tirto.id - Uwi, bukan nama sebenarnya, masih geleng-geleng kepala jika harus mengingat momen Pemilu 2019. Wanita berusia 27 tahun tersebut merupakan salah satu orang yang terdampak langsung polarisasi politik yang terjadi pada pemilu kala itu. Uwi menuturkan, saat itu dirinya kerap memberikan opini kritis di sosial media (sosmed) terhadap salah satu paslon capres-cawapres.
“Ya waktu itu mah, kan, namanya mahasiswa, kita kritis nulis di FB (Facebook) soal rekam jejak salah satu capres. Cuma enggak nyangka juga respons pendukungnya segitunya sih,” kata Uwi ditemui reporter Tirto di kediamannya, di Kabupaten Bogor, Kamis (2/11/2023).
Uwi mendapatkan intimidasi dari pendukung salah satu paslon, berupa makian dan ancaman di pesan pribadi sosmednya. Yang membuat kaget, kata Uwi, ada salah seorang yang masih terbilang kerabatnya sendiri, ikut memaki-maki Uwi di sosial media.
“Itu sih yang bikin akhirnya kayak udah deh enggak perlu lagi dipanjangin, soalnya ya masih saudara dan ketemu juga kan. Waktu itu sampai harus didamaikan sama orang tua, kocak sih ya,” ujar ibu rumah tangga itu sambil tertawa.
Kisah Uwi tidak jauh berbeda dengan Rio, seorang karyawan swasta di salah satu perusahaan farmasi. Rio, bukan nama sebenarnya, menuturkan imbas polarisasi yang sempat membuat ketentraman keluarganya terguncang. Kala itu, masih dalam momen Pemilu 2019 di mana polarisasi dan ‘cap’ atau sebutan terhadap pendukung tertentu, bisa liar disematkan ke orang lain.
“Waktu itu tetangga enggak jauh dari rumah pernah nyebut ortu gue ‘cebong’, terus dikeluarin dari grup rukun tetangga,” ujar Rio dihubungi lewat sambungan telepon, Kamis (2/11/2023).
Pada Pemilu 2019, istilah ‘cebong’ dan ‘kampret’ memang cukup gaung digunakan untuk melabeli pendukung capres tertentu. Pendukung Joko Widodo (Jokowi) kerap disebut sebagai cebong, sementara pendukung Prabowo Subianto mendapat julukan kampret dan kadrun. Sematan-sematan yang menjadi pemicu segregasi sosial di akar rumput, sejak persaingan keduanya di Pemilu 2014.
Rio menuturkan, orang tuanya bahkan tidak merasa menjadi pendukung fanatik salah satu capres kala itu. Namun, sematan itu sekonyong-konyong dilayangkan hanya karena dipicu oleh obrolan-obrolan politik santai antar warga.
“Kayaknya waktu itu bokap gue cuma berpendapat salah satu calon punya program bagus, tapi langsung distigma jadi pendukung,” ujar pria berusia 24 tahun itu.
Polarisasi politik memang pernah menjadi mimpi buruk bagi demokrasi Indonesia pascareformasi. Segregasi sosial imbas polarisasi politik pada Pemilu 2014, berimbas panjang pada Pemilu 2019, bahkan teresidu kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017. Sebutan-sebutan seperti cebong, kampret, kadrun, dan segala macam kata gantinya, marak digunakan untuk mendiskreditkan pendukung lawan.
Kisah Uwi dan Rio hanya dua contoh kecil bobroknya kedewasaan demokrasi di negeri ini imbas polarisasi. Ada banyak konflik sosial lainnya yang terjadi pada Pemilu 2019 akibat berbeda dukungan politik. Misalnya pada 2018, di Sampang, Madura, Jawa Timur, sempat ada kasus penembakan memakai senjata rakitan yang dilakukan salah satu pendukung capres akibat gesekan politik di sosmed.
Belum lagi, selusin kisah-kisah pertengkaran pendukung Prabowo dan Jokowi saat itu, yang menyebabkan perpecahan dan pertengkaran di lingkup keluarga. Pada 2019 di Gorontalo bahkan, ada kuburan yang harus dipindahkan hanya karena berbeda pilihan caleg. Namun, yang masih terkenang jelas, polarisasi menjadi penyebab tragedi yang mengakibatkan nyawa melayang akibat protes besar-besaran hasil Pemilu 2019.
Peristiwa protes besar-besaran di beberapa titik di Jakarta, 21-22 Mei 2019, menyebabkan sedikitnya 8 korban tewas. Protes ini diduga akibat kurang puasnya salah satu kubu pendukung pada hasil perhitungan suara Pemilu 2019.
Peristiwa serupa terjadi di Pontianak pada waktu yang sama, dan menyebabkan 1 korban tewas. Hingga kini belum jelas pertanggungjawaban negara terhadap dua kasus yang diakibatkan polarisasi politik tersebut.
Polarisasi akan Terjadi di Pemilu 2024?
Setelah tiga pasangan capres-cawapres kontestan Pemilu 2024 resmi mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, perbincangan masyarakat terkait manuver-manuver elite politik kian memanas. Isu-isu seperti politik dinasti, tegak lurus, atau pembangkangan terhadap poros koalisi, mulai berhembus menjadi perdebatan publik jika menilik pembicaraan netizen di sosial media.
Hal ini tentu dipicu oleh tindak-tanduk politisi yang menjadi sorotan publik. Lagi-lagi, residu polarisasi di dua pilpres sebelumnya, dikhawatirkan menebal menjadi narasi-narasi baru yang dapat memicu konflik sosial.
Peneliti dari Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) Wawan Kurniawan menilai, polarisasi politik tercipta karena adanya identitas kelompok yang terbangun. Ketika identitas kelompok menguat, maka terjadi bias-bias yang membuat keyakinan atau pilihan politik mereka seolah tak terbendung.
“Mereka hanya ingin melihat apa yang mereka inginkan, dan percaya dengan apa yang ingin mereka percaya,” ujar Wawan dihubungi reporter Tirto, Kamis (2/11/2023).
Ia menambahkan, setiap partai politik harus memiliki kode etik yang jelas dalam menetapkan standar tingkah laku anggotanya. Pedoman ini harus menekankan pentingnya berkomunikasi dengan cara yang menghormati dan tidak memprovokasi.
“Semua partai harus berkomitmen untuk menghormati hasil pemilu dan proses demokratis, serta menolak kekerasan atau intimidasi sebagai alat politik,” terang Wawan.
Wawan menuturkan, informasi provokatif akan memicu polarisasi dan penguatan identitas kelompok semakin kuat jelang pemilu. Sinan Aral dalam bukunya yang berjudul The Hype Machine, berpesan bahwa ‘repetition causes belief.’
“Cara kerja algoritma juga akan membawa kita pada confirmation bias, yang nanti akan membuat polarisasi politik semakin tajam,” tutur Wawan.
Sementara itu, pengamat politik dari lembaga Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, polarisasi tidak akan terjadi pada Pemilu 2024. Menurut dia, perang opini tetap akan menguat, namun tidak sampai memicu segregasi di masyarakat.
“Kecuali memang ada pihak yang memiliki kekuasaan lakukan provokasi, maka polarisasi akan terjadi,” ujar Dedi dihubungi reporter Tirto, Kamis (2/11/2023).
Secara umum, kata Dedi, konflik sosial akan sedikit lebih lunak karena adanya tiga kandidat, sehingga pemerintah dapat dengan sigap lakukan pencegahan konflik. Ia berpesan sebagai antisipasi, pemerintah di semua tingkatan perlu bersikap tegas berada di tengah atau netral, alias tidak menunjukkan pilihan politiknya.
“Meskipun itu akan sulit tercapai, mengingat presiden saja hari ini sudah tidak berada di tengah, ini masalah kita,” kata Dedi.
Hal senada diungkapkan peneliti politik senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor. Ia menilai Pemilu 2024 akan lebih cerah. Firman menyatakan, pemilu mendatang akan lebih banyak menampilkan perdebatan di ranah etika politik dan program-program capres-cawapres.
“Saya kira ini awan cerah bagi politik kita ya, publik terlihat lebih mempermasalahkan soal etika politik seperti dinasti politik, kontroversi putusan MK (Mahkamah Konstitusi), atau program-program apakah berkelanjutan atau perubahan,” kata Firman dihubungi reporter Tirto, Kamis (2/11/2023).
Firman menilai, hal ini menjadi sinyalemen bagus bagi iklim politik di Indonesia. Polarisasi akan kembali terjadi jika isu yang dimainkan di publik seputar perbedaan primordial, seperti ras dan agama.
“Meskipun masih ada yang belum bisa move on dan belum bisa transisi dengan masih memainkan isu ini, tapi tidak banyak,” kata dia.
Ia menambahkan, dengan adanya tiga kandidat saat ini memang akan terjadi potensi perubahan dukungan politik jika pilpres berjalan dua putaran. Namun, isu yang tetap akan bergaung adalah soal program politik dan etika politik para elite.
“Ini jauh lebih maju dibandingkan pemilu sebelumnya,” kata Firman.
Mencegah Polarisasi Jelang Pemilu
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita, menyampaikan kondisi politik saat ini memang memicu perdebatan di publik. Hal ini, kata dia, ditambah peran media massa yang cenderung menyoroti figur politik dibandingkan program yang akan dibawa.
“Bisa kemudian muncul konflik kembali, karena tadi ya didukung oleh media yang kemudian informasinya menurut kami tidak berimbang ya, dalam memberikan informasi itu cenderung kemudian mempertontonkan sesuatu yang gak etik,” ujar Dian dihubungi reporter Tirto, Kamis (2/11/2023).
Ia juga berpesan agar masyarakat tidak begitu saja percaya pada informasi yang beredar di sosmed. Masyarakat disarankan tidak reaktif sebelum mengklarifikasi secara objektif kebenaran informasi di sosmed.
“Nah jadi masyarakat ini harus menahan diri, meskipun mereka punya pilihan, tapi bagaimana kemudian berdiskursus di wacananya itu dengan sesuatu yang sifatnya objektif,” lanjut Mita.
Direktur Eksekutif Imparsial Gufron Mabruri menegaskan, elite politik jelas memiliki peran penting dalam memengaruhi dinamika politik elektoral. Ia menilai polarisasi disebabkan oleh elite yang memainkan isu politisasi identitas, seperti pemilu sebelumnya.
“Cara berpolitik tersebut berbahaya dan berpotensi menjadikan isu perbedaan identitas sosial dapat memercikan gesekan di masyarakat,” ujar Gufron dihubungi reporter Tirto, Kamis (2/11/2023).
Menurut Gufron, potensi terjadinya konflik tetap potensial selama elite politik dan masyarakat tidak mampu menyikapi dinamika politik yang berlangsung dengan cara bijak dan cerdas. Selain itu, harus benar-benar diawasi penyalahgunaan alat-alat kekuasaan negara mulai dari birokrasi, aparat kepolisian, dan TNI yang melakukan pemihakan terhadap calon tertentu.
“Hal ini terutama untuk para kontestan yang sedang duduk dalam kekuasaan negara. Jika cara cara tersebut dilakukan, hal ini akan memicu gejolak dan penentangan di masyarakat,” tegas Gufron.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz