pemerintah Tak Negasikan Penyelesaian Yudisial

Dalam pertemuan dengan eksil di Amsterdam, Mahfud MD menyampaikan, pemerintah ingin menembus kebuntuan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, khususnya melalui jalur non-yudisial. Namun, kata Mahfud, upaya penyelesaian kasus melalui jalur yudisial masih terbuka.

“Ini yang kita lakukan sekarang ketemu di Amsterdam ini, sekarang kami ketemu di Amsterdam ini untuk melakukan pemulihan hak korban yang masih ada, secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial,” kata Mahfud dalam acara tersebut.

Hal itu sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat.

Sejalan dengan Inpres tersebut, Menkumham Yasonna Laoly menjelaskan, Kemenkumham baru saja menerbitkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No M.HH-05.GR.01.01 Tahun 2023 tentang Layanan Keimigrasian Bagi Korban Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat pada 11 Agustus 2023.

Mengacu data dari Kementerian Luar Negeri, total eks mahasiswa ikatan dinas (Mahid) korban peristiwa 1965 yang masih ada hingga kini, berjumlah 139 orang. 138 orang yang tersebar di 10 negara Eropa dan 1 di negara Asia.

Belanda merupakan negara dengan eks Mahid terbanyak (67 orang), disusul Ceko (14 orang). Di Rusia, masih ada satu orang eks Mahid, tapi terdapat 38 orang keturunan eks Mahid di negeri beruang tersebut. Sementara itu, satu-satunya negara non Eropa tempat eks Mahid tinggal adalah Suriah, sebanyak satu orang.

Berdasarkan beleid yang ada, kata Yasonna, para korban yang telah diverifikasi dapat repatriasi atau berkunjung ke Indonesia dengan lebih mudah dalam mendapatkan layanan keimigrasian untuk berkunjung ke Indonesia. “Dikenakan tarif 0 (nol) rupiah,” tegas Yasonna.

Baca juga artikel terkait EKSIL 1965 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz