Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Urgensi Melindungi Hak Pilih ODGJ dari Intervensi di Pemilu 2024

Titi Anggraini berharap elite politik tidak memperburuk stigma pada penyandang disabilitas mental dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.

Urgensi Melindungi Hak Pilih ODGJ dari Intervensi di Pemilu 2024
Pekerja membawa kotak suara untuk disimpan di dalam gudang logistik pemilu KPU Kota Surabaya di Margomulyo, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (17/12/2023). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/aww.

tirto.id - Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) merupakan warga negara yang sama-sama berhak untuk melabuhkan pilihan dalam Pemilu 2024. Hak-hak pilih mereka jelas terjamin dalam berbagai kebijakan, seperti UU Pemilihan Umum dan UU Penyandang Disabilitas. Secara konstitusional, hak pilih ODGJ diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XIII/2015 yang melindungi hak pilih penyandang disabilitas.

Maka mempertanyakan hak pilih ODGJ merupakan kemunduran dalam progresivitas penyelenggaraan pemilu. Selain itu, hal tersebut tidak lagi relevan, karena sejak 2014 ODGJ sudah mulai dilibatkan dalam pemilu dan tidak terjadi masalah berarti.

Karena itu, penyelenggaraan pemilu yang ramah ODGJ mendesak untuk dilakukan. Hal ini agar hak pilih mereka tidak dimanfaatkan dan diintervensi untuk keuntungan kontestan tertentu. Terlebih, masih ditemui stigma dan perundungan yang menyasar mereka.

Pakar Kepemiluan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menyampaikan gangguan jiwa atau disabilitas mental biasanya bersifat episodik. Dengan begitu, kata dia, sudah semestinya hak politik mereka untuk dipilih dan memilih dijamin oleh negara.

“Apalagi memilih adalah bersifat sukarela bukan suatu kewajiban,” kata Titi dihubungi reporter Tirto, Senin (18/12/2023).

Titi menjelaskan, hak pilih disabilitas mental dijamin dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 5 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta dikukuhkan didata sebagai pemilih dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XIII/2015.

MK menyatakan bahwa pengecualian pendataan penyandang disabilitas mental sebagai pemilih, hanya bisa dilakukan dalam hal mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen. Itu pun harus dengan rekomendasi profesional bidang kesehatan jiwa, yang menyatakan kondisi tersebut telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.

“Artinya, penggunaan hak pilih oleh mereka harus dilakukan sendiri, tanpa tekanan, paksaan, apalagi diwakilkan. Jika mereka tidak mampu ke TPS dan menggunakan hak pilih, maka tidak boleh diarahkan apalagi dipaksa oleh pihak manapun,” jelas Titi.

Titi menambahkan, pemaksaan dan manipulasi atas penyandang disabilitas mental untuk menggunakan hak pilih adalah tindak pidana. Hak disabilitas mental jelas ditegaskan dalam ketentuan Pasal 5 UU 7/2017 yang menyebut bahwa penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih.

Selain itu, pasal tersebut juga menyatakan mereka memiliki hak sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon presiden/wakil presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai penyelenggara pemilu.

Dalam Pasal 4 huruf (c) UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disebut, yang dimaksud dengan penyandang disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku. Antara lain, gangguan psikososial seperti skizofrenia, bipolar, depresi, ansietas, dan gangguan kepribadian.

Serta disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.

Masalah Diskriminasi dan Intervensi

Titi menilai, dalam masa pemilu, ODGJ atau penyandang disabilitas mental kerap menjadi sasaran hoaks dan diskriminasi. Termasuk, kata dia, beberapa politikus yang mengesankan seolah-olah penggunaan hak pilih ODGJ sebagai sesuatu yang dipaksa.

“Misalnya, ODGJ yang tidak dalam pengurusan negara, yang terlantar, lalu diangkut ke TPS kemudian disuruh menggunakan hak pilih. Hal itu tidak benar,” tegas Titi.

Titi berharap elite tidak memperburuk stigma pada penyandang disabilitas mental dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Harusnya, justru mereka yang jadi pelopor agar disabilitas mental dapat diterima dengan baik oleh publik tanpa stigma atau stereotip apa pun.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita, menilai hak pilih ODGJ sangat rawan disalahgunakan untuk keuntungan pihak tertentu. Selain karena kondisi yang dijalani, ditambah faktor minimnya informasi terkait penyelenggaraan pemilu saat mereka dalam proses penyembuhan.

“Hanya dokter kejiwaan saja yang mengetahui indikator ODGJ yang dapat menggunakan hak pilih. Di sini, dokter juga berpotensi menyalahgunakan kewenangannya, apalagi jika dokter tersebut memiliki tendensi keberpihakan terhadap calon tertentu,” ujar Mita, sapaan akrabnya, kepada reporter Tirto, Senin (18/12/2023).

Mita menyatakan, partai politik sebagai kelompok yang akan menjadikan pemilih ODGJ sebagai sasaran kampanyenya, tentu memiliki kepentingan tertentu. Pada posisi tersebut, parpol harus memperlakukan pemilih ODGJ secara baik dan benar.

“Dalam hal ini secara benar adalah jangan memberikan informasi sesat dalam berkampanye terhadap pemilih ODGJ,” kata Mita.

Maka dari itu, Mita merasa penyelenggara pemilu mesti jeli dalam memastikan ODGJ yang dapat menggunakan hak pilihnya. Kemudian, pengawas pemilu juga harus memasifkan pengawasan dalam proses penggunaan hak pilih ODGJ.

“Pengawas pemilu juga harus memastikan tidak ada intervensi dalam proses penggunaan hak pilih ODGJ,” tutur dia.

KPU perlu memastikan fasilitas penggunaan hak pilih ODGJ dapat dilakukan secara mudah diakses dan prosesnya dilaksanakan tanpa kendala teknis. Kemudian memperlakukan pemilih ODGJ dengan cara yang layak dan tanpa melakukan tindakan intervensi.

Pandangan Kubu Paslon Capres-Cawapres

Juru bicara Tim Kemenangan Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Rahayu Saraswati, menyatakan hak setiap warga negara harus diperjuangkan dan ditegakkan, termasuk hak pilih ODGJ. Seharusnya, kata dia, penyelenggara pemilu bisa memberikan perhatian khusus untuk para ODGJ dan semua penyandang disabilitas agar hak mereka terpenuhi.

“Harus ada sistem pengawasan yang jauh lebih komprehensif dan sistematis di setiap TPS di mana kelompok rentan berada,” kata Saras, sapaan akrabnya, kepada reporter Tirto, Senin (18/12/2023).

Sementara itu, Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Cyril Raoul Hakim, menyampaikan pihaknya menghargai keputusan penyelenggara pemilu yang menyertakan hak pilih ODGJ. Chico, sapaan akrabnya, menilai ODGJ sebagai kelompok rentan yang harus benar-benar diperhatikan dan dipenuhi hak-hak mereka.

“Termasuk hak pilih mereka. TPN akan menyiapkan program kampanye khusus yang semoga bisa menyasar dan sampai ke saudara-saudara kita yang masuk dalam klasifikasi ODGJ,” ujar Chico kepada reporter Tirto.

Chico yakin bahwa KPU akan melakukan sosialisasi khusus untuk pemilih ODGJ. Dia berharap, jalannya sosialisasi tersebut diawasi sehingga KPU benar-benar profesional dalam menjalankan tugas.

“Tanpa ada maksud dan misi misi tertentu untuk berpihak pada salah satu paslon,” lanjut dia.

Di sisi lain, Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (Timnas) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Surya Tjandra, menyatakan pihaknya sangat jelas memposisikan ODGJ sebagai warga negara yang harus dijamin haknya untuk memilih. Surya meminta KPU, menerbitkan petunjuk teknis bagaimana pemilih ODGJ menggunakan hak pilihnya.

“Termasuk untuk dapat didampingi oleh petugas KPPS atau keluarga. Petugas maupun keluarga harus tetap menjunjung asas LUBER,” terang Surya dihubungi reporter Tirto, Senin (18/12/2023).

Surya menyatakan, pihaknya memiliki Kedeputian Disabilitas Timnas AMIN, yang menggalang relawan dan juru bicara disabilitas. Mereka bekerja mulai dari tahap persiapan kampanye, hingga hari pencoblosan, penghitungan suara, serta saat penetapan hasil pemilu nanti.

“Mempertanyakan eligibilitas ODGJ dalam memilih berdampak pada stigma dan perundungan yang meluas di kalangan masyarakat, ini harus dicegah oleh seluruh kalangan,” tutur Surya.

Reporter Tirto sudah berupaya meminta tanggapan KPU ihwal teknis dan persiapan dalam melindungi hak pilih ODGJ atau orang dengan disabilitas mental, lewat Komisioner KPU, Idham Holik dan Yulianto Sudrajat. Namun, pesan yang dilayangkan ke ponsel keduanya belum berbalas hingga berita ini ditulis.

Sementara itu, Komisioner KPU, August Mellaz, menyarankan Tirto menghubungi Betty Epsilon Idroos. Namun, permintaan konfirmasi yang dikirimkan ke ponsel Betty juga tidak mendapatkan respons.

Sebelumnya, beberapa KPU di daerah memastikan hak pemilih ODGJ dalam gelaran Pemilu 2024. Misalnya KPU DKI Jakarta yang memastikan ada 2.871 pemilih disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di DKI yang dapat menggunakan hak suaranya dalam Pemilu 2024.

KPU DKI menyatakan, akan ada pendamping bagi pemilih disabilitas mental saat mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) pada hari pencoblosan. KPU DKI juga menegaskan tidak ada paksaan bagi mereka untuk menggunakan hak pilih. Adapun KPU Kota Tanjungpinang menyatakan pendamping pemilih ODGJ harus mendaftar terlebih dahulu pada pihak KPU.

Kondisi pemilih ODGJ juga harus dipastikan dalam sehat pada hari pencoblosan. Sehingga pemungutan suara bisa dilakukan tanpa kendala nantinya.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz