Menuju konten utama

Kepiluan Penyandang Disabilitas Mental di Panti Tak Layak Huni

Yeni sebut kondisi panti sosial disabilitas mental yang PJS datangi mirip penjara. Para penghuni diperlakukan lebih buruk dari seorang napi.

Kepiluan Penyandang Disabilitas Mental di Panti Tak Layak Huni
Kondisi penyandang disabilitas mental di panti sosial tak layak huni. (FOTO/Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia)

tirto.id - “Tahun berapa ini?” adalah kalimat pertama yang terlontar dari mulut Muhammad Hibatul Idris, saat berhasil dikeluarkan dari panti sosial tempat ia dikirim sebagai penghuni selama dua tahun satu bulan. Hibat, sapaan akrabnya, terlihat berusaha mengorek kenangan-kenangan kelam selama mendekam di panti sosial untuk penyandang disabilitas mental.

Pria berusia 24 tahun ini sama sekali tidak berbeda dengan pemuda atau mahasiswa pada umumnya. Rambutnya dipotong rapi, memakai kemeja hitam serta celana bahan hitam. Hibat berbicara dengan jelas dan fasih. Hanya beberapa kali ia berhenti bicara, seperti mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk mengartikulasikan ingatannya.

Hibat sendiri tidak mengerti kenapa dirinya ditempatkan di panti sosial. Tidak ada persetujuan atau pemberitahuan kepadanya sama sekali.

“Orang-orang dari panti, lima orang datang ke rumah langsung bawa saya tanpa persetujuan saya sama sekali,” kata Hibat bercerita, Selasa (22/8/2023).

Bahkan, Hibat tak membawa perbekalan atau barang-barang apa pun dari rumah. Satu-satunya yang ia bawa hanya pakaian yang melekat padanya hari itu, dan segudang kebingungan. Ia dibawa ke sebuah panti sosial yang berlokasi di Banten.

“Baru sampai depan gerbang (panti) aja udah bau kotoran manusia. Di dalam ada lorong panjang dengan ada sel-sel pintu besi digembok,” tutur Hibat, ketika menceritakan kesan pertamanya masuk panti sosial.

Selama tinggal di panti sosial, Hibat mengaku sangat jarang diperkenankan meninggalkan ruangan berbentuk sel tersebut. Tak jarang ia menyaksikan banyak rekan-rekannya jatuh sakit, tapi dibiarkan begitu saja.

Makanan sehari-hari di panti sosial tersebut, juga diceritakan Hibat sangat tidak layak. Bahan makanan banyak yang busuk, tapi tetap diberikan kepada penghuni panti.

“Makanan tidak layak, berasnya beras busuk yang masih dimasak, sayurnya tidak layak karena semuanya hampir busuk,” terang Hibat.

Untuk buang air besar atau kecil, penghuni panti hanya disediakan lubang yang terletak di pojok ruangan. Ruangan yang sama tempat mereka tinggal, makan, dan tidur bersama-sama.

“Tidak ada air bersih dan kotoran manusia berceceran,” ungkap Hibat.

Akibat kondisi demikian, Hibat pernah menderita penyakit kulit yang sampai menimbulkan luka-luka berdarah. Ketika itu, pihak panti sempat membawa dirinya ke puskesmas sekali.

“Pengobatan mental dan medis tidak ada. Hanya pengajian saja karena ngakunya (panti tersebut) pesantren,” tambah Hibat.

Seingat Hibat, panti tempatnya tinggal memiliki penghuni laki-laki sebanyak 30 orang dan 10 orang penghuni perempuan. Ada tiga penghuni panti yang dirantai di bagian depan. Sementara di bagian belakang panti, ada dua orang dirantai di ruangan isolasi.

“Ada (juga), ada yang meninggal. Lima kali, tidak dirawat didiamkan saja,” tegas Hibat.

Hibat mengaku bersyukur dapat keluar dari panti sosial tersebut setelah dua tahun satu bulan lamanya. Ia menyatakan banyak penghuni panti yang telah tinggal bertahun-tahun dan tidak jelas kapan bisa dikeluarkan. Ia berharap para penghuni panti bisa segera dibebaskan semua.

Hibat menceritakan pengalamannya dalam acara seminar Internasional, sekaligus pameran seni instalasi dan fotografi bertajuk “Penyiksaan Yang Tersembunyi: Kondisi Panti-panti Penyandang Disabilitas di Indonesia.” Gelaran ini diselenggarakan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Indonesia dan dilangsungkan di Gedung Smesco, Jakarta, Selasa (22/8/2023).

Potret foto Hibat ketika masih mendekam di panti sosial juga ditampilkan dalam gelaran tersebut. PJS memampang puluhan foto yang memperlihatkan kondisi miris para penghuni panti sosial. Temuan ini didapatkan dari hasil menyambangi berbagai panti sosial di Pulau Jawa selama kurun waktu 11 tahun (2011-2022).

Dalam salah satu foto, seorang penghuni panti tampak tertunduk dengan rantai membelenggu kedua kaki. Beberapa jengkal dari tempatnya duduk, kotoran manusia berceceran di lantai. Ada juga foto yang menghadirkan suasana mencekam sekaligus menyedihkan. Seorang penghuni panti tampak telungkup dengan kaki terikat rantai yang berkarat. Pakaian yang ia kenakan kotor dan sobek di banyak tempat.

Ada satu foto dengan ukuran paling besar, membentang sepanjang satu meter lebih. Foto tersebut mengabadikan potret puluhan penghuni panti sosial dengan wajah lesu memelas dirintangi teralis besi di hadapan mereka. Sekilas, suasana di dalam foto tersebut tak berbeda dengan kondisi penjara.

Panti Sosial tak Layak Huni

Kondisi penyandang disabilitas mental di panti sosial tak layak huni. (FOTO/Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia)

Layaknya Sebuah Penjara

Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PJS), Yeni Rosa Damayanti menyampaikan, kondisi panti sosial disabilitas mental yang pihaknya datangi lebih mirip penjara. Para penghuni panti diperlakukan lebih buruk dari seorang narapidana.

“Apa bedanya sama tahanan? Yang ngebedain kita dengan tahanan, kan, tahanan enggak boleh keluar, mereka juga enggak boleh keluar. Mungkin tahanan juga lebih bebas bisa aktivitas bisa keluar di blok,” kata Yeni ditemui di sela acara oleh reporter Tirto, Selasa (22/8/2023).

Menurut studi singkat yang dilakukan PJS, pada 2014, jumlah panti sosial yang menangani kelompok penyandang disabilitas — termasuk disabilitas mental — ada sekitar 800 panti. Sedangkan berdasarkan pendataan pada 2021, terdapat 12.314 penyandang disabilitas mental yang terkurung di dalam 180 panti sosial disabilitas.

Selain itu, hampir semua panti yang dikunjungi tidak memiliki mekanisme pengaduan untuk melaporkan kekerasan yang dialami penghuni. Beberapa panti disebutkan tidak memberikan akses menggunakan telepon, sehingga apa yang terjadi di dalam panti berlangsung tertutup.

Yeni menambahkan, hampir semua panti sosial yang pihaknya kunjungi terindikasi melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM).

“Hampir semua, bahkan di data yang kami kumpulin ini, kan, terbatas ya, hampir semua. Dari panti yang kami datangi, ada yang dirantai, ada yang diisolasi, enggak boleh keluar apa bedanya sama tahanan?” tegas Yeni.

Menurut studi singkat PJS Indonesia, beberapa pelanggaran yang ditemukan berupa kekerasan, hilangnya privasi dan hak memiliki, pemaksaan tindakan medis dan non-medis, pelecehan seksual, kontrasepsi paksa, dan eksploitasi.

Mirisnya, kata Yeni, hampir semua panti sosial yang didatangi berstatus legal. Mereka mendapatkan izin pendirian dari Kementerian Hukum dan Ham serta mendapatkan izin operasional dari Kementerian Sosial.

PJS mengklaim, selama bertahun-tahun lamanya panti sosial beroperasi, tidak pernah dilakukan monitoring dan evaluasi pelayanan, sehingga tidak ada yang mengetahui bahwa pelayanan semakin buruk dan menurun.

Pengawasan Negara Belum Maksimal

Komisioner Pengawasan Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing menilai, tugas negara — dalam hal ini pemerintah — belum maksimal dalam melakukan pengawasan terhadap panti-panti sosial penyandang disabilitas mental.

Uli menyatakan, seharusnya Indonesia telah memberlakukan Konvensi Anti Penyiksaan. Konvensi ini melarang tiap bentuk penyiksaan dalam tahanan, termasuk di luar tahanan seperti panti-panti sosial.

Masih adanya temuan kasus pelanggaran hukum dan hak asasi manusia di panti sosial penyandang disabilitas mental, kata dia, menandakan ada jarak pengetahuan antara pemangku kebijakan publik serta aparat penegak hukum.

“Di panti juga belum dikaji lebih dalam kenapa mereka melakukan tidak manusiawi para penyandang mental disabilitas, tapi itu faktanya. Dan juga petugas negara, untuk memenuhi dan melindungi hak mereka itu belum dimaksimalkan,” terang Uli di lokasi.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Lokataru, Haris Azhar tak meragukan bahwa praktik sewenang-wenang di panti sosial penyandang disabilitas mental, masuk dalam kategori pelanggaran hukum dan HAM bagi entitas sipil.

Haris juga menegaskan, kondisi penghuni panti memenuhi unsur penyiksaan dalam Konvensi Anti Penyiksaan. “Menurut saya kondisi orang-orang di dalam panti itu sangat memenuhi unsur itu,” ujar Haris.

Haris menyebut, penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi di panti sosial merupakan kasus yang banyak diketahui, tapi seakan-akan tutup mata.

“(Kasus ini) sesuatu yang fishy bau amis, kita tahu, tapi kita enggak mau tahu,” sambung Haris.

Ia juga menyoroti, atas dasar apa para penyandang disabilitas mental dikirim ke panti sosial. Tindakan ini tidak dapat dijustifikasi, karena tidak memiliki otoritas hukum dan membatasi kebebasan individu.

“Ternyata ini hanya mengandalkan badan hukum kebanyakan yayasan, kalau kita buka lagi administrasinya hanya disebutkan yayasan bidang kesehatan, yayasan bidang sosial, jadi legalitasnya hanya berbasis regulasi korporat sekadar bisa berdiri,” tegas Haris.

Menurut Haris, kebanyakan penyandang disabilitas mental dikirim ke panti sosial karena penghakiman sosial, bukan karena faktor kondisi kesehatan mereka.

“Ukurannya denial, pokoknya orang itu enggak boleh lagi ada di rumah, pokoknya orang itu enggak boleh ada di sekitar warga. Lucunya di Indonesia itu, sering kali yang diamankan (justru) yang ditolak oleh warga,” tambah Haris.

Panti Sosial tak Layak Huni

Kondisi penyandang disabilitas mental di panti sosial tak layak huni. (FOTO/Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia)

Deinstitusionalisasi Jadi Solusi

Sementara itu, kata Yeni, seharusnya pemerintah melakukan deinstitusionalisasi dalam menghadapi persoalan ini. Sayangnya, pasca Indonesia meratifikasi CRPD (Committee on the Rights of Persons with Disabilities) pada 2011, pemerintah tidak pernah memiliki perencanaan strategis untuk melakukan deinstitusionalisasi panti sosial dan rumah sakit jiwa di Indonesia sebagaimana yang dimandatkan oleh CRPD Pasal 19.

Yeni menyatakan, deinstitusionalisasi telah dimandatkan juga oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menangani penyandang disabilitas mental. Mekanisme ini mewajibkan para penyandang disabilitas mental dikeluarkan dari panti-panti sosial tempat mereka terkurung, untuk didampingi dan difasilitasi haknya tengah masyarakat.

“Jadi tujuan kita adalah supaya ke depannya jangan lagi ada orang dikurung di panti-panti. Tapi negara mengupayakan supaya mereka bisa tinggal di masyarakat dan memberikan fasilitas yang dibutuhkan,” terang Yeni.

Pemerintah bisa memberikan rusunawa/asrama untuk tempat tinggal penyandang disabilitas mental yang ditolak oleh pihak keluarga. Tentunya, dengan tetap memperhatikan kondisi kesehatan dan ekonomi mereka tetap terpenuhi.

Perwakilan Human Rights Watch, Kriti Sharma menegaskan, pemerintah Indonesia butuh komitmen yang serius untuk menerapkan deinstitusionalisasi.

“Untuk situasi indonesia, untuk merubah situasi, kita butuh reformasi kebijakan dan perubahan aturan,” ujar Kriti.

Pengawasan juga harus dilakukan secara independen agar memastikan para penyandang disabilitas mental terpenuhi hak-haknya.

“Butuh monitoring independen dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman, menerapkan mekanisme preventif nasional yang secara rutin menginvestigasi institusi,” sambungnya.

Pemerintah didesak untuk membredel semua institusi panti-panti sosial yang melakukan tindakan pengurungan dan sewenang-wenang pada penyandang disabilitas mental. Juga perlu ada pelaporan rutin dari hasil pengawasan yang telah dilakukan.

Penting pula ditekankan, untuk memastikan kemerdekaan hak dan keadilan penyandang disabilitas mental, perlu dimulai dengan menghapus stigma negatif tentang mereka. Banyak dari penyandang disabilitas mental harus tinggal di panti sosial bukan karena pertimbangan kondisi kesehatannya, melainkan karena dianggap berbeda dan tidak diterima.

“Salah satu silent horror menurut saya, kalau kasus-kasus politis (saja) dapat pemantauan. Kasus begini tidak ada pemantauan,” ungkap Direktur Lokataru, Haris Azhar.

Baca juga artikel terkait DISABILITAS MENTAL atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz