tirto.id - Pesta demokrasi yang dinanti rakyat Indonesia tinggal tiga bulan lagi. Pada 14 Februari 2024, negeri ini kembali menuliskan sejarahnya dengan digelarnya pilpres dan pileg secara serentak. Animo pendukung dan pengusung kontestan Pemilu 2024, sudah mulai bergaung menuju masa kampanye resmi yang akan digelar akhir November tahun ini.
Sementara itu, tidak dapat dipungkiri bahwa tiap gelaran pemilu memiliki ruang untuk pemilih yang enggak berpartisipasi menggunakan hak pilihnya, atau biasa dikenal dengan golongan putih (golput). Mulanya, golput sendiri memang merupakan gerakan politik di era orde baru yang didasari atas kekecewaan pada otoritarianisme rezim pemerintahan kala itu.
Setelah era reformasi, nyatanya angka golput terus muncul dan menunjukkan jumlah yang tidak sedikit. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), angka golput sejak Pilpres 2004 hingga 2014 tercatat meningkat. Data golput pada 2004 tercatat 20,24 persen, 2009 menjadi 25,19 persen, dan 2014 meningkat 30,22 persen. Adapun di 2019 angka golput turun menjadi 18,03 persen.
Jika dilihat melalui data partisipasi publik untuk pertarungan pilpres, sejak 2004 hingga 2014 justru terlihat melandai. Partisipasi pada Pilpres 2004 sejumlah 79,76 persen, di 2009 turun menjadi 74,81 persen, dan berada pada angka 69,78 persen di 2014. Sementara itu, partisipasi publik di Pemilu 20019 kembali meningkat menjadi 81,97 persen.
Fluktuasi angka partisipasi dan golput pada gelaran pilpres seharusnya bisa menjadi sinyal bagi penyelenggara pemilu dan kontestan semakin memperhatikan pemilih. Jika terus diabaikan dan tidak diberikan pendidikan pemilu yang baik, bukan tidak mungkin angka partisipasi di Pilpres 2024 bisa kembali merosot.
Belum lagi, pada Pemilu 2024 mendatang akan didominasi oleh para pemilih di bawah usia 40 tahun atau sekitar 52 persen pemilih. Angka ini menjadi tantangan dan motivasi yang seharusnya melecut kontestan untuk merangkul pemilih muda dan pemula, agar tidak terjerembab ke ruang golput.
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menyatakan, potensi golput tiap gelaran pemilu memang selalu ada. Mereka yang dengan sadar memilih golput, kata dia, biasanya didasari karena paslon yang ada tidak cukup menarik minat, tidak mewakili aspirasi, dan memandang bahwa pilihannya tidak berpengaruh pada konstelasi politik.
“Dan ada mereka yang menganggap paslon yang tersedia saat ini mengecewakan,” ujar Firman dihubungi reporter Tirto, Kamis (9/11/2023) malam.
Di sisi lain, ada kelompok yang disebut sebagai kaum parokial. Ini merupakan segelintir orang atau kelompok yang memiliki budaya tidak tertarik atau antipati terhadap politik. Hal ini menyebabkan mereka enggan repot-repot untuk memakai hak pilih.
“Pemilih muda dan milenial banyak terdapat di antara mereka (parokial), yang ada di elemen ignorance atau juga tidak peduli politik dan belum mendapatkan edukasi politik yang memadai,” kata Firman.
Peneliti dari Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menilai golput bisa dilihat sebagai sebuah pernyataan bahwa tidak ada kandidat yang dianggap mewakili kepentingan atau nilai pemilih. Kekecewaan ini dapat berasal dari ketidakpuasan terhadap kinerja politik saat ini atau sikap skeptis terhadap janji politik para elite.
“Ini menuntut introspeksi dan evaluasi kembali bagaimana kontestan untuk berkomunikasi dengan pemilih, menawarkan solusi atas isu-isu penting, dan menjaga kepercayaan publik,” kata Wawan dihubungi reporter Tirto, Kamis (9/11/2023).
Hal ini, menurut dia, menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara pemilu dan partai politik (parpol) untuk dapat meraih pemilih yang berpotensi golput. Penting untuk mencatat bahwa pemilih muda sering kali mencari autentisitas dan transparansi dalam politik, maka absennya hal tersebut dapat mengikis partisipasi politik mereka.
“Perlu meningkatkan keterlibatan dengan pemilih, terutama melalui dialog yang otentik dan transparan, bisa menjadi langkah penting dalam mengatasi apatis dan meningkatkan partisipasi pemilih,” ujar Wawan.
Upaya Kubu Paslon Capres-Cawapres
Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung capres Prabowo Subianto dan cawapres Gibran Rakabuming Raka, optimistis bisa menekan angka golput dan meraih ceruk pemilih muda. Gerbong koalisi ini terdiri dari Partai Gerindra, PAN, Golkar, Demokrat, PSI, PBB, Gelora, dan Garuda.
Juru bicara TKN Prabowo-Gibran, Cheryl Tanzil, menyatakan pihaknya sangat yakin partisipasi pemilih dalam Pilpres 2024 meningkat. Menurut dia, tim pemenangan Prabowo-Gibran telah rutin melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilu, terutama untuk segmen pemilih baru dan pemuda.
“Apalagi cawapres Mas Gibran sangat tinggi tingkat popularitasnya di kalangan anak muda,” kata Cheryl dihubungi reporter Tirto, Kamis (9/11/2023).
Ia menambahkan, program-program Gibran sebagai Wali Kota Surakarta selama ini sudah sangat banyak menyentuh ranah anak muda. Hal ini dinilai menjadi kelebihan tersendiri bagi paslon Prabowo-Gibran untuk mengajak pemilih muda melabuhkan pilihan kepada mereka.
“Gibran juga (pernah) mengubah eks tempat karantina di Solo jadi tempat pelatihan skill digital dan lain-lain,” terang Cheryl.
Sementara itu, poros koalisi parpol pengusung capres-cawapres Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, melibatkan kaum muda sebagai bagian dari tim pemenangan mereka. Langkah ini dilakukan sebagai upaya pendidikan politik sekaligus mengajak kalangan muda untuk ikut partisipasi dalam Pemilu 2024.
“Upaya kami ada yang sesuai skala umur, misalnya butuh penyadaran pemahaman kenapa harus memilih. Bahkan yang kami dorong agar tidak golput meminta para Gen Z menjadi juru bicara juga,” kata Juru Bicara Tim Pemenangan (TPN) Nasional Ganjar-Mahfud, Sunanto, dihubungi Tirto, Kamis (9/11/2023).
Paslon Ganjar-Mahfud MD diusung oleh koalisi parpol yang terdiri dari PDIP, PPP, Perindo, dan Hanura. Sunanto menambahkan, TPN yang terdiri dari unsur parpol pengusung, sudah merekrut jubir dari kalangan milenial di setiap daerah.
Melihat cara Ganjar berinteraksi, kata dia, pihaknya optimistis bisa mengajak pemilih muda untuk berpartisipasi dalam pemilu mendatang. “Bahkan kita ada tim dengan gaya mereka (anak muda) bukan gaya orang tua, kalau misalnya dialog dengan Gen Z,” ucap pria yang akrab disapa Cak Nanto itu.
Di sisi lain, kubu Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) memandang golput sebagai hak berdemokrasi warga Indonesia. Mereka mewajarkan ada ruang golput dalam keadaan politik saat ini. Koalisi yang biasa disebut Koalisi Perubahan ini, mengusung capres-cawapres Anies Rasyid Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar.
Namun, KPP tidak akan tinggal diam dan berupaya membendung ruang potensi golput pada pemilu mendatang. Hal ini disampaikan oleh Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya. Koalisi ini terdiri dari Partai Nasdem, PKS, dan PKB.
“Kami akan mencoba masuk ke seluruh lapisan sosial calon pemilih, utamanya yang disinyalir potensial akan golput, untuk mempersuasi mereka bahwa memilih AMIN (Anies-Muhaimin) lebih baik ketimbang golput,” ujar Willy dihubungi reporter Tirto, Kamis (9/11/2023).
Wajah politik, kata Willy, terutama menjelang pemilu memang kerap menyebalkan bagi sebagian pihak. Akan tetapi, Willy yakin, Koalisi Perubahan dapat meyakinkan pemilih bahwa pasangan AMIN adalah harapan baru bagi Indonesia yang lebih baik.
“Upaya mendekati dan meyakinkan mereka akan kami lakukan dengan trik dan cara khusus. Yang pasti, teman-teman yang potensial golput itu justru menjadi ladang dan peluang bagi kami,” terang Willy.
Golput Diprediksi Rendah
Pengamat politik dari Populi Center, Usep Saepul Ahyar, menilai bahwa potensi golput pada Pemilu 2024 akan lebih rendah. Meski peluang itu ada, menurut dia, pemilih untuk pilpres selalu diisi dengan antusiasme dan diprediksi memenuhi target partisipasi nasional.
“Rata-rata di Indonesia, utamanya di nasional ini partisipasinya tinggi. Apalagi dengan pemilu serentak yakni disatukan antara pileg dan pilpres, terbukti di tahun 2019 tinggi dan salah satu cara yang efektif,” kata Usep dihubungi reporter Tirto.
Persaingan ketat antara tiga paslon capres-cawapres juga menjadi salah satu faktor tambahan yang dinilainya akan mengatrol partisipasi pemilih. Persaingan yang ketat dinilainya akan mengundang minat pemilih yang tinggi.
“Dari survei kami, keinginan untuk memilih masih tinggi di atas 90 persenan, kenyataannya nanti mungkin bisa di angka 80 lebih lah. Golput ada mungkin karena persoalan teknis, seperti jauh atau tidak bisa memilih karena di luar negeri dan urusan,” jelas Usep.
Pemilu serentak, kata Usep, memberikan keuntungan bagi pemilih karena memudahkan mereka mengefektifkan waktu. Tinggal upaya dari penyelenggara pemilu dan parpol untuk mengatrol pemilih agar mau berpartisipasi dalam pemilu 2024.
Komisioner KPU RI Idham Holik mengakui, peluang golput potensial menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara pemilu, khususnya dalam melakukan sosialisasi dan pendidikan kepada pemilih. Tingkat persuasivitas komunikasi penyelenggara pemilu dan kontestan pemilu menjadi kunci untuk membenahi persoalan ini.
“Semakin persuasif komunikasinya, maka potensi perubahan atau transformasi perilaku golput potensial menjadi tidak golput berpeluang,” ujar Idham dihubungi reporter Tirto, Kamis (9/11/2023).
Pihaknya, kata Idham, terus berupaya melakukan penyampaian pesan kreatif kepemiluan secara masif, terstruktur, dan sistematis. Hal ini dilakukan dengan berbagai jenis media, dan dilakukan oleh KPU bersama KPU di berbagai tingkatan di daerah.
“Penyampaian pesan tersebut tidak sekedar membentuk dan mengembangkan populasi well-informed voters, tetapi juga rational and active voters,” tutur Idham.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz