Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Celah Aturan Sebelum Masa Kampanye seperti Kasus Ahmad Dhani

Titi Anggarini mendorong KPU buat aturan agar caleg maupun capres-cawapres melaporkan dana mereka saat sosialisasi sebelum masa kampanye.

Celah Aturan Sebelum Masa Kampanye seperti Kasus Ahmad Dhani
Ilustrasi Partai Politik Peserta Pemilu. tirto.id/Ecun

tirto.id - “Saya ingin mengucapkan kata maaf serta permintaan maaf karena kemarin di Tasikmalaya, saya telah melanggar etika yang seharusnya tidak boleh saya lakukan, yaitu mengampanyekan Prabowo presiden di daerah militer, khususnya Angkatan Udara yang seharusnya menjadi netral.”

Begitu penggalan video yang diunggah musisi Ahmad Dhani lewat akun Instagram @Ahmadhaniofficial. Dalam video pendek tersebut, Dhani meminta maaf telah mengampanyekan bacapres Prabowo Subianto dan istrinya Mulan Jameela di Kota Tasikmalaya. Ia juga meminta maaf kepada semua pihak, terutama Danlanud Wiriadinata, KSAU dan Panglima TNI atas ajakan tersebut. Ia berjanji tidak akan melakukan hal yang sama di masa depan.

Aksi Dhani memang sempat menjadi sorotan publik beberapa waktu lalu. Peristiwa tersebut terjadi saat menggelarkan konser musik di Lanud Wiriadinata pada Sabtu (21/10/2023) malam. Kala itu, ia mengajak pengunjung untuk memilih Prabowo sebagai calon presiden dan Mulan sebagai anggota dewan. Pada Pemilu 2024 ini, Mulan memang maju sebagai caleg dari Dapil Jawa Barat XI yang meliputi Garut, Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya.

Ajakan kampanye Dhani lantas direspons oleh pihak Lanud Wiriadinata. Mengutip dari akun medsos mereka @lanud_wiriadinata, Komandan Lanud Wiriadinata Letkol Pnb Adi Putra Buana menegaskan TNI tetap netral pada Pemilu 2024.

“Lanud Wiriadinata menyatakan sikap NETRAL terhadap segala kegiatan politik praktis baik yang disampaikan secara langsung maupun tidak langsung oleh pribadi tertentu maupun bersama-sama dan tidak dalam posisi mendukung salah satu calon anggota legislatif maupun partai politik,” demikian bunyi keterangan yang diunggah Lanud Wiriadinata.

Pihak lanud mengaku sudah meminta kepada penyelenggara agar kegiatan musik tidak membawa unsur politik. Ke depan, kata Adi, Lanud Wiriadinata akan tetap konsisten menjaga netralitas sesuai arahan Panglima TNI. Ia juga meminta agar para penyelenggara event, artis hinga pekerja seni lain profesional dalam menjalankan tugas.

Pihak Bawaslu Kota Tasikmalaya juga ikut menyayangkan aksi Dhani. Plt Ketua Bawaslu Kota Tasikmalaya, Tedi Saepudin mengatakan, Bawaslu sudah menerima laporan kegiatan konser Dewa 19 dan sejumlah artis yang diikuti dengan ajakan memilih calon.

Ia menyayangkan ajakan tersebut terjadi di kawasan militer TNI AU. Padahal, kata Tedi, Bawaslu sudah mengimbau agar tidak melakukan kampanye.

Bawaslu Kota Tasikmalaya juga menyimpulkan bahwa aksi Dhani tidak memenuhi syarat materil karena belum memasuki masa kampanye. Oleh karena itu, Bawaslu belum bisa menindaklanjuti temuan tersebut.

“Bawaslu belum punya kewenangan terkait dengan Ahmad Dhani mengkampanyekan Mulan, soalnya ini belum masuk tahapan kampanye,” kata Tedi seperti dilansir Antara.

Tedi juga berharap agar kejadian serupa seperti kasus Ahmad Dhani tidak terulang di masa depan.

Celah Aturan Sebelum Masuk Masa Kampanye

Peneliti The Indonesia Institute, Arfianto Purbolaksono mengatakan, persoalan seperti Dhani tidak lepas dari masalah ketegasan penyelenggara pemilu. Ia mengingatkan bahwa partai maupun capres-cawapres sudah memiliki mesin politik seperti relawan hingga struktur partai untuk pemenangan. Hal ini tidak lepas dari lemahnya aturan terkait sosialisasi dan kampanye.

Menurut Arfianto, saat ini memang belum masuk jadwal kampanye, tapi baru sosialisasi. Akan tetapi, kata dia, kegiatan sosialisasi politik ini tidak diatur secara rinci sehingga bila terjadi pelanggaran dalam tahap sosialisasi ini, selalu berdalih belum masa kampanye.

“Pelanggaran di masa sebelum kampanye itu selalu penyelenggara pemilu berdalih bahwa ini masih sosialisasi. Padahal ujung-ujungnya tetap kampanye,” kata Arfianto, Selasa (31/10/2023).

Arfianto mengatakan, sosialisasi politik rentan untuk mengarahkan publik untuk memilih paslon tertentu. Ia juga melihat bahkan mungkin terang-terangan untuk mendukung pihak tertentu tanpa adanya deklarasi verbal.

Khusus dalam kasus Ahmad Dhani, ia menilai, kampanye di markas militer mengacu pada putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang menyatakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan bisa digunakan bila peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas. Akan tetapi, ia tidak tahu apakah fasilitas militer itu diatur dalam PKPU terbaru.

Karena itu, Arfianto berharap agar pengawas pemilu bisa bertindak lebih tegas agar kejadian seperti Ahmad Dhani tidak terulang. Ia juga berharap tidak hanya kasus seperti Dhani, melainkan juga kegiatan yang mengumpulkan massa banyak seperti jalan santai maupun kegiatan deklarasi.

Sementara itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai, kasus seperti Ahmad Dhani menandakan bahwa penyelenggaran pemilu tidak optimal dalam menangani dugaan pelanggaran.

Fadli mengingatkan, Bawaslu seharusnya melakukan pemeriksaan, melakukan pemanggilan, klarifikasi dalam kasus Ahmad Dhani. Akan tetapi, kata dia, pihak Bawaslu malah langsung mendeklarasikan tanpa pelanggaran.

Fadli mengingatkan, saat ini para peserta pemilu belum boleh berkampanye. Di sisi lain, peserta pemilu yang definitif saat ini adalah partai politik. Sementara caleg serta capres-cawapres belum ditetapkan.

“Konsepnya partai politik belum boleh melakukan kampanye dengan metode apa pun. Nah, apa yang dilakukan oleh Ahmad Dani dengan mengampanyekan istrinya yang notabene mengampanyekan partainya, berarti itu kan belum boleh dilakukan," kata Fadli kepada reporter Tirto.

Fadli mengingatkan, upaya menyebut nomor urut dan nama sudah masuk kategori citra diri partai. Bawaslu, kata Fadli, harusnya melakukan klarifikasi untuk menindak meskipun sudah ada permintaan maaf dan bertindak tidak sengaja.

“Kita [saat ini] ada dalam situasi proses demokrasi elektoral, kita sekarang berpotensi terjadi banyak pelanggaran, tapi Bawaslu melempem,” tutur Fadli.

Karena itu, Fadli mendorong proses hukum harus tetap berjalan. “Kalau dia enggak sengaja boleh saja, tapi proses hukum tidak mengenal sengaja dan tidak sengaja. Ketika itu sudah terjadi, maka mekanisme penegakan hukum harus berjalan,” kata Fadli.

Fadli khawatir Bawaslu akan mengarah sebagai kosmetik politik pada Pemilu 2024. Ia melihat tidak hanya dari kasus Ahmad Dani, melainkan kasus lain seperti jalan santai salah satu pasangan calon di Depok, Jawa Barat hingga aksi deklarasi terhadap kandidat.

Fadli menilai, perlu ada pengaturan lebih lanjut tentang kegiatan pengumpulan massa secara besar. Ia memahami bahwa para paslon belum menjadi peserta resmi di Pemilu 2024. Akan tetapi, Bawaslu seharusnya bisa memberikan peringatan dan berkoordinasi dengan kepolisian dalam upaya mengumpulkan massa jelang pemilu.

“Itu penting dilakukan, menurut saya, untuk publik bisa mengetahui juga bahwa dalam penyelenggaraan pemilu ini ada batasan-batasannya, ada yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan,” kata Fadli.

Pelanggaran sebelum Resmi Menjadi Calon

Ahli hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menilai, persoalan dalam kasus Dhani merupakan salah satu dari permasalahan masa tunggu sebelum masa kampanye dimulai, termasuk dalam pengumpulan massa dalam jumlah besar dan deklarasi.

Ia mengingatkan, mereka yang memasang peraga untuk peserta legislatif masih berstatus bakal calon legislatif, sementara para kandidat capres-cawapres saat ini berstatus bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden.

Para caleg, kata Titi, baru dianggap peserta pemilu setelah masuk dalam daftar caleg tetap yang akan diumumkan pada 3 November 2023, sementara bakal capres-cawapres baru resmi menjadi capres-cawapres setelah penetapan KPU pada 13 November 2023. Sebelum masa penetapan, para kandidat memasuki masa sosialisasi politik sebagaimana Pasal 79 PKPU Nomor 15 tahun 2023.

Ia menjelaskan, praktik sosialisasi politik tidak melakukan penyebaran alat peraga atau identitas politik. Bawaslu, kata Titi, tidak menindak karena unsur peserta belum memenuhi lantaran belum ditetapkan dalam DCT bagi caleg dan penetapan capres-cawapres. Selain itu, belum ada ajakan sehingga belum bisa dikategorikan kampanye.

“Memang ada ruang abu-abu yang tercipta karena konstruksi undang-undang kita yang menyebut kampanye itu aktivitas yang dilakukan peserta pemilu,” kata Titi, Selasa (31/10/2023).

Titi menekankan, aktivitas pasang baliho dan kegiatan seperti pengumpulan massa sebagai ajang unjuk publik dan mengarah aksi politik dalam aktivitas elektoral. Hal itu, kata Titi, seharusnya diikuti dengan semangat pelaksanaan pemilu yang akuntabel seperti penyampaian pendanaan dan sejenisnya.

“Ada masalah dalam pengaturan kampanye yang sangat bisa dikatakan pendekatan itu sangat formal dan konvensional, Bawaslu juga terbawa narasi itu,” kata Titi.

Titi menambahkan, “Jadi masa jeda atau masa tunggu ke 28 November memang sering disimpangi atau diakal-akali untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang sebenarnya sudah aktivitas kampanye, tetapi tidak bisa ditindak karena dianggap belum memiliki unsur.”

Titi menilai, pandangan tersebut yang digunakan Bawaslu dalam penindakan. Pandangan tersebut menandakan ketidaktegasan penyelenggara pemilu, baik KPU dalam mengatur maupun Bawaslu dalam penindakan. Ia menilai pelaksanaan pemilu tidak hanya instruksi teks, tetapi juga memahami aktivitas tersebut yang tidak hanya memenuhi isu konteks kampanye, tapi menegakkan akuntabilitas kompetisi.

Dengan demikian, kata Titi, semua pihak menunggu hingga selesai masa kampanye. Ia juga menilai, Bawaslu dan KPU berani berkolaborasi dengan pemerintah daerah dalam menindak materi kampanye yang dipasang di publik. Pemda juga harus berani menegakkan aturan tata ruang agar tidak ada iklan luar ruang yang dipasang tanpa membayar pajak dan sesuai titik kampanye.

“Tapi kan itu tidak dipatuhi. Jadi kesadaran berpemilu kita ini juga tidak sampai kepada institusi-institusi atau aktor-aktor di luar penyelenggara pemilu," tutur Titi.

Titi mendorong agar KPU membuat aturan agar para caleg maupun capres-cawapres melaporkan dana mereka saat sosialisasi politik. Ia melihat, aktivitas sosialisasi saat ini masih memiliki kelemahan dari sisi akuntabilitas, seperti besaran dana politik dan penyumbang saat masa sosialisasi. Ia menilai perlu ada perbaikan regulasi di masa depan.

“Apalagi kan ruang-ruang pengaturan itu tidak tersedia sejak awal oleh KPU. Seharusnya kalau KPU memang mau membolehkan masa tunggu atau masa jeda itu untuk melakukan aktivitas sosialisasi politik, maka larangan-larangan dalam kampanye juga harus ditegaskan,” kata Titi.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz