tirto.id - Polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat usia capres-cawapres terus berlanjut. Terbaru, PDIP berencana mengajukan hak angket terhadap MK setelah putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu membolehkan kandidat capres-cawapres di bawah umur 40 tahun bisa maju pilpres dengan syarat berpengalaman menjadi kepala daerah.
Putusan MK tersebut dimanfaatkan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo untuk maju pilpres meski belum berusia 40 tahun. Akibatnya, hubungan PDIP dengan Jokowi dan Gibran menjadi “panas.” Gibran menjadi pasangan Prabowo, padahal PDIP secara resmi mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Junimart Girsang, mengakui bahwa mereka ingin mengajukan hak angket akibat putusan MK tersebut. “Enggak ada larangan mengenai itu. Boleh saja,” kata Junimart di Gedung DPR RI pada Selasa (31/10/2023).
Junimart berdalih hak angket memiliki sifat tak terbatas walau putusan MK berstatus final dan mengikat. Akan tetapi, wacana hak angket masih menunggu arahan Fraksi PDIP dan partai lain karena hak angket harus diajukan gabungan fraksi di DPR.
Sebelum Junimart, Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu juga mendorong hak angket. Masinton menyampaikan keinginan hak angket dengan menginterupsi rapat paripurna dan menyampaikan pendapat tersebut.
“Kita harus menggunakan hak konstitusional yang dimiliki oleh lembaga DPR, ibu ketua (Puan Maharani). Saya Masinton Pasaribu anggota DPR RI daerah pemilihan DKI Jakarta II, mengajukan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi,” kata Masinton dalam rapat paripurna.
Selain Masinton, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, juga mewacanakan untuk mengajukan hak angket ke MK. Menurut dia, putusan MK terkait usia capres-cawapres tersebut harus ditelaah dengan seksama.
“Nanti akan kami uji. Dalam bahasa saya akan kami kuliti revisi PKPU ini,” kata Mardani.
Wacana tersebut lantas dikritik oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra cum Wakil Ketua Komisi III Habiburokhman. Ia kurang sepakat karena logika yang dipakai politikus PDIP dan PKS tersebut terkesan merendahkan akal sehat.
“Pokoknya saya enggak tertarik karena ini terlalu merendahkan akal sehat kita sebagai seorang warga negara yang paham hukum,” kata Habiburokhman kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (1/11/2023).
Ia menganalogikan seperti pertandingan antarkota sepakbola. Ketika kota A kalah dari kota B, kota A lantas mengajukan hak angket. Ia juga mengingatkan agar menggunakan hukum dengan narasi cerdas.
“Sudahlah, kepentingan politik biasa kok berbeda satu sama lain, tapi yang lebih elegan begitu, loh. Kita perlu mengisi ruang publik dengan narasi-narasi pencerdasan. Jangan kita perkosa mekanisme hukum asas hukum dengan egosentris politik kita begitu," tutur Habiburokhman.
Bolehkan DPR Ajukan Hak Angket ke MK?
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddique menaggapi positif rencana penggunaan hak angket dari DPR RI ke MK. Ia menilai wajar bila DPR melakukan pengawasan dan menggunakan hak angket sebagai bentuk pengawasan.
Jimly malah menyebut, usulan hak angket itu patut dilakukan. Mengingat, banyak fungsi DPR RI yang tak berjalan. Salah satunya, usul hak angket.
“Hak angket, ya baik itu. Saya kira supaya DPR itu juga berfungsi menjalankan fungsi pengawasannya,” kata dia di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (1/11/2023).
Jimly menambahkan, “Hak-hak DPR itu banyak yang enggak dipakai, hak angket, hak bertanya. Itu bagus, itu [hak angket] saya dukung saja," lanjut dia.
Sementara itu, dosen hukum tata negara dari Universitas Bengkulu, Beni Kurnia Illahi, meminta publik memahami dulu konsep hak angket. Ia mengacu pada Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang menjelaskan bahwa hak angket adalah hak DPR melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
“Artinya hak angket itu hanya bisa diberikan terhadap penyelenggara/pejabat negara dalam konteks pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah atau dalam hukum administrasi dalam hal menjalankan fungsi teori residu,” kata Beni kepada Tirto, Rabu (1/11/2023).
Beni menambahkan, posisi MK adalah organ konstitusional yang pada hakikatnya memaknai amanat konstitusi UUD 1945. Dengan kata lain, MK yang notabene lembaga yudikatif tidak bisa menjadi objek hak angket DPR.
“Dalam arti kata, hak angket DPR tidak boleh menganggu proses yudisial oleh kekuasaan kehakiman. Justru bila diberikan, akan dikhawatirkan menganggu independensi dan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka,” kata Beni.
Beni menekankan bahwa hasil hak angket tidak bisa diganggu gugat dan bersifat final. Hak angket pun tidak bisa menjadi alat untuk mengganggu putusan MK. Apabila dipaksakan, hasil hak angket berpotensi melanggar Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
“Sudah pasti bertabrakan karena sudah cukup banyak studi yang menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman itu bersifat merdeka dan tidak dapat intervensi oleh piihak mana pun, sekalipun putusan MK tersebut amat buruk, dia akan tetap menjadi putusan yang wajib dihormati oleh seluruh masyarakat,” kata Beni.
Jika ingin memaksakan pemakaian hak angket, kata Beni, DPR seharusnya menyasar pada Presiden Jokowi langsung. Mereka bisa menyoalkan apakah pemerintahan Jokowi telah berjalan sesuai UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dasar hak angket bisa dari keresahan publik, salah satunya tentang putusan MK tersebut yang dinilai memberi karpet merah bagi Gibran Rakabuming untuk maju pilpres.
“Itu justru lebih tepat, karena implikasinya langsung ke penyelenggaraan pemerintahan yang dijalankan oleh presiden dibandingkan mengangket hakim MK yang ujungnya juga tidak dapat memengaruhi putusan MK yang bersifat final and binding," kata Beni.
Ia justru mendorong agar publik cukup menggunakan putusan MK sebagai acuan penanganan putusan 90 dengan fokus dugaan pelanggaran etik Ketua MK Anwar Usman. Ia beralasan, aksi Anwar sudah melewati batas penalaran yang wajar nilai-nilai konstitusi sehingga layak untuk diberhentikan dengan tidak hormat oleh MKMK.
Siapa yang Diuntungkan?
Analis politik sekaligus dosen komunikasi politik di Universitas Jember, M. Iqbal, mengakui bahwa DPR wajar mengambil sikap hak angket. Ia sebut wewenang itu adalah bentuk DPR memaksimalkan fungsi, kewenangan dan hak DPR dalam mengawasi pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah. Hal itu sesuai Undang-Undang MD3 Pasal 79 ayat 3.
Dalam kacamata Iqbal, wajar bila DPR menggunakan hak angket kepada MK. Ia mengacu pada tafsir aturan yang menilai bahwa penerapan hak angket tidak hanya eksekutif, tetapi bisa menyasar yudikatif maupun lembaga lain yang masuk wewenang DPR. Hal ini juga dibuktikan oleh DPR saat mengajukan hak angket kepada KPK yang lembaga independen pada 2017.
“Masalahnya, secara politik adalah apakah aksi PDIP ini murni untuk menegakkan muruah konstitusi, atau sejatinya mau mendeligitimasi Presiden Jokowi terkait dugaan kolusi dan nepotisme dalam proses Putusan 90 MK hingga mulusnya pencawapresan anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka,” kata Iqbal, Kamis (2/11/2023).
Iqbal menilai, manuver PDIP mengusulkan hak angket bisa saja sebagai upaya untuk membangun opini publik agar mereka bisa mendapat efek elektoral dengan status partai reformis yang melawan korupsi, kolusi dan nepotisme. Target turunan, kata Iqbal, adalah mendongkrak sentimen positif paslon yang mereka usung, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Dalam kacamata politik dan kalkulasi implikasi, Iqbal menilai, DPR akan mendapat nilai positif karena menjaga muruah konstitusi. PDIP sebagai pengusul hak angket bisa mendapat dukungan dari sentimen negatif akibat nepotisme politik.
“Bahkan bila berlanjut makin efektif dan konstruktif bisa saja aksi hak angket jadi pintu masuk pemakzulan kepada Jokowi, kendati saya meragukan peristiwa politik itu akan terjadi," kata Iqbal.
Akan tetapi, jika manuver ini hanya sebagai aksi pragmatis, PDIP bisa saja menjadi blunder politik. Jika dugaan persekongkolan jahat menjadi fakta dalam pelaksanaan UU Mahkamah Konstitusi maupun Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ketika proses hak angket berjalan, dampak bisa merembet pada pasangan Prabowo-Gibran dan menaikkan elektabilitas Ganjar-Mahfud.
Akan tetapi, narasi politik bisa saja malah menguntungkan Anies-Muhaimin karena publik tidak akan percaya dengan pemerintahan Jokowi, apalagi publik paham bahwa PDIP tidak tegas pada Jokowi dan Gibran serta narasi KKN yang disampaikan lewat hak angket memicu hal negatif.
"Jika hak angket berakhir sukses, potensial menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap presiden yang dinilai lebih condong berpihak kepada Prabowo-Gibran. Akibatnya, mereka mungkin lebih memilih Anies-Muhaimin yang bisa diharapkan membawa perubahan fundamental daripada Ganjar-Mahfud," kata Iqbal.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz