tirto.id - PDI Perjuangan terkesan mulai agresif dalam menghadapi manuver politik yang dilakukan Presiden Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi. Sikap partai berlambang banteng moncong putih itu mendadak vokal dan keras mengkritik sikap Jokowi dan Gibran. Padahal sebelumnya cendrung mendiamkan dan tidak mau terpancing.
Namun belakangan, para kader PDIP mulai melayangkan suara protes terhadap keputusan Gibran bergabung ke barisan Koalisi Indonesia Maju (KIM). Gibran resmi menjadi bakal cawapres dari Prabowo Subianto yang merupakan calon presiden dari KIM. Koalisi ini terdiri dari Partai Gerindra, PAN, Golkar, Demokrat, Gelora, PBB, Garuda, dan PSI.
Atas keputusan Wali Kota Surakarta itu menyeberang ke koalisi partai lain, Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menilai, Gibran sebagai pembangkang. Basarah menegaskan, dalam aturan partai telah tegas disebutkan bahwa setiap kader wajib menaati keputusan yang sudah diambil Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum.
“Secara aturan partai dia (Gibran) telah melakukan pembangkangan, telah melakukan sesuatu yang berbeda dengan garis keputusan partai,” kata Basarah di Sekolah Partai PDIP, Jakarta Selatan, Sabtu (28/10/2023).
PDIP sendiri mengusung pasangan calon Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebagai capres-cawapres mereka dalam Pemilu 2024. PDIP didampingi poros koalisi yang beranggotakan PPP, Hanura, dan Perindo.
Basarah menambahkan, secara etika politik, anak Presiden Jokowi tersebut telah keluar dari PDIP. Ia pun telah mengembalikan kartu tanda anggota (KTA) kepada DPC PDIP Solo. Ia menanti sikap Gibran untuk menemui Megawati atas pilihan politiknya yang berseberangan dengan parpol yang telah mengusungnya sebagai wali kota.
“Kami tunggu niat baiknya untuk menunjukkan etika politik beliau kepada Ibu Mega, kepada keluarga besar partai yang telah melahirkan, membesarkan, dan menjaganya,” tutur Basarah.
Sehari setelahnya, giliran Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto yang melakukan kritik secara terbuka. Hasto merasa PDIP telah ditinggalkan keluarga Jokowi dengan manuver politik yang dilakukan Gibran sebagai cawapres Prabowo.
Ia menilai, PDIP telah memberikan privilege yang begitu besar kepada keluarga Jokowi, namun Jokowi dan keluarga meninggalkan partai karena masih ada permintaan lain yang berpotensi melanggar pranata kebaikan dan konstitusi. Hasto tak menjelaskan secara detail permintaan lain yang dia sebutkan.
“Pada awalnya kami hanya berdoa agar hal tersebut tidak terjadi, namun ternyata itu benar-benar terjadi,” kata Hasto dalam keterangan, Minggu (29/10/2023).
Hasto menilai yang terjadi dari pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo, merupakan bentuk political disobedience terhadap konstitusi dan rakyat Indonesia.
“Kesemuanya dipadukan dengan rekayasa hukum di MK,” kata Hasto.
Pembangkangan politik yang dimaksudkan Hasto memang berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun dengan tambahan, atau pernah/sedang menduduki jabatan kepala daerah. Putusan ini membuat Gibran yang baru berusia 36 tahun bisa melenggang menjadi cawapres Prabowo.
Hasto mengklaim menerima pengakuan dari beberapa ketua umum partai politik yang merasa kartu truf-nya dipegang oleh pemegang kekuasaan. Meskipun tidak menjelaskan maksudnya secara rinci, hal ini diduga berkorelasi dengan ucapan Hasto sebelumnya yang menyebut soal agenda perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi menjadi tiga periode.
“Dikonfimasi kalau sikap-sikap ketua umum beberapa partai yang menyuarakan itu, (agenda perpanjangan tiga periode) saat itu, dikatakan sebagai permintaan pak lurah,” kata Hasto di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Jumat (27/10/2023).
Julukan ‘pak lurah’ itu diketahui tertuju kepada Presiden Jokowi. Apa yang disampaikan Hasto sejalan dengan pernyataan Wakil Ketua Tim Koordinasi Relawan Pemenangan Pilpres (TKRPP) PDIP, Adian Napitupulu sebelumnya. Adian melalui keterangannya, menyatakan akar persoalan antara Jokowi dan PDIP berasal dari permintaan tiga periode yang ditolak PDIP.
Teranyar, ekspresi kekecewaan atas sikap Gibran dan Jokowi juga disampaikan oleh Ketua DPP PDIP Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Djarot Saiful Hidayat. Ia menegaskan bahwa partainya mengkritik manuver Gibran yang telah menabrak aturan konstitusi.
“Saya kecewa, karena Mas Gibran kita sayang, namun Mas Gibran mengambil jalan pintas seperti ini. Ini contoh yang kurang baik dan ini menjadi bentuk ekspresi kita semua,” ujar Djarot di Gedung DPR RI, Selasa (31/10/2023).
Djarot menyampaikan, Megawati telah menganggap Jokowi seperti anak sendiri dan hal itu juga berlaku kepada Gibran. Oleh karenanya, Djarot menyebut kekecewaan PDIP kepada Gibran dan Jokowi merata dari ketua umum hingga kader yang ada di organisasi ranting.
“Tapi yang bisa kita petik adalah bentuk kekecewaan itu kemudian dikonversi oleh teman-teman dalam bentuk semangat juang yang semakin menggebu-gebu untuk memenangkan Pak Ganjar dan Pak Mahfud MD,” kata Djarot.
Pengkondisian Perang Terbuka?
Pengamat politik dari Populi Center, Usep Saepul Ahyar menilai, komentar dan kritik dari kader PDIP saat ini sebagai pra-kondisi sebelum adanya perang terbuka. Artinya, kata dia, akan ada masanya PDIP dan Jokowi berhadapan secara langsung dan hal tersebut berpotensi terjadi.
“Memang statement-statement PDIP sedang membuat rasionalisasi pada pemilihnya bahwa yang dikhianati adalah PDIP, ini untuk membangun argumentasi dan dibangun ke pemilihnya. Ini kan semacam pra-kondisi perang terbuka niscaya terjadi,” ujar Usep dihubungi reporter Tirto, Rabu (1/11/2023).
Strategi ini dipilih PDIP setelah petinggi partai melarang kader berkomentar soal pilihan Gibran sebagai cawapres Prabowo dan soal Jokowi. Menurut Usep, perubahan sikap ini karena PDIP berada dalam posisi dilematis.
“PDIP perlu mengambil argumentasi yang rasional bagi pemilihnya, ini dilematis juga posisinya. Jika dibiarkan partai dianggap tidak tegas dan tebang pilih, jika frontal menyerang padahal Jokowi masih berkuasa, maka dibuat pra-kondisi sikap saat ini,” jelas Usep.
Di tengah-tengah kritik dari kader PDIP terhadap Gibran dan Jokowi, memang ada ambivalensi sikap yang terlihat. Elite PDIP justru terlihat membuat suasana kembali adem dalam merespons persoalan ini. Sikap ini setidaknya terlihat dari pernyataan terbaru Ketua DPP PDIP cum Ketua DPR RI, Puan Maharani.
Ia membantah ada hubungan panas antara Jokowi dengan PDIP. Namun, ia enggan memperjelas status Gibran di PDIP. Ketika dimintai konfirmasi soal itu, Puan hanya menyatakan bahwa Gibran saat ini berstatus cawapres Prabowo.
“Siapa yang panas ya? Kemarin di hari santri saya bertemu dengan presiden, acara kemarin di Surabaya. Jadi kalau menanyakan akan ada pertemuan, akan selalu ada pertemuan antara ketua DPR dan presiden RI,” ujar Puan di Gedung DPR RI, Selasa (31/10/2023).
Di sisi lain, Presiden Jokowi enggan memberikan komentar ketika dimintai tanggapan soal kekecewaan kader PDIP terhadap dirinya. “Saya tidak ingin mengomentari,” kata Jokowi di Pasar Bulan, Kabupaten Gianyar, Bali, Selasa (31/10/2023).
Menurut Usep, ambivalensi itu merupakan hal yang wajar terjadi saat ada polemik internal. Elite partai pasti tidak akan mengotori tangannya yang dapat menimbulkan kesan negatif di hadapan publik. Maka dari itu, Usep menilai, polemik ini pun diketahui oleh Megawati sebagai pimpinan tertinggi PDIP.
“Orang yang di atas kayak Jokowi dan Bu Mega mungkin dijaga kesucianya ya, dalam tanda kutip. Jangan sampai memunculkan kesan negatif, pemimpin besar pasti dijaga kan, yang di bawahnya aja saling serang,” kata Usep.
Saidiman Ahmad, analis politik dari SMRC menilai, PDIP memang sudah berkali-kali tidak sejalan dengan Jokowi. Sikap keras kader PDIP bisa dilihat sebagai respons atas pilihan politik Jokowi yang kurang jelas dalam mendukung pilihan politik PDIP.
“Bahkan (Jokowi) cenderung mengakomodir kepentingan partai lain. Sikap resisten (PDIP) itu sangat wajar,” kata Saidiman dihubungi reporter Tirto, Rabu (1/11/2023).
Sebagai partai, kata Saidiman, wajar kalau ada tuntutan agar semua kader menunjukkan konsistensi mendukung keputusan partai. Maka dari itu, kata dia, wajar jika PDIP bereaksi keras ketika Gibran menyeberang ke kubu lain dan Jokowi terkesan mengakomodir hal tersebut.
“Saya menduga hubungan ini agak sulit untuk dipulihkan karena menyangkut komitmen pada keputusan partai soal calon presiden,” ujar Saidiman.
Berdampak pada Publik
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati menilai, keretakan antara PDIP dan Jokowi akan berlarut tanpa solusi jika tidak ada rekonsiliasi politik. Jika dibiarkan membesar, ia menilai sikap keduanya justru memancing opini kurang baik di masyarakat.
“Tentu ini bisa menjadi pemandangan kurang elok di mata publik sebagai pemilih,” kata Wasisto dihubungi reporter Tirto, Rabu (1/11/2023).
Wasisto menambahkan, polemik ini akan berpotensi pada opini publik yang semakin skeptis sehingga bisa mengubah pilihan politik. Ia menilai perubahan sikap PDIP sebagai strategi untuk meminta kejelasan sikap politik Jokowi kepada partai.
“Sehingga itu tidak menjadi multiinterpretasi di ruang publik,” kata Wasisto.
Sementara itu, Kepala Badan Pemenangan Pemilihan Presiden (Bappilpres) DPP Projo, Panel Barus mengatakan, elite parpol seharusnya lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, dibanding sibuk berpolemik. Panel menyatakan, sikap PDIP yang mengembuskan beragam isu kepada Jokowi, membuat suasana politik tidak sejuk dan tidak damai.
“Upaya PDIP terhadap Jokowi itu adalah framing jahat, serangan PDIP adalah upaya untuk mendegradasi Pak Jokowi yang menurut kami ini tidak elok dan tidak pantas. Karena ini dilakukan untuk kepentingan saat kontestasi Pemilu 2024,” ungkap Panel dihubungi reporter Tirto, Rabu (1/11/2023).
Panel menyatakan, sikap ini diambil PDIP lantaran adanya pergeseran relasi antara PDIP dan Jokowi setelah Gibran resmi mencalonkan diri sebagai cawapres Prabowo. Ia menyatakan, sikap PDIP berlandaskan kepentingan sesaat terkait pertimbangan elektoral.
“Ada pergeseran relasi antara Jokowi dan PDIP, maka khawatir ada insentif elektoral yang bergeser ke tempat lain juga, itu faktanya,” ujar Panel dari Projo, relawan Jokowi yang merapat ke kubu Prabowo-Gibran.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz